Sagu, Tanaman Pangan Paling Menjanjikan yang Diabaikan

Penulis : Gilang Helindro

Agraria

Senin, 15 Juni 2020

Editor :

BETAHITA.ID -  Indonesia memiliki tanaman pangan asli sagu yang jumlahnya melimpah, liar dan produktivitasnya tinggi. Dibandingkan sawit dan padi, yang merupakan komoditas utama di Indonesia, sagu lebih hemat dalam pemakaian dan penyerapan air.

Sayangnya, perhatian pemerintah dan masyarakat terhadap sagu sangat kurang. Padahal sistem pangan secara global saat ini memiliki dampak negatif yang sangat besar pada lingkungan, ketahanan ekosistem dan keanekaragaman hayati.

Baca juga: (PBB: Dunia Berada di Ambang Krisis Pangan Terburuk dalam 50 Tahun)

Sedangkan di sisi lain banyak masyarakat petani terutama di pedesaan dan daerah terpencil yang belum dijamin ketahanan dan kedaulatan pangannya. Oleh karena itu ada ketimpangan secara ekonomi-sosial dan juga terjadinya kerusakan lingkungan.

Dusun Weyunggeo, Kampung Uni, Distrik Bomakia, Kabupaten Boven Digoel, Provinsi Papua. Lokasi penyelenggaraan Festival Pesta Ulat Sagu. foto/Econusa/Istimewa.

Untuk menghasilkan produk 1 ton sagu, membutuhkan sekitar 0,05 hektare lahan. dibandingkan dengan sawit yang membutuhkan 0,42 hektare, kemudian padi 0,17 hektare.

Emisi yang dihasilkan dari pembibitan hingga panen, pati sagu menghasilkan emisi 214,75 ton per hektare per tahun, untuk kelapa sawit 406,88 ton per hektare per tahun, sedangkan padi 322,03 ton per hektare per tahun.

Dr Saptarining Wulan, Pemerhati Pangan dari STP Trisakti dan Duta Pangan Bijak Nusantara mengatakan dalam Webinar dengan tema “Pangan Lokal sebagai Ketahanan dan Kedaulatan Pangan Nasional”, Selasa, 9 Juni 2020, setiap bagian sagu bermanfaat, daunnya bisa digunakan sebagai atap rumah, Ulat sagu sangat tinggi protein dan pati dari sagu digunakan untuk bahan pokok pangan.

Dalam diskusi Pangan Bijak Nusantara, Saptarining juga menjelaskan bahwa sagu bisa diolah dengan bentuk lain. Misalnya saja nasi sagu rempah, yang diperkenalkan di kegiatan Festival Sagu Nasional di Desa Sungai Tohor, Kecamatan Tebing Tinggi Timur, Kabupaten Kepulauan Meranti, Provinsi Riau, Minggu 15 Maret 2020 lalu.

Kemudian salah satu contohnya Papua, variasi bahan pangan lokal yang diolah menjadi makanan oleh komunitas masyarakat adat Papua bersumber dari hutan atau dengan cara bercocok tanam.

Di sekitar hutan dan kampung adalah sumber pangan yang tetap tersedia di masa-masa pembatasan sosial akibat wabah corona seperti saat ini. Sayangnya, menurut Koordinator Aliansi Masyarakat Adat Nusantara wilayah Sorong Raya, Feki Yance Wilson Mobalen, kebiasaan bercocok tanam, menjaga dusun sagu yang sudah turun menurun ini makin berkurang, dan terancam menghilang.

“Sudah seharusnya masyarakat Papua mempertahankan kekuatan pangan lokal. Jangan biarkan pergeseran pangan lokal terjadi lagi seperti di Kampung Waijan, Pulau Salawati, Raja Ampat,” katanya Rabu, 10 Juni 2020.

Feki mengatakan persawahan dan lahan padi menggantikan dusun sagu di tanah Papua. "Bahkan alih fungsi lahan dari dusun sagu menjadi lahan sawit," ungkapnya.

Laju alih fungsi lahan terus terjadi di Indonesia bahkan di Papua. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mencatat pada 2015, luas hutan di Provinsi Papua dan Papua Barat termasuk hutan produksi tetap, hutan produksi terbatas, dan hutan lindung mencapai 38.153.269 hektare. Padahal hingga 2009, luas hutan di sana mencapai 42 juta hektare. Tahun 2011 lalu Greenpeace mencatat laju deforestasi rata-rata per tahun di Provinsi Papua mencapai 143.680 hektare, sementara di Provinsi Papua Barat 293 ribu hektare.

Ketika wabah virus seperti sekarang ini di wilayah adat banyak yang tidak mengerti soal penyebaran dan tanda tandanya.

"Masyarakat adat sedikitpun tidak punya pemahaman tentang bagaimana penyebaran Covid-19 ini dan mempengaruhi wilayah adat," katanya.

Warga  Kampung Abar, Distrik Ebungfauw, di Danau Sentani, Kabupaten Jayapura, Papua menggelar festival makan papeda, makanan berupa bubur sagu khas Papua, dalam gerabah, 30 September 2019. (Dok. Hari Suroto)

Masyarakat adat dan suku-suku di dekat hutan dan pedalaman dalam masa Pandemi Covid-19 ini menjadi kelompok yang sangat rentan. Karena walaupun mungkin bertempat tinggal jauh dari kota yang menjadi episentrum penularan Covid-19 tetapi ketiadaan fasilitas kesehatan seperti puskesmas dan rumah sakit di daerahnya menjadikan pengobatannya akan sangat sulit dilakukan.

Sedangkan Kota Sorong merupakan pintu utama dari 5 kabupaten dan satu kota dalam menyalurkan logistik dan bahan pangan. "Situasi Covid-19 membuat semua berpikir untuk pergi berkebun,” kata Feki.

SHARE