LIPUTAN KHUSUS:

31 Ribu Ha Rumah Gajah Bentang Alam Seblat: Bertuan, Tak Berhutan


Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Gajah tak bernama yang mati pada Senin ditemukan di jalan logging PT BAT.

Hutan

Jumat, 05 Januari 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Kasus kematian gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) di Bentang Alam Seblat merupakan alarm darurat untuk habitat terakhir gajah di Bengkulu itu. Menurut Genesis Bengkulu, saat ini 31 ribu hektare (ha) habitat gajah tersebut kondisinya sudah tanpa tutupan hutan alam.

Direktur Genesis Bengkulu, Egi Saputra menuturkan, lokasi temuan gajah mati itu berada di kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT) Air Ipuh 1, yang juga menjadi area konsesi Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH)--sebelumnya disebut Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-Hutan Alam (IUPHHK-HA)--PT Bentara Agra Timber (BAT). Menurut titik koordinat lokasinya, yakni 2°50'2.90S - 101°39'31.70E, bangkai gajah itu berada di jalan logging PT BAT.

Egi menguraikan, hasil analisis Genesis bersama Konsorsium Bentang Alam Seblat periode 2023, dari 80.978 hektare total luas kawasan Bentang Alam Seblat, tutupan hutannya hanya sebesar 49,7 ribu hektare (61,5%), dan sisanya 31,1 ribu hektare (38,5%) tidak berhutan.

Lahan tak berhutan itu didominasi oleh perkebunan sawit seluas 15 ribu hektare (48,1%), kemudian semak belukar 7,9 ribu hektare (25,6%), perkebunan perusahaan 5,4 ribu hektare (17,5%), lahan terbuka 2 ribu hektare (6,6%), dan sisanya tubuh air 678 hektare (2,2%).

Tampak areal terbuka akibat alih fungsi lahan di Bentang Alam Seblat./Foto: Genesis Bengkulu

"Kondisi tutupan lahan di Bentang Alam Seblat ini menunjukkan tidak seriusnya pemerintah dan pihak perusahaan PT BAT dalam mengamankan kawasan hutan. Itu tunjukkan dengan tingginya aktivitas perambahan di Bentang Alam Seblat bahkan menjadi tanaman sawit seluas 15 ribu hektare," kata Egi, Kamis (4/1/2024).

Dilihat dari data analisis periode 2020-2023, lanjut Egi, tutupan hutan Bentang Alam Seblat telah hilang seluas 8,8 ribu hekare. Yang mana pada 2020 luas hutan di habitat terakhir gajah di Bengkulu itu luasnya 58,6 ribu hektare, dan pada 2023 turun menjadi 49,7 ribu hektare.

"Tutupan lahan sekunder menjadi yang paling besar, seluas 8,8 ribu hektare. Di mana 5,6 ribu hektare (64,5%) dirambah menjadi lahan pertanian sawit," ujar Egi.

Menurut Egi, besarnya perambahan hutan yang berujung pada alih fungsi lahan di Bentang Alam Seblat, sangat berpotensi memperbesar konflik manusia dan satwa liar, termasuk gajah. Sebab akan semakin membuka dan mendekatkan interaksi satwa dan manusia.

Interaksi satwa liar dan manusia, kata Egy, bisa berujung pada tindakan kekerasan terhadap satwa, baik menggunakan senjata ataupun jerat. Bahkan dalam sebuah kasus, gajah ditemukan mati diduga akibat diracun.

"Seperti yang terjadi tahun 2021, ada gajah mati di konsesi PT BAT yang diduga mati karena keracunan. Kemudian, Agustus 2022 di konsesi PT Anugrah Pratama Inspirasi (API), di kawasan HP Air Rami, tim menemukan ada lubang di kaki bangkai gajah, diduga karena dilukai," ungkap Egi.

Dihubungi terpisah, Kepala Seksi Konservasi Wilayah 1, Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Bengkulu-Lampung, Said Jauhari menyebut, nekropsi atau bedah bangkai satwa sudah selesai dilakukan oleh tim BKSDA. Saat tiba di lokasi bangkai gajah tim menemukan adanya jejak rombongan gajah dan jerat yang kemudian dinonaktifikan oleh tim.

Dalam pemeriksaan dan nekropsi bangkai gajah tersebut tim mengambil sejumlah sampel organ gajah untuk kebutuhan uji laboratorium. Namun Said mengaku belum mendapat informasi mengenai hasil nekropsi yang dilakukan, termasuk jenis kelamin, usia, dan kondisi fisik gajah saat diperiksa.

"Untuk hasil belum tahu. Tim sudah selesai lakukan nekropsi gajah mati tersebut," katanya, Kamis (4/1/2024).