10 Besar Grup Sawit yang Dapat Pemutihan: Sinar Mas, Wilmar, ...

Penulis : Aryo Bhawono

Sawit

Kamis, 26 Oktober 2023

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Pemerintah tengah mengupayakan penyelesaian keterlanjuran sawit dalam kawasan hutan seluas 3,3 juta hektare melalui pemutihan. Langkah ini dianggap oleh lembaga-lembaga pegiat lingkungan sebagai bagian dari kejahatan lingkungan.  

Analisis Greenpeace dan TheTreeMap (2019) menyebutkan terdapat sekitar 3.118.804 hektare kelapa sawit di dalam kawasan hutan di Indonesia. Setengahnya merupakan milik 600 lebih perusahaan perkebunan kelapa sawit,  masing-masing mengusahakan lebih dari 10 ha di dalam kawasan hutan. 

Kebun sawit seluas 90.200 ha ditanam di hutan konservasi dan seluas 146.871 ha di hutan lindung. 

Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Syahrul Fitra, mengaku heran karena pemerintah bukannya melakukan perbaikan namun justru pemutihan sawit ilegal di kawasan hutan. 

Deforestasi di konsesi perkebunan PT Sawit Mandiri Lestari, Kabupaten Lamandau, Kalimantan Tengah. Foto: Betahita/Ario Tanoto

“Kebijakan ini jelas tidak berpihak kepada lingkungan serta masyarakat adat dan masyarakat tempatan yang terdampak, melainkan ditengarai menguntungkan oligarki sawit di lingkaran kekuasaan,” kata dia dalam jumpa pers di Jakarta pada Rabu (25/10/2023).

Ia menyebutkan data tersebut turut mengidentifikasi 25 besar grup anggota RSPO berdasarkan total luas kelapa sawit yang ditanam di dalam kawasan hutan. Sepuluh grup teratas yang menanam sawit dalam kawasan hutan adalah Sinar Mas, Wilmar, Musim Mas, Goodhope, Citra Borneo Indah, Genting, Bumitama, Sime Darby, Perkebunan Nusantara, dan Rajawali/Eagle High.

Menurut Pantau Gambut, dari total 3,3 juta ha perkebunan sawit yang hendak diputihkan pemerintah, sebesar 407.267,537 hektar (sekitar 13-14 persen) berada di area Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG). Sebanyak 72 persen di antaranya berada dalam KHG dengan kategori rentan terbakar tingkat sedang (medium risk) dan 27 persen berada dalam kategori rentan terbakar tingkat tinggi (high risk). Pemutihan sawit ilegal yang berada di area Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG) itu pun akan kian memperparah kebakaran hutan dan lahan (karhutla). 

Padahal, sebanyak 91,64 persen pemegang izin konsesi yang wajib menanggulangi dan memulihkan kerusakan ekosistem gambut akibat karhutla di kawasannya tidak pernah mengimplementasikan restorasi.

Manajer Advokasi dan Kampanye Pantau Gambut, Wahyu Perdana, menyebutkan dari 32 entitas perusahaan sawit yang beroperasi secara ilegal di area KHG, hanya 5 perusahaan yang benar-benar berada di ekosistem gambut dengan fungsi budidaya. Sebanyak 27 (84 persen) perusahaan lainnya beroperasi di ekosistem gambut dengan fungsi lindung. 

Hal ini menunjukkan adanya pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 21 PP No. 71 Tahun 2014 jo. PP No. 57 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut. Kondisi ini meningkatkan risiko karhutla pada ekosistem gambut.

Sedangkan dari data burn area KLHK tahun 2015-2020 yang diolah Pantau Gambut, ditemukan terdapat sebelas grup korporasi dalam skema pemutihan di area KHG yang memiliki latar belakang luasan area terbakar pada Karhutla 2015-2020. Grup perusahaan dengan burn area terluas adalah Best Agro Plantation dengan total luasan area terbakar 3.605,876 ha, disusul oleh Soechi dengan total luasan 2.085,382 ha, lalu diikuti oleh Citra Borneo dengan total luasan 1.704,521 ha.

Transformasi Untuk Keadilan Indonesia (TuK Indonesia) mengidentifikasi terdapat 25 kelompok perusahaan besar yang menguasai total lahan perkebunan seluas 3,9 juta ha. Data tersebut menunjukkan bahwa dari 3,9 juta ha lahan sawit, sebagian besar penguasaan lahan adalah oleh Sinar Mas (14 persen), Salim (8 persen), Jardine Matheson (7 persen), Wilmar (6 persen), dan Surya Dumai Group (5 persen). 

Grup-grup perusahaan tersebut disokong oleh pembiayaan besar dari lembaga jasa keuangan. 

Sinar Mas dibiayai oleh Banco de Sabadell dan ABN AMRO memberikan corporate loan sebesar 17,5 juta dolar AS atau setara dengan Rp 247,9 miliar. Selain itu, Bank Central Asia (BCA) dan Bank Sinar Mas turut membiayai Sinar Mas. 

Grup lainnya, Wilmar, dibiayai oleh Oversea-Chinese Banking Corporation melalui skema revolving credit facility sebesar 24,6 juta dolar AS pada 2018 atau setara Rp 348,5 miliar, yang mana pada tahun-tahun berikutnya, melalui lembaga pembiayaan yang sama masih mendapatkan fasilitas kredit dan investasi. 

Bahkan lembaga jasa keuangan penyedia dana pensiun di Malaysia, Employees Provident Fund, membiayai Genting Grup yang turut diuntungkan dalam agenda pemutihan hingga sebesar 110,1 juta dolar AS pada tahun 2022, atau senilai dengan Rp.1,7 triliun.

Berdasar analisis titik panas, TuK Indonesia mengidentifikasi beberapa perusahaan sawit yang masuk dalam daftar pemutihan berulang kali terlibat kejahatan lingkungan berupa karhutla di Kalimantan Tengah. Perusahaan-perusahaan tersebut meliputi: PT Bangun Cipta Mìtra Perkasa (Best Agro), PT Globalindo Agung Lestari (Genting Group), PT Karya Luhur Sejati (Best Agro), PT Rezeki Alam Semesta Raya (Soechi Group), dan PT Bangun Cipta Mìtra Perkasa (Best Agro).

Pengampanye TuK Indonesia, Abdul Haris, menyebutkan pemutihan ini adalah bentuk kejahatan oleh negara. Menurutnya pemutihan sawit menjadi perhatian serius oleh lembaga jasa keuangan untuk mengevaluasi pembiayaan terhadap perusahaan-perusahaan yang terbukti melakukan penanaman sawit di dalam kawasan hutan.

“Adanya temuan bahwa perusahaan-perusahaan yang menanam sawit dalam kawasan hutan pun merupakan grup perusahaan anggota RSPO mendukung statement kami sebelumnya bahwa memang, sertifikasi RSPO tidak kredibel,” ucap dia.

SHARE