6 Juta Ha Lahan Gambut Rusak, Separuhnya di Lahan Korporasi

Penulis : Kennial Laia

Gambut

Sabtu, 03 Februari 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Penelitian terbaru mengungkap terdapat 6 juta hektare lahan gambut yang terdegradasi di Indonesia. Setengah dari luasan tersebut berada di dalam konsesi perkebunan kelapa sawit dan kehutanan milik korporasi.

Riset tersebut terbit menjelang Hari Lahan Basah Sedunia pada 2 Februari 2024. Nurul Silva Lestari, penulis utama dan peneliti di Pusat Riset Ekologi dan Etnobiologi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengatakan, luasan tersebut berpotensi untuk direstorasi. 

Menurut Nurul, Indonesia merupakan salah satu negara dengan tipe ekosistem lahan basah terlengkap di dunia, mulai dari gambut, mangrove, riparian, rawa, dan sawah. Total luas yang didapati dalam penelitian tersebut mencapai 13,4 juta hektare. 

“Indonesia juga pemilik lahan gambut tropis terluas di dunia. Namun, saat ini belum ada data yang terverifikasi berapa luasan yang sudah terdegradasi dan perlu segera direstorasi,” kata Nurul melalui, Kamis, 1 Februari 2024. 

Danau gambut di Desa Muara Siran, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Dok YKAN

“Kami berharap hasil penelitian ini menjadi rekomendasi bagi para pengambil kebijakan untuk memperkuat regulasi restorasi gambut lebih efektif,” ujar Nurul. 

Diterbitkan di jurnal Restoration Ecology, data terbaru ini diperoleh dari penelitian sepanjang 2023, yang dilakukan oleh BRIN, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN), dan The Nature Conservancy. Kolaborasi ini melakukan analisis biofisik untuk mendapatkan potensi luas area restorasi gambut di seluruh Indonesia. 

Menurut penelitian tersebut, ada tiga provinsi prioritas yang harus segera direstorasi, yakni Riau (2,4 juta hektare), Kalimantan Tengah (1 juta hektare), dan Sumatra Selatan (0,9 juta hektare). Sisanya tersebar mulai dari Kalimantan, Sumatra, dan Papua. 

Lahan bekas terbakar menjadi prioritas restorasi. Hal ini penting untuk mencegah kebakaran berulang dan memperlambat degradasi gambut. 

Sementara itu riset itu menulis bahwa lahan gambut rusak di area izin perusahaan, penanaman kembali atau revegetasi tidak menjadi pilihan karena lahannya sudah berubah menjadi perkebunan atau hutan tanaman. 

Data Pantau Gambut pada 2023 menyebut, terdapat 3,8 juta hektare lahan yang sangat rentan terbakar di di area KGH yang memiliki lahan gambut. Lebih dari setengah atau 54% berada di dalam area konsesi dan area  penyangganya. Kerentanan tinggi in paling besar di wilayah izin Hak Guna Usaha dan Hutan Tanaman Industri adalah yang terbesar. 

Pantau Gambut juga menemukan konsesi-konsesi perusahaan mengalami kebakaran berulang dari tahun ke tahun. 

Nisa Novita, Manajer Senior Karbon Kehutanan dan Perubahan Iklim YKAN dan bagian dari tim peneliti tersebut mengatakan, hal yang mungkin dilakukan adalah mengelola muka air gambut dengan pembuatan sekat kanal. Prosesnya juga harus mempertimbangkan Kesatuan Hidrologis Gambut, yakni ekosistem gambut yang terletak di antara dua sungai, atau antara sungai dengan laut atau rawa-rawa. Pengelolaan lahan dalam satu KHG ini akan saling mempengaruhi antara satu wilayah dengan wilayah lainnya. 

“Kami menyediakan pilihan-pilihan area restorasi berdasarkan tiga variabel utama yaitu luas jaringan kanal, area bekas kebakaran, dan lahan yang berstatus kritis,” ujar Nisa. 

Menurut Nisa, isu terbesar yang perlu diperhatikan dalam asesmen risiko dalam restorasi masih menyangkut  permasalahan teknis, manajemen dan sosial. Tingginya temuan luas gambut terdegradasi juga menjadi alarm bagi pelaku restorasi gambut untuk serius menyoroti masalah teknis, seperti kejadian kebakaran dan ketinggian muka air pada musim kemarau dan hujan. 

Pada konteks manajemen, lanjutnya, para pelaku restorasi harus berkolaborasi untuk menyelaraskan program mereka yang saling berhubungan serta ketiadaan program restorasi gambut dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah. 

“Supaya sukses, restorasi gambut ini perlu dikerjakan bersama lintas sektor dan lintas wilayah,” ujar Nisa. 

Sebagai catatan, kewenangan merestorasi lahan basah dipegang oleh Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM), dengan mandat memulihkan lahan gambut seluas 1,2 juta hektare. Model-model restorasi lahan gambut yang dilakukan di Indonesia antara lain pembasahan ulang (rewetting), penanaman kembali (revegetasi), dan revitalisasi penghidupan masyarakat yang mendukung restorasi. 

Sebelumnya, BRGM menyebut bahwa terdapat sekitar 13 juta hektare lahan gambut yang mengalami kerusakan, atau 50% dari total luasnya yang mencapai 26 juta hektare. Penyebab kerusakan ini adalah kebakaran dan industrialisasi. 

Nisa mengatakan, jika berhasil, restorasi gambut dapat mempercepat tercapainya target iklim dalam dokumen Nationally Determined Contribution atau NDC. Secara khusus pada sektor kehutanan dan penggunaan lahan lainnya. Penelitian YKAN lainnya juga menemukan bahwa restorasi gambut berpotensi mengurangi emisi gas rumah kaca hingga 172 juta ton CO2/tahun. 

SHARE