Pasang Surut Kebijakan Jokowi Jaga Gambut

Penulis : Aryo Bhawono

Gambut

Kamis, 22 Juni 2023

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Pantau Gambut mencatat keberpihakan kebijakan Presiden Joko Widodo pada pelestarian gambut kian buruk. Jika ia tak membuat kebijakan berpihak pada gambut maka hampir dipastikan akhir masa jabatannya, yang berakhir pada 2024, akan menyisakan ancaman kebakaran hutan di lahan gambut.   

Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) tahun 2015 paling tidak membuat Presiden Jokowi, yang baru saja menjabat, mengeluarkan peraturan untuk memastikan kelestarian lahan gambut. Ia menerbitkan PP No. 57 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut. 

Kala itu luas karhutla mencapai lebih dari 2,6 juta hektar. Krisis kabut asap akibat kebakaran itu berdampak terhadap kualitas lingkungan, tetapi juga ekonomi, sosial, hingga kesehatan masyarakat setempat. 

Juru Kampanye dan Advokasi Pantau Gambut, Wahyu Perdana, menyebutkan Peraturan ini paling tidak dapat menjaga gambut dari risiko kebakaran. Pemerintah mengatur batas pemanfaatan gambut, tinggi muka air tidak boleh melebihi 40 cm dari permukaan tanah. Peraturan ini menjadi angin segar bagi pemerhati lingkungan karena tanah gambut akan terendam air cukup dalam sepanjang tahun. 

Kanal di lahan gambut diselimuti kabut asap dari kebakaran hutan di dalam konsesi milik PT Wirakarya Sakti (WKS) APP Sinar Mas Group di Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Provinsi Jambi. Foto diambil pada tanggal 21 September 2019./Foto: Muhammad Adimaja/greenpeace

Niat baik ini ditindaklanjuti dengan terbitnya Peraturan Menteri LHK No. 16 Tahun 2017 tentang Pedoman Teknis Pemulihan Fungsi Ekosistem Gambut. Permen LHK. Aturan itu mempertegas bahwa kubah gambut adalah komponen yang sangat vital dalam menjaga berjalannya fungsi Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG). 

“Kubah gambut di dalam area konsesi dan belum dilakukan budidaya wajib dipertahankan sebagai ekosistem dengan fungsi lindung. Segala bentuk kegiatan ekstraksi yang dilakukan di atas area tersebut adalah terlarang,” terangnya.

Aturan ini penting untuk menjaga gambut karena tidak semua tanaman dapat tumbuh di atas gambut. Sistem perakaran spesies tanaman yang berasal dari lahan kering tidak akan mampu bertahan di kedalaman tanah yang terendam air gambut. Misalnya saja tanaman sawit bisa hidup pada rentang pH 4–6,5, sementara rata-rata tanah gambut memiliki tingkat keasaman tanah 3–4.

Artinya, jika sawit ingin tumbuh di atas lahan gambut maka lahan harus dikeringkan dengan sistem kanal.

Aturan ini melarang penanaman kembali usaha pertanian di atas lahan gambut. Keterlanjuran penanaman yang terjadi di area lindung hanya diberikan toleransi satu kali daur tanam. Mereka juga wajib memulihkan fungsi lindung dari kubah gambut yang sudah digunakan.

Berubah Haluan

Namun keberpihakan pada gambut ini tak bertahan. KLHK menerbitkan Permen LHK No. 10 Tahun 2019 tentang Penentuan, Penetapan dan Pengelolaan Puncak Kubah Gambut Berbasis KHG. Kubah gambut yang sebelumnya menjadi area terlarang untuk dimanfaatkan, diatur ulang untuk memfasilitasi aktivitas industri perkebunan perkebunan ataupun kehutanan, terlebih bagi perusahaan yang kesulitan berproduksi karena memiliki lebih dari satu kubah gambut di dalam wilayah kekuasaannya.

Uniknya, PP No. 57 Tahun 2016 masih berlaku ketika Permen LHK No. 10 Tahun 2019 disahkan. Standar pembudidayaan kubah gambut pun menjadi ganda. PP No. 57 Tahun 2016 Pasal 9 Ayat 4 mengatur bahwa gambut dengan kedalaman lebih dari tiga meter atau lebih sudah seharusnya dijadikan fungsi lindung. 

“Pemerintah lantas semakin terang-terangan mengobral ekosistem gambut ketika Jokowi mengesahkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (UUCK)–sebuah peraturan yang tidak semestinya disahkan karena tiada kedaruratan dalam penerbitannya,” lanjut Wahyu.

Catatan dari Pantau Gambut menyebutkan 857 perkebunan sawit seluas 3,4 juta hektare telah aktif beroperasi di dalam kawasan hutan tanpa adanya perizinan kehutanan yang sah. Skema kemudahan untuk berusaha di dalam kawasan hutan–termasuk gambut–pun dimuluskan melalui dua skema yang diatur dalam pasal 110A dan 110B. 

Skema 110A mengatur bahwa perkebunan yang sebelumnya hanya memiliki izin dari pemerintah daerah sebelum UUCK berlaku, hanya perlu membayar biaya administrasi kepada KLHK sebagai kompensasi untuk melegalkan usahanya. 

Sementara skema 110B membuka peluang bagi perkebunan ilegal untuk mendapatkan izin berusaha hanya dengan membayar sanksi administratif. Padahal jelas bahwa perkebunan tidak boleh beroperasi di kawasan hutan.

Selain soal penerbitan peraturan, keberpihakan Presiden Jokowi kepada para korban asap karhutla pun dipertanyakan. Pada Maret 2017, Pengadilan Negeri (PN) Palangkaraya menjatuhkan vonis bersalah kepada Jokowi bersama dengan deretan kementerian dan pemerintah daerah lainnya atas gugatan masyarakat karena kelalaian pemerintah sehingga terjadi karhutla hebat di Kalimantan Tengah tahun 2015. Lima tahun berselang sejak putusan tersebut, Jokowi lolos dari jerat hukum setelah mengajukan permohonan Peninjauan Kembali (PK) pada Bulan Agustus 2022 kepada Mahkamah Agung (MA) dan dikabulkan pada November 2022.

“Padahal pemerintah sebenarnya hanya diwajibkan untuk mengeluarkan beberapa peraturan untuk menanggulangi dan menghentikan kebakaran hutan di Kalimantan,” ucap Wahyu. 

Peta Kerentanan Karhutla KHG Indonesia. Sumber: Analisis Pantau Gambut 2023

Di Tengah Kepungan Asap

Pada tahun 2023, Pantau Gambut mencatat KHG seluas 16,4 juta hektare rentan terbakar dan lebih dari setengah total area tersebut ternyata berada pada wilayah konsesi beserta area penyangganya (buffer zone). Perusahaan dengan hak guna usaha (HGU) perkebunan dan hutan kayu (IUPHHK) mendominasi area yang rawan terbakar. Berdasarkan sebarannya, Provinsi Kalimantan Tengah (1,2 juta hektare) dan Papua Selatan (0,5 juta hektare) menjadi dua provinsi dengan kerentanan tinggi (high risk) terhadap karhutla. 

Selain dua provinsi tersebut, Provinsi Kalimantan Barat dan Provinsi Riau menyusul sebagai provinsi yang juga memiliki area dengan kelas high risk terhadap karhutla di area KHG pada tahun 2023 dengan luas masing-masing sekitar 400 ribu hektare.

Dua provinsi di Pulau Kalimantan yang menjadi langganan karhutla terbesar setiap tahunnya memunculkan kekhawatiran pada keberlangsungan dua Proyek Strategis Nasional (PSN) di Kalimantan, yaitu Ibu Kota Negara (IKN) dan Program Ketahanan Pangan Nasional atau yang biasa disebut dengan Food Estate. Selain itu Ibu Kota Negara (IKN) di Kabupaten Penajam Paser Utara, Provinsi Kalimantan Timur, berada di tengah ancaman kepungan asap kebakaran hutan dan lahan dari daerah penyangganya.

Sembilan KHG yang tersebar di seluruh blok eks-proyek Pengembangan Lahan Gambut (PLG) Satu Juta Hektar yang berada di Provinsi Kalimantan Tengah pun masih berpotensi terus membara. Setelah 20 tahun lebih program cetak sawah sejuta ha yang dilakukan oleh mantan Presiden Soeharto masih menyisakan lahan yang tercabik-cabik akibat kanalisasi, karena restorasi lahan belum juga membuahkan hasil. 

Pantau Gambut pun memberikan tiga catatan kepada Presiden Jokowi yang hendak menyelesaikan jabatannya di tahun 2024. Pertama, meskipun Jokowi menyatakan komitmen terhadap isu iklim dan merestorasi gambut, upaya tersebut kerap ambigu dan bertabrakan dengan kebijakan lainnya. Misalnya aturan tentang izin pemanfaatan kubah gambut yang berseberangan dengan kodratnya yang harus selalu terjaga suplai airnya. 

“Kemudahan izin beroperasi dengan “memutihkan” korporasi bermasalah juga menjadi problematika. Belum lagi jika berbicara kebijakan terkait Food Estate di kawasan lindung. Semuanya menunjukkan ketidaksesuaian dan perlu ada evaluasi kebijakan yang lebih menyeluruh,” terang Wahyu.

Kedua, implementasi di lapangan terhadap kebijakan perlindungan lingkungan–terutama ekosistem gambut–mengalami kelemahan dalam penegakan hukum. Risiko kerusakan ekosistem gambut masih terlihat dari fakta lapangan dan studi Pantau Gambut yang mencatat terjadinya karhutla dan kerentanan yang tinggi pada wilayah konsesi. Hal Ini menunjukkan perlunya peningkatan penegakan hukum dan kebijakan yang lebih efektif dalam perlindungan ekosistem gambut. 

Ketiga, peran Presiden Jokowi sebagai pemimpin negara ataupun warga negara dalam menghadapi masalah hukum tidak patut untuk menjadi teladan. Pembatalan vonis bersalah yang dijatuhkan kepada Jokowi dan beberapa pejabat lainnya terkait karhutla di Kalimantan Tengah, menimbulkan persepsi masyarakat kalau hukum bisa dibeli oleh kekuasaan. 

“Pada akhirnya, komitmen Jokowi terhadap penanggulangan kerusakan lingkungan dan perlindungan yang efektif terhadap ekosistem gambut menjadi tanda tanya besar,” imbuhnya.

SHARE