LIPUTAN KHUSUS:

Laba-laba Lebih Takut Manusia, Ketimbang Sebaliknya


Penulis : Kennial Laia

Ilmuwan mengungkap bagaimana sudut pandang laba-laba terhadap manusia.

Satwa

Minggu, 07 Januari 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Laba-laba telah mengembangkan strategi kreatif untuk berkembang biak di berbagai habitat di seluruh dunia. Namun ada satu hal yang luput: mereka gagal memikat manusia. Alih-alih, manusia malah berasumsi bahwa hewan ini berbahaya. Tidak sedikit manusia yang merasa takut atau geli terhadapnya. 

Namun bagaimana dengan sudut pandang laba-laba terhadap manusia, saat menemukan rumah baru di dekat manusia? Penelitian mengungkap sejumlah wawasan mengejutkan tentang perilaku hewan ini di sekitar manusia. Laba-laba ternyata takut terhadap manusia dan menganggap manusia sebagai predator. 

Misalnya Trichonephila clavata atau laba-laba Jorō. Banyak berita melaporkan adanya kekhawatiran tentang spesies berukuran setelapak tangan yang baru-baru ini menetap di beberapa bagian Amerika Serikat.

Spesies invasif di AS ini berasal dari sebagian Asia Timur, yakni Jepang, Korea, Taiwan, dan Cina. Namun, selama dekade terakhir,  telah berkembang di AS mengikuti sepupunya, laba-laba sutra emas Trichonephila clavipes, yang tiba di negeri itu sekitar 160 tahun yang lalu.

Spesies laba-laba Trichonephila clavata. Dok Pixabay

Perilaku spesies ini menunjukkan bahwa kemungkinan mereka lebih takut pada manusia ketimbang sebaliknya. Laba-laba Jorō cenderung berpura-pura mati jika bertemu manusia. Taktik ini dikenal sebagai thanatosis di kalangan ilmuwan. Ini adalah respons terhadap ancaman yang digunakan oleh banyak makhluk di dunia hewan, termasuk arakhnida lain seperti kalajengking.

Berpura-pura mati hingga 1 jam 

Laba-laba biasa ber-thanatosis sebagai respons terhadap potensi bahaya, selain sebagai bagian dari strategi kawin. Hal yang tidak biasa tentang laba-laba Jorō adalah durasinya bersandiwara. Studi tahun 2023 terhadap sepuluh spesies laba-laba menemukan sebagian besar laba-laba membeku selama sekitar satu menit sebagai respons terhadap hembusan udara yang cepat. Tapi laba-laba Jorō terbaring tak bergerak selama lebih dari satu jam.

Berpura-pura mati pada waktu tertentu adalah strategi yang menguntungkan. Hal ini mengurangi kemungkinan dimakan oleh predator atau calon pasangan, seperti Pisaura mirabilis betina yang kanibal.

Konsekuensinya, laba-laba Joro mungkin melewatkan memakan serangga yang terbang di sekitarnya. Namun berpura-pura mati mungkin merupakan cara yang lebih hemat energi untuk tetap aman dari predator dibandingkan strategi bertahan aktif. Misalnya, laba-laba gudang bawah tanah Pholcus akan menghabiskan lebih banyak energi untuk mencoba membingungkan dan menghalangi predator dengan berputar-putar di jaringnya.

Respons agresif yang digunakan laba-laba termasuk mengangkat kaki dan menggerakkan taringnya untuk menakuti hewan lain. Namun seringkali, respons terhadap ancaman yang dirasakan—termasuk manusia yang mendekat—bersifat pasif. Contohnya termasuk bersembunyi atau berkamuflase dengan latar belakang, menyamar sebagai spesies berbeda, atau bahkan bersembunyi di balik predator lain. Yang terakhir ini diadopsi oleh laba-laba pelompat kecil yang berlindung dari laba-laba yang meludah dengan bersembunyi di sarang semut.

Namun laba-laba Jorō memiliki tubuh berwarna emas dan hitam yang mencolok, dan membuat jaring besar dengan diameter satu meter. Itu terlalu besar untuk disembunyikan dan terlalu khas untuk disamarkan atau ditiru sehingga harus mengandalkan strategi lain, termasuk berpura-pura mati.

Lalu mengapa manusia takut pada laba-laba? 

Tidak jelas mengapa kita begitu rentan terhadap arachnofobia, ketakutan berlebihan pada laba-laba. Namun penelitian menunjukkan manusia memiliki reaksi emosi yang serupa terhadap hewan yang sangat berbeda (serigala, gagak, laba-laba). Para ilmuwan berpendapat bahwa respons rasa takut terhadap hewan lain didorong oleh kebutuhan untuk mengendalikan lingkungan ekologis kita.

Berita juga memicu asumsi masyarakat bahwa laba-laba mempunyai niat buruk terhadap kita. Dan sentimen ini diperkuat oleh kemunculan laba-laba besar secara musiman di taman dan di bawah sofa.

Beberapa laba-laba, seperti laba-laba pertapa di AS, mempunyai gigitan yang terkadang memerlukan perawatan medis, namun meskipun demikian, ancaman yang mereka timbulkan sering kali dilebih-lebihkan. Sebagai konteks, tidak ada laba-laba yang masuk dalam daftar hewan berbahaya menurut WHO. Namun hewan peliharaan seperti anjing dan kucing justru masuk daftar organisasi tersebut. 

Manusia juga hampir pasti lebih berbahaya bagi laba-laba dibandingkan sebaliknya. Hal ini karena sistem produksi pangan kita bergantung pada insektisida yang mematikan bagi laba-laba dan mungkin berkontribusi terhadap penurunan jumlah laba-laba dalam skala besar. Hal ini menjadi permasalahan bagi manusia karena laba-laba mempunyai peranan penting dalam pertanian, memakan serangga hama. 

“Sebagai seorang ahli biologi, saya merasa terkesan dengan solusi imajinatif yang digunakan laba-laba untuk menghadapi dunia di sekitar mereka,” tulis Sara Goodacre dikutip dari Phys.org

“Mereka membangun struktur sutra yang rumit—mulai dari jaring bola raksasa lengkap dengan dekorasi (disebut stabilimenta), hingga pintu jebakan yang disamarkan dengan cerdik di dalam tanah,” tulisnya. 

Sutra laba-laba memungkinkan mereka hidup di mana saja mulai dari kedalaman gua yang dalam, alam bawah air di kolam, hingga dataran tinggi di pegunungan.