Restorasi Gambut dalam Konsesi Kian Sulit Diawasi

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Gambut

Rabu, 01 November 2023

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Aktivis lingkungan mempertanyakan nasib restorasi gambut di dalam konsesi perusahaan. Sebab, Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) tidak lagi memiliki kewenangan melakukan supervisi restorasi gambut di dalam konsesi. Sementara itu, ada 32 perusahaan sawit yang beroperasi secara ilegal di areal Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG).

Manajer Advokasi dan Kampanye Pantau Gambut, Wahyu A Perdana mengatakan, restorasi gambut di dalam konsesi perusahaan semakin sulit diawasi. Sebab BRGM sudah tidak lagi bisa melakukan supervisi terhadap perusahaan untuk restorasi gambut rusak yang ada di dalam konsesi.

Dalam Peraturan Presiden (Perpres) No. 1 Tahun 2016 tentang Badan Restorasi Gambut, Pasal 2 menyebutkan BRG menyelenggarakan fungsi pelaksanaan supervisi dalam konstruksi, operasi dan pemeliharaan infrastruktur di lahan konsesi. Namun setelah berganti nama menjadi BRGM melalui Perpres No. 120 Tahun 2020, kewenangan supervisi di konsesi itu tidak disebutkan lagi.

"Berdasarkan catatan studi kita pada 2021, secara umum konsesi (perusahaan) kerap kali tidak patuh. Secara normatif pemerintah bisa mengenakan sanksi terhadap perusahaan yang tidak melakukan restorasi gambut di konsesinya. Tapi sayangnya langkah hukum terhadap perusahaan baru diambil jika terjadi kebakaran hutan dan lahan saja." kata Wahyu, Selasa (31/10/2023).

©Alvi KGS - Gemindo/HKV untuk Pantau Gambu

Wahyu melanjutkan, keseriusan pemerintah menjalankan restorasi gambut sebenarnya masih menyisakan pertanyaan. Karena Pantau Gambut mengidentifikasi, dari 3,3 juta hektare sawit dalam kawasan hutan yang akan diputihkan oleh pemerintah menggunakan mekanisme Pasal 110A Undang-Undang Cipta Kerja, lebih dari 407.267,537 hektare (sekitar 13-14 persen) di antaranya berada di area KHG.

Dari 32 entitas perusahaan sawit yang beroperasi secara ilegal di area KHG, hanya 5 perusahaan yang benar-benar berada di ekosistem gambut dengan Fungsi Budidaya, sedangkan sisa 27 perusahaan lainnya beroperasi di ekosistem gambut dengan Fungsi Lindung.

"Berdasarkan analisa Pantau Gambut, salah satu hal yang dapat dijadikan indikator bahwa restorasi tidak berjalan baik adalah kerentanan karhutla yang tinggi pada area ekosistem gambut, khususnya pada area konsesi," ujar Wahyu.

Pantau Gambut melakukan analisis spasial dan observasi lapangan pada 1.222 titik sampel area gambut dalam yang tersebar di 43 wilayah konsesi yang terbakar di tujuh provinsi. Hasilnya menunjukkan adanya penanaman tanaman ekstraktif berupa sawit atau akasia di 64,4 persen titik sampel. Sisa titik sampel menunjukkan lahan yang ditelantarkan tanpa adanya upaya pemulihan seperti yang dimandatkan oleh peraturan pemerintah.

"Pantau Gambut juga menemukan bahwa 91,5 persen dari titik sampel tidak terdapat adanya infrastruktur restorasi sama sekali. Hanya 1,8 persen yang terdapat infrastruktur restorasi, baik sekat kanal atau sumur bor, dengan kondisi baik," kata Wahyu.

Masih kata Wahyu, Pantau Gambut mencatat, dari total 24,2 juta hektare luas KHG di Indonesia, sekitar 16,4 juta hektare berada pada kerentanan kelas tinggi dan kelas sedang. Kemudian, sebanyak 54 persen dari 3,8 juta hektare risiko karhutla dengan kerentanan tinggi (kerentanan kelas tinggi) pada area KHG berada pada area konsesi beserta area penyangganya.

"Konsesi dengan izin HGU dan HTI menjadi konsesi dengan izin persentase paling besar yang berada di kerentanan kelas tinggi," ucapnya.

Sebelumnya, Kepala Kelompok Kerja Pengembangan Usaha Masyarakat, BRGM, Nugroho menyatakan sebanyak 900 ribu hektare lahan gambut rusak di Indonesia sudah direstorasi.

"Dari total target seluas 2,6 juta hektare lahan gambut yang direstorasi, 900 ribu hektar di antaranya sudah benar-benar direstorasi," kata Nugroho, Senin (30/10/2023) kemarin, dikutip dari Antara.

Nugroho menjelaskan, kerusakan lahan gambut ini disebabkan oleh beberapa faktor yaitu pembukaan lahan dengan ladang berpindah, penerbangan liar, dan paling umum disebabkan oleh kebakaran.

BRGM memfokuskan proses restorasi gambut yang rusak tersebut dengan berbagai cara, antara lain dengan menyekat kanal, membuat sumur bor, dan mendorong produktivitas masyarakat mengelola kawasan gambut dengan kegiatan perkebunan dan kerajinan.

Proses restorasi tersebut, lanjut Nugroho, dilakukan tim BRGM bekerja sama Tim Restorasi Gambut Daerah (TRGD) di tujuh provinsi prioritas selama lima tahun terakhir (2017-2022). Masing-masing adalah Provinsi Riau, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Jambi, Sumatera Selatan, Sumatera Utara, dan Papua.

"Selain itu di daerah tersebut kami juga memasang alat pemantau tinggi muka air (APTMA) sebanyak 143 unit untuk memantau efektivitas restorasi," katanya.

Menurutnya, ratusan unit APTMA memudahkan pemantauan operasional 17 ribu sumur bor dan 5.000 unit sekat kanal. APTMA yang dikembangkan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) tersebut bekerja setiap 10 menit sekali melaporkan kondisi terkini per hari ke petugas pemantauan di kantor pusat BRGM Jakarta.

"Restorasi lahan gambut penting untuk mengembalikan fungsinya sebagai penyerap air dan emisi gas rumah kaca (CO2)," ujar Nugroho.

Namun, BRGM membutuhkan penguatan melalui pengaturan ulang beberapa regulasi terkait restorasi gambut untuk menyelesaikan proyek restorasi 2,6 juta hektare lahan gambut hingga 2024. BRGM membutuhkan dasar yang jelas untuk bisa merestorasi lahan gambut yang berada dalam kawasan konsesi perusahaan, seluas 1,7 juta hektare.

"Agar tidak terjadi tumpang tindih kewenangan kami butuh kepastian regulasi," kata dia.

SHARE