LIPUTAN KHUSUS:

Soal Narasi Perlindungan Nelayan, Capres - Cawapres Sesat Pikir


Penulis : Gilang Helindro

Tak ada narasi perlindungan nelayan yang cukup dalam Visi Misi Capres - Cawapres pada Pemilu 2024.

Kelautan

Senin, 08 Januari 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) merespon hilangnya narasi perlindungan nelayan dalam dokumen visi dan misi tiga kandidat calon presiden dan wakil presiden pada Pemilihan Umum (Pemilu) 2024.

Susan Herawati, Sekretaris Jenderal KIARA mengatakan, dalam review ketiga pasangan kandidat, narasi perlindungan nelayan tidak ditemukan. 

“Kami melihat dokumen visi misi capres dan cawapres masih terjebak dalam pusaran misi ekonomi biru yang telah dijalankan pemerintah. Konsep ekonomi biru yang dijalankan ini berasal dari cara pikir lembaga keuangan global, bukan seperti yang diungkapkan Gunter Pauli sebagai penggagas aslinya.” kata Susan, Jum’at 4 Januari 2024.

Berdasarkan dokumen visi misi ketiga kandidat tersebut, ungkap Susan, terdapat beberapa catatan. Pertama, adanya kekosongan besar dalam narasi perlindungan hak-hak masyarakat pesisir khususnya nelayan, terutama hak atas pengakuan dan perlindungan ruang kelola darat dan lautnya sebagai satu kesatuan.

Lembaga Pengembangan Sumber Daya Nelayan (LPSDN), Nusa Tenggara Barat menilai kehidupan nelayan semakin sulit dan mengeluhkan penerapan kebijakan PIT dari KKP. Foto/Istimewa

Menurut Susan, evaluasi atas rezim Presiden Jokowi selama dua periode masa pemerintahannya terlihat sangat minim pengakuan atas ruang pengelolaan masyarakat pesisir, khususnya masyarakat adat dan komunitas lokal yang hidup di pesisir dan pulau-pulau kecil. 

Hal ini, ujar Susan, berbanding terbalik dengan akomodasi atas investasi terhadap ruang oleh rezim tersebut, yang membuat masyarakat adat dan komunitas lokal harus menghadapi realita  perampasan atas ruang pengelolaan mereka untuk berbagai industri dan investasi melalui kebijakan pusat maupun daerah. 

“Hal tersebut bisa dilihat di Pulau Rempang, Pulau Wawonii, Gugus Kepulauan Spermonde, Pulau Sangiang hingga, yang terdekat dengan Istana, Pulau Pari dan Muara Angke,” ungkap Susan.

Catatan kedua, kata Susan, adanya kekosongan besar dalam narasi perlindungan dan pengakuan perempuan yang berprofesi sebagai nelayan, baik produksi maupun pasca-produksi. 

KIARA mencatat, terdapat 3,9 juta perempuan yang terlibat dalam rantai produksi perikanan, sedangkan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) 2023 mencatat bahwa terdapat 3,6 juta perempuan nelayan yang menjadi penggerak rantai produksi perikanan. Adapun yang telah menerima kartu Kusuka yang dikeluarkan KKP, katanya, hanya sekitar 15 ribu perempuan nelayan. 

Susan mengatakan, ini menunjukkan bahwa ada jurang yang lebar antar jumlah existing perempuan yang nelayan yang terlibat dalam rantai produksi perikanan dengan jaminan perlindungan melalui kartu Kusuka. 

“Hal ini juga menjadi indikator bahwa pengakuan perempuan atas identitas profesi nelayan juga masih sangat minim. Potret buruk krisis pengakuan identitas tersebut juga tidak ditangkap oleh kandidat Capres dan Cawapres dalam dokumen visi misi mereka,” Susan menegaskan.

Catatan ketiga, wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil hanya dijadikan sebagai objek tempat masuknya industri, baik melalui konsep ekonomi biru, seperti karbon biru, penangkapan ikan terukur, industri maritim dan jasa maritim, industri budidaya, pariwisata, transisi energi, maupun industri SDA konvensional. 

Berbagai industri yang dicanangkan melalui konsep ekonomi biru dalam ketiga visi misi Capres Cawapres tersebut memperlihatkan bahwa cara pandang melihat pesisir dan pulau-pulau kecil masih terjebak dengan konsep ekstraktivisme dan bahkan bias darat. 

“Pesisir dan pulau kecil masih dijadikan sebagai objek ekstraktivisme tanpa melihat secara holistik tentang relasi sosio-kultural antara masyarakat adat dan komunitas lokal dengan ruang pesisir dan pulau-pulau beserta ekosistem yang ada di dalamnya,” ungkap Susan. 

Susan menyebut, pihaknya berpandangan bahwa visi dan misi yang dibawa oleh ketiga kandidat hanya mengulang orientasi pembangunan yang ekstraktif dan eksploitatif. Terlebih lagi pembangunan yang esktraktif dan eksploitatif akan memberikan ruang kepada investasi dan penanaman modal asing  yang akan membuat masyarakat pesisir tergusur dari ruang hidupnya. 

Parid Ridwanuddin, Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Walhi Nasional mengatakan, pemenuhan HAM  masyarakat pesisir, nelayan tradisional dan nelayan kecil, maupun pulau kecil di Indonesia, masih minim. Padahal, ini amanat konstitusi. Prinsip dasar yang ada pada Undang-Undang Dasar 45 pasal 28 h berbunyi setiap warga negara berhak untuk mendapatkan lingkungan yang bersih dan sehat. 

“Kita lihat, di sini ada dua definisi HAM. Pertama yang sifatnya substantif, kedua prosedural,” kata Parid, Senin, 4 Desember 2023. Pertama definisi HAM substantif, di mana nelayan harus mendapat laut yang sehat, tidak tercemar, tidak ada kerusakan lingkungan. Kedua, definisi HAM prosedural, di mana nelayan dan masyarakat pesisir mendapatkan ruang dalam pengambilan keputusan.

Saat ini, kata Parid, potret pemenuhan HAM nelayan sangat buruk sekali di Indonesia. “Mulai dari hak mendapatkan lingkungan yang sehat, kemudian pemenuhan dan ruang partisipasi nelayan tidak dilaksanakan pemerintah,” ungkap Parid. 

Parid mencontohkan, pemenuhan prosedur, dalam pengaturan tata ruang, dalam perumusan Integrasi rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (RZWP3K) ke dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) pemukiman, nelayan terabaikan sama sekali. “Bayangkan, pemukiman nelayan sangat kecil sekali dan tidak pernah dilibatkan,” kata Parid.

Parid mengatakan, sebagai negara kepulauan yang sudah 78 tahun merdeka, belum ada satupun definisi dalam Undang-undang yang mengakui wilayah tangkap nelayan tradisional dan nelayan kecil. “Menurut saya negara abai akan pemenuhan HAM pada nelayan tradisional dan nelayan kecil, juga tidak ada definisi yang mengakui perikanan skala kecil merupakan sistem pangan di Indonesia,” kata Parid.