LIPUTAN KHUSUS:

Keluh Kesah Suku Malin Papua kala Hutannya Berubah Jadi HTI


Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Mereka meminta pemerintah turun tangan, mengambil tindakan terhadap PT SIS dan PT PNMP yang dianggap merusak hutan adat dan mengingkari janji-janjinya kepada warga

Hutan

Rabu, 08 Juni 2022

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID - Keluh kesah dampak aktivitas perusahaan hutan tanaman industri (HTI) PT Selaras Inti Semesta (SIS) dan PT Plasma Nutfah Marind Papua (PNMP) tumpah dari mulut sejumlah perwakilan warga asli Suku Malind, dari Kampung Buepe Distrik Kaptel dan Kampung Zanegi Distrik Animha, yang berkumpul di Gedung Pertemuan Vertenten, di Kabupaten Merauke, Provinsi Papua, Jumat (3/6/2022).

Di situ, mereka meminta pemerintah daerah turun tangan dan mengambil tindakan tegas terhadap PT SIS dan PT PNMP, yang dianggap telah menghancurkan hutan adat dan mengingkari janji-janjinya kepada warga.

"Kami meminta perusahan bertanggung jawab untuk memperbaiki dan memulihkan fungsi-fungsi hutan dusun sagu, tempat mencari ikan, tempat keramat, tempat suci dan hutan tempat berburu, serta tempat sekitar aliran sungai dan rawa," kata Lukas Samkakai, tokoh masyarakat Malind dari Kampung Buepe, Distrik Kaptel, dalam pertemuan bersama perwakilan Pemerintah Kabupaten Merauke dan anggota DPRD setempat tersebut.

Dalam surat pernyataan yang ditandatangani 26 warga Suku Malind asal Kampung Buepe dan Kampung Zanegi diuraikan, aktivitas dua perusahaan itu telah mengakibatkan hutan, dusun (hutan) sagu dan rawa yang selama ini menjadi sumber kehidupan masyarakat setempat, rusak bahkan hilang. Akibat kerusakan ekosistem tersebut warga yang tinggal di dua kampung itu kesulitan memperoleh sumber makanan seperti daging, ikan dan hasil alam lainnya.

Tampak dari ketinggian areal konsesi PT PNMP di Merauke, Provinsi Papua./Foto: Pusaka

"Kerusakan ekosistem ini membuat kami menderita dan tak berdaya. Kelompok paling menderita dan tak berdaya adalah perempuan dan anak-anak," tulis warga dalam surat pernyataan yang diterima.

Terungkap pula, perusahaan pernah menjanjikan banyak hal kepada warga. Mulai dari peningkatan kesejahteraan warga, pembangunan fasilitas sosial, membantu pendidikan anak-anak, menyediakan perumahan dan air bersih, menyediakan pelayanan kesehatan, transportasi, pemberdayaan ekonomi, membuka lapangan kerja, pengembangan mata pencaharian masyarakat serta melindungi dusun dan tempat penting.

"Namun semua janji itu tinggal janji. PT Selaras Inti Semesta dan PT Plasma Nutfah Marind Papua ternyata mengingkari janjinya kepada kami. Kedua perusahaan ini memberikan kompensasi atas hutan yang hilang dengan nilai yang jauh dari kelayakan dan keadilan."

Melalui surat pernyataan itu warga juga mengungkapkan, dampak kerusakan ekosistem tidak dapat tergantikan sekarang dan di masa depan. Warga merasa sungguh dirugikan dengan kehadiran perusahaan atau investor di wilayah adat. Tidak hanya kerusakan ekosistem saja, tetapi juga terjadi kerusakan sosial.

"Saat ini kami kehidupan kami di kampung tidak rukun dan tidak harmonis seperti dulu lagi. Sebagai satu keluarga kami saling tidak percaya, baku curiga dan baku marah bahkan baku bunuh," tulis warga.

Atas situasi dan kondisi itu, 26 warga Suku Malind dari Kampung Buepe dan Kampung Zanegi yang membubuhkan tanda tangan di surat pernyataan ini menyampaikan 7 poin pernyataan dan tuntutan yang ditujukan, baik kepada pemerintah daerah dan instansi terkait lainnya, maupun kepada PT SIS dan PT PNMP.

Tuntutan itu yang pertama, meminta Pemerintah Kabupaten Merauke, DPRD dan aparat penegak hukum, untuk segera mengambil langkah hukum, memanggil dan memeriksa pimpinan perusahaan-perusahaan itu agar bertanggung jawab atas permasalahan dan janji-janji yang tidak dipatuhi, serta memberikan sanksi sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Kedua, meminta pemerintah daerah untuk memfasilitasi peninjauan kembali perjanjian-perjanjian yang telah merugikan masyarakat, termasuk perjanjian yang dibuat tanpa konsultasi mendalam dan memadai, serta belum mendapat persetujuan dari masyarakat.

Ketiga, meminta pemerintah daerah, kabupaten maupun provinsi, meninjau kembali perizinan usaha perusahaan dan putusan Peraturan Gubernur Papua Nomor 64 Tahun 2012 tentang Standar Kompensasi atas Hasil Hutan Kayu Adat, yang standar nilai kompensasinya tidak adil dan tidak sesuai dengan akibat kerugian sosial, ekonomi, budaya dan hilangnya hutan.

"Kami meminta nilai standar tersebut berdasarkan dan mengutamakan kesepakatan kami masyarakat asli Malind," demikian tertulis dalam surat pernyataan.

Kemudian keempat, memohon agar pemerintah, di kabupaten, provinsi maupun pusat, tidak lagi memberikan izin dan rekomendasi baru terkait rencana dan perluasan usaha pada hutan alam. Warga meminta kepada pemerintah untuk membatasi operasi perusahaan pada hutan tanaman yang sudah terlanjur diusahakan.

Dalam poin kelima, warga meminta perusahaan bertanggung jawab secara penuh menjalankan usaha secara berkelanjutan dan berkeadilan, serta melakukan dan menghormati hak-hak masyarakat asli Malind. Yang mana setiap melakukan kegiatan harus melalui musyawarah dan kesepakatan bersama dengan warga masyarakat asli Malind. Termasuk kesepakatan pembagian manfaat dan tanggung jawab sosial dan lingkungan.

"Kami juga meminta perusahaan tidak boleh menggusur dusun sagu dan melindungi tempat-tempat penting yang mempunyai fungsi sosial budaya, ekonomi dan lingkungan," urai warga.

Keenam, perusahaan harus bertanggung jawab memperbaiki dan memulihkan fungsi-fungsi dusun sagu, tempat mencari ikan, tempat keramat, tempat suci dan hutan tempat berburu, serta tempat sekitar aliran sungai dan rawa.

Terakhir, yang ketujuh, perusahaan harus bertanggung jawab dan patuh pada kewajiban untuk mengembangkan program pemberdayaan usaha ekonomi masyarakat, memfasilitasi pembangunan organisasi usaha, modal dan pemasaran hasil-hasil usaha ekonomi masyarakat, dan mempekerjakan masyarakat yang berusia produktif, yang merupakan tanggung jawab sosial perusahaan.