LIPUTAN KHUSUS:

Catatan Akhir Tahun 2023: Jikalahari Mencari Presiden Berani


Penulis : Gilang Helindro

Belum ada capres dan cawapres yang menyatakan berani melawan korporasi terkait isu ekologis persoalan lingkungan hidup dan kehutanan di Riau.

Lingkungan

Selasa, 09 Januari 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Jikalahari dalam Catatan Akhir Tahun 2023 mengungkapkan belum ada Capres dan Cawapres yang dalam dokumen visi misinya berani melawan korporasi terkait isu ekologis, persoalan lingkungan hidup, dan kehutanan di Riau. Yang ada adalah, kata Okto Yugo Setiyo, Wakil Koordinator Jikalahari, bencana ekologis.

Sepanjang 2023, ujarnya, terjadi fenomena El Nino, terjadi peningkatan kasus kebakaran maupun bencana banjir. “Musim kemarau kering lebih lama dari musim penghujan yang berdampak pada peningkatan kasus kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Sumatera dan Kalimantan, khususnya Riau,” kata Okto, Senin, 8 Januari 2024.

Bencana El Nino ini kemudian diikuti banjir. Lebih dari 5 ribu rumah  warga terdampak banjir tersebut di 12 kabupaten/kota di Riau.

Pada masa yang sama konflik antara masyarakat dan perusahaan terus terjadi sepanjang 2023, di antaranya antara masyarakat Desa Mumpa dan Teluk Jirah denga PT Sumatera Riang Lestari, anak usaha APRIL Grup.

Satgas pemadaman Karhutla di Riau. Foto: Istimewa/mediacenter.riau.go.id

Bukan cuma konflik masyarakat dengan perusahaan, “Seperti tahun sebelumnya, konflik satwa juga tak absen dari Riau. Ditemukan terjadi penyerangan terhadap warga oleh harimau di Siak dan Indragiri Hilir,” kata Okto.

Apakah keadaannya akan membaik di tahun ini dan tahun berikutnya? 

Untuk mengetahuinya, Jikalahari menganalisis rencana kerja para capres dan cawapres dalam isu-isu lingkungan melalui dokumen visi dan misi mereka. Pasangan pertama, Anies dan Muhaimin, memasukkan isu ekologis menjadi bagian dari misi untuk "mewujudkan keadilan ekologis berkelanjutan untuk generasi mendatang". 

Pasangan kedua, Prabowo dan Gibran, menjadikan isu lingkungan bagian dari misi untuk "memantapkan sistem pertahanan keamanan negara dan mendorong kemandirian bangsa melalui swasembada pangan, energi, air, ekonomi kreatif, ekonomi hijau, dan ekonomi biru". 

Pasangan ketiga, Ganjar dan Mahfud, meletakkan isu lingkungan sebagai bagian dari misi "mempercepat perwujudan lingkungan hidup yang berkelanjutan melalui ekonomi biru dan hijau".

Jikalahari, kata Okto, melakukan analisis atas tiga visi-misi capres dan cawapres ini dengan mengaitkannya pada fakta persoalan ekologis di Riau, seperti El Nino dan karhutla, hotspot, pelaku usaha sektor keuangan, deforestasi, banjir, konflik satwa, 15 tahun Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) korupsi kehutanan, kasus korupsi dan TPPU Surya Darmadi, lambannya realisasi perhutanan sosial dan konflik sosial masyarakat dengan perusahaan. 

Dalam hal ini, ujarnya, ada 4 parameter yang digunakan. Perameter tersebut: 

  1. Keberanian dari kandidat untuk tegas menyatakan akan mencabut perizinan perusahaan yang terlibat perusakan, pencemaran, perampasan hutan tanah masyarakat adat. 
  2. Kedua, mengembalikan hutan tanah masyarakat adat dan tempatan dan/atau memberikan akses ruang kelola kepada masyarakat berupa reforma agraria, perhutanan sosial hingga model-model kelola lainnya.
  3. meninjau ulang tata kelola Lingkungan, Sosial dan Tata Kelola yang berkaitan dengan pembiayaan, sedapat mungkin meninjau ulang kredit-kredit Pelaku Usaha Sektor Keuangan untuk korporasi. 
  4. Keempat, keberanian para kandidat untuk menghukum para taipan ataupun korporasi yang terlibat kejahatan berupa korupsi, pencucian uang, penggelapan pajak hingga pencemaran dan perusakan lingkungan hidup dan kehutanan.

“Hasilnya, ketiga capres dan cawapres tidak ada yang benar-benar berkomitmen terhadap isu ekologis," ujarnya. "Narasi normatif seperti mendorong, memperkuat ataupun mengukum seberat-beratnya, bertebaran dalam dokumen visi-misi, namun tidak ada yang berani konkrit menyatakan, akan melawan korporasi ataupun taipan yang terlibat dalam perusakan lingkungan,” kata Okto.

Pakar lingkungan Riau, Dr Elvriadi juga menilai pemerintah belum tegas dan serius dalam pengendalian dan mitigasi bencana ekologis, khususnya kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) di Riau.

Menurut Elviriadi, pemerintah kurang berani kepada korporasi perusahaan pembakar lahan. Dalam catatan Jikalahari, El Nino 2015 dan 2019 menghanguskan lahan seluas lebih 150 ribu hektare, lebih 400 ribu masyarakat terpapar penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA), 8 orang meninggal, dan lebih 70 triliun kerugian negara.

Dari total luasan lahan terbakar, Kabupaten Bengkalis paling banyak terbakar yakni seluas 175,46 hektare, kemudian disusul Kota Dumai seluas 98,97 hektare, Kabupaten Indragiri Hilir 43,50 hektare, Pelalawan 31,18 hektare, Rokan Hilir 38 hektare, Siak 13,95 hektare, Kota Pekanbaru 10,18 hektare, Kepulauan Meranti 9,75 hektare, Kampar 7 hektare, dan Indragiri Hulu 2,15 hektare.

“Perlu ketegasan pemerintah dalam kasus Karhutla. Harusnya lahan yang merupakan kubah gambut atau Kesatuan Hidrologis Gambut yang terbakar berulang diambil alih kembali dari perusahaan,” ungkap Elviriadi.