Pelepasan Hutan di Bengkulu Dinilai Ancam Situs Warisan Dunia

Penulis : R. Ariyo Wicaksono

SOROT

Selasa, 16 Juni 2020

Editor :

BETAHITA.ID -  Pelepasan kawasan hutan seluas sekitar 53 ribu hektare yang diusulkan Pemerintah Provinsi Bengkulu kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan dinilai mengancam situs warisan dunia.

Hal ini karena kawasan hutan yang diusulkan untuk dialihfungsikan itu merupakan buffer zone atau kawasan penyangga Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) dan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS), kata Direktur Genesis Bengkulu, Uli Arta Siagian, dalam keterangan tertulisnya, Selasa, 9 Juni 2020.

Usulan pelepasan kawasan penyangga dua taman nasional ini mendapat perhatian UNESCO. Pada September 2019 lalu Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan PBB mengirimkan surat kepada Duta Besar Indonesia untuk Prancis yang kemudian ditembuskan kepada Indonesian National Commission for UNESCO.

UNESCO meminta Pemerintah Indonesia memberikan tanggapan atas surat tersebut. Pada Jumat (6/6/2020), Pemerintah Provinsi Bengkulu mengikuti rapat virtual yang diselenggarakan oleh Komisi Nasional Indonesia untuk UNESCO guna memberikan jawaban atas alasan pelepasan kawasan penyangga situs warisan dunia tersebut.

Patok perkebunan, yang menurut Genesis Bengkulu berada di wilayah hutan yang dimintakan pengalihan fungsi oleh Pemerintah Provinsi Bengkulu. (Dok. Genesis Bengkulu)

Direktur Genesis Bengkulu, Uli Arta Siagian mengatakan, surat yang disampaikan UNESCO kepada Pemerintah Indonesia ini merupakan tindak lanjut atau jawaban atas laporan yang disampaikan masyarakat sipil Bengkulu.

Uli mengakui pada Agustus 2019, Genesis bersama beberapa lembaga masyarakat sipil lain telah mengirim surat kepada UNESCO berisi laporan tentang adanya rencana pelepasan kawasan hutan penyangga TNKS dan TNBBS, seluas 53 ribu hektar yang akan mengancam situs warisan dunia.

"Rapat ini sebagai wadah diskusi bagi pemangku kepentingan serta mengingatkan bahwa pemerintah Indonesia harus melaksanakan kewajiban sebagai anggota untuk memberikan tanggapan kepada WHC (World Heritage Centre),” kata Ketua Komisi Nasional Indonesia UNESCO Prof. Arief Rachman, saat Video Conference.

Dalam rapat, Sekretaris Daerah Bengkulu Hamka Sabri menyatakan bahwa usulan pelepasan kawasan hutan seluas 53 ribu hektare itu semata-mata untuk kesejahteraan masyarakat. 

“Jadi harapan kita, apa yang diusulkan itu dapat menjadi kenyataan, karena hal itu sangat diperlukan untuk kesejahteraan masyarakat,” kata Hamka Sabri, saat usai mengikuti virtual meeting seperti dikutip laman resmi Pemerintah Provinsi Bengkulu.

Menurut Hamka, diharapkan setelah perubahan oeruntukan  ini, TNKS dan TNBBS di wilayah Provinsi Bengkulu tidak ada persoalan lagi dan dapat tetap menjadi salah satu Situs Warisan Dunia Hutan Hujan Tropis Sumatera.

“Kita tetap berkomitmen untuk menjaga kelestarian hutan. Kita tidak mungkin mengabaikan hal itu,” katanya.

Namun menurut Uli, kelompok lembaga masyarakat sipil Bengkulu sejak awal menolak pelepasan kawasan hutan karena diduga kuat hanya mengakomodasi kepentingan 12 korporasi atau pengusaha. Dugaan ini diperkuat dengan hasil analisis yang menunjukkan bahwa beberapa kawasan hutan yang diusulkan untuk dilepaskan ternyata telah dilengkapi dengan Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Hak Guna Usaha (HGU) Perkebunan sawit.

Uli menyebut, usulan pelepasan kawasan hutan oleh Pemerintah Provinsi Bengkulu ini juga tanpa sepengetahuan warga yang tinggal di sekitar kawasan itu. Testimoni warga dari Mukomuko dan Bengkulu Tengah menunjukkan mereka tidak mengetahui bahwa kawasan hutan yang secara administratif masuk dalam desanya diusulkan untuk dilepaskan.

"Mereka mencurigai bahwa usulan pelepasan hutan itu akan menguntungkan perusahaan, sebab beberapa kali pertambangan ingin menguasai hutan di wilayah desa mereka. Testimoni ini disampaikan pada acara workshop 'Penguatan Dokumen Analisis Terhadap Pelepasan Kawasan Hutan sebagai Perbaikan Tata Kelola Kehutanan di Bengkulu' yang diselenggarakan oleh kelompok masyarakat sipil, Desember 2019."

Uli menjelaskan, ada dua hal yang setidaknya menjadi dasar kenapa masyarakat sipil menolak pelepasan kawasan hutan ini. Pertama, tidak adanya keadilan dalam redistribusi pelepasan kawasan hutan antara masyarakat dan pengusaha. Sekitar 40 persen dari kawasan hutan yang diusulkan untuk dilepaskan tersebut telah dibebani oleh izin pertambangan dan izin perkebunan sawit skala besar.

"Sedangkan 28 persennya pernah dibebani izin pertambangan. Fakta ini menunjukkan bahwa usulan pelepasan hutan ini ditunggangi oleh korporasi."

Alasan kedua, pelepasan hutan ini melanggar prinsip kelesatarian keanekaragaman hayati, fungsi penting layanan alam dan kesiagaan bencana. Perubahan peruntukan hutan dipastikan akan menghilangkan fungsinya. Sehingga berpotensi meningkatkan konflik satwa dan manusia. Sebab kawasan hutan yang diusulkan dilepaskan tersebut merupakan koridor dan habitat satwa dilindungi harimau dan gajah.

Gajah di TNBBS (Dok. TNBBS)

"Pelepasan hutan dengan fungsi lindung, konservasi bahkan produksi yang merupakan buffer zone situs warisan dunia itu yang harus digarisbawahi dan itu yang penting. Sebab, penyelamatan taman nasional sebagai situs warisan dunia itu enggak akan mungkin kalau kawasan hutan yang merupakan buffer zonenya dilepas."

Direktur Walhi Bengkulu, Beny Ardiansyah mengatakan, usulan pelepasan kawasan hutan dengan fungsi konservasi, lindung dan produksi ini akan mengancam keselamatan Taman Nasional sebagai situs warisan dunia, sebab kawasan itu adalah benteng terakhir.

"Komitmen untuk menyelamatkan situs warisan dunia itu seharusnya diwujudkan dengan menyelamatkan kawasan hutan lindung, bahkan produksi yang menjadi buffer zone warisan dunia itu sendiri," kata Beny, Senin (8/6/2020) dalam rilis media yang diterima redaksi.

Usulan pelepasan kawasan hutan yang merupakan buffer zone atau kawasan penyangga taman nasional ini merupakan tindakan kontradiktif terhadap komitmen Indonesia untuk menyelamatkan situs warisan dunia. Hal ini diperparah bahwa usulan ini sarat akan kepentingan korporasi. Jika kawasan hutan diakomodasi untuk dilepaskan, maka ini akan semakin mengancam keselamatan situs warisan dunia.

"Kelompok masyarakat sipil juga akan melakukan komunikasi lebih lanjut kepada UNESCO, sebab klarifikasi yang diberikan pemerintah provinsi Bengkulu tidak sesuai dengan kenyataan."

Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Provinsi Bengkulu, Sorjum Ahyan menjelaskan, usulan perubahan kawasan hutan menjadi APL itu dikarenakan status lahan yang diusulkan tersebut kondisinya berupa pemukiman, lahan perkebunan masyarakat, seperti persawahan ataupun kebun.

Menurut dia, selama ini terjadi konflik antara masyarakat dengan kawasan. Masyarakat yang ada di dalam kawasan hutan, lanjut Sorjum, mengakui lahan tersebut sudah diusahakan turun temurun sebelum penetapan batas dengan kawasan yang ada saat ini.

"Jadi pemerintah daerah mengusulkan lahan-lahan tersebut untuk dikeluarkan dari kawasan sehingga ada kepastian hukum dan aktivitasnya dapat terjamin dan diakui status kepemilikannya," kata Sorjum, Rabu (10/6/2020).

Lebih lanjut Sorjum mengungkapkan sejauh ini usulan perubahan status kawasan hutan yang disampaikan Pemprov Bengkulu itu belum ada yang disetujui ataupun terealisasi. Penilaian dan penelitian lebih lanjut yang seharusnya dilakukan oleh tim terpadu terkait usulan pelepasan kawasan hutan ini belum bisa dilaksanakan karena terkendala pandemi COVID-19.

"Sedang berproses, tahapannya saat ini akan dilaksanakan penilaian penelitian Timdu (tim terpadu) yang diSK-kan KemenLHK. Masih tertunda pelaksanaannya karena Pandemi COVID-19. Jadi belum ada pertujuan pelepasannya. Kemungkinan prosesnya akan dilanjutkan Tahun 2021," katanya.

Sorjum mengatakan, tidak ada perusahaan yang mengajukan usulan perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan di Provinsi Bengkulu. Usulan perubahan status kawasan hutan ini disampaikan oleh bupati dan atau walikota setelah melalui kajian dan pertimbangan oleh tim kepada Gubernur.

SHARE