LIPUTAN KHUSUS:

Tahun 2024, Penggusuran Dinilai Kian Langgeng dengan Perpres Baru


Penulis : Aryo Bhawono

Aturan presiden baru permudah penggusuran masyarakat adat. Walhi Riau menilai, penerbitan Perpres No 78 Tahun 2023 itu hanya menangkap partisipasi dan keinginan investasi, bukan kemauan rakyat.

Agraria

Selasa, 02 Januari 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Presiden Joko Widodo mengeluarkan Perpres No 78 Tahun 2023 Tentang Penanganan Dampak Sosial Kemasyarakatan Dalam Rangka Penyediaan Tanah untuk Pembangunan Nasional. Aturan ini merevisi aturan sebelumnya, Perpres No 62 Tahun 2018. 

Perpres baru ini menambah dua pasal baru dan merevisi enam pasal lama. Pemerintah, atas nama negara, dapat mengambil alih tanah demi kepentingan proyek nasional. Masyarakat yang meninggali tanah itu harus membuktikan keberadaan dan mendapat pengakuan dari pemerintah tingkat provinsi. 

Direktur Eksekutif Daerah Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Riau, Even Sembiring, mengungkap penerbitan Perpres tersebut menyalahi konstitusi. Seharusnya pemerintah bukan melakukan revisi untuk melanjutkan dan memperkuat Perpres No 62 Tahun 2018, melainkan mencabutnya. 

Menurutnya perpres itu bertentangan dengan pertimbangan MK dalam Putusan Nomor 001-021-022/PUU-I/2003. MK menyebut ‘hak menguasai negara’ seharusnya diartikan penguasaan oleh negara dalam arti luas yang bersumber dan berasal dari konsepsi kedaulatan rakyat Indonesia atas segala sumber kekayaan bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Hal ini termasuk pengertian kepemilikan publik oleh kolektivitas rakyat atas sumber-sumber kekayaan dimaksud.

Bentrokan masyarakat melayu dan polisi terkait penolakan relokasi warga Rempang, Batam, Kepri, pada 7 September 2023. Foto: BP Batam/Bener News.

“Presiden Jokowi justru melanjutkan praktik inkonstitusional. Ia tidak memahami sekaligus menjalankan apa yang dimaknai dengan hak menguasai negara dan apa yang dimaksud dengan pemanfaatan sumber daya alam sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat,” ucap dia melalui pesan pada Jumat (29/12/2023).

Selanjutnya, pertimbangan MK dalam Putusan Nomor 3/PUU/2010 menerangkan frase sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat didasarkan pada empat tolak ukur. Pertama, pemanfaatan sumber daya alam bagi rakyat. Kedua, tingkat pemerataan manfaat sumber daya alam.

Ketiga, tingkat partisipasi rakyat dalam menentukan manfaat sumber daya alam. dan keempat, penghormatan terhadap hak rakyat secara turun-temurun dalam memanfaatkan sumber daya alam.

“Parahnya lagi penerbitan Perpres No 78 Tahun 2023 itu hanya menangkap partisipasi dan keinginan investasi, bukan kemauan rakyat,” kata dia.

ia pun mencurigai lahirnya Perpres No 78 Tahun 2023 ini terkait konflik masyarakat dengan BP Batam soal pembangunan PSN Rempang Eco-city. Tuntutan masyarakat adalah tanah mereka disertifikasi dan laut sebagai wilayah tangkapnya dilindungi, bukan dimudahkan rencana penggusurannya.  

“Penerbitan perpres ini akan semakin memperkeruh seteru BP Batam dengan masyarakat Rempang. Presiden seharusnya menerbitkan perpres bahkan perppu untuk membubarkan BP Batam dan mengakselerasi legalisasi tanah dan perlindungan laut yang menajadi sumber kehidupan rakyat,” kata dia. 

Kecurigaan ini bukan isapan jempol. Sekitar 10 hari pasca penerbitan Perpres ini, Kepala BP Batam Muhammad Rudi, melakukan sosialisasi. 

"Perpres 78 tahun 2023 sudah turun. Meski Perpres ini belum menyelesaikan semua persoalan Rempang Eco-City. Tetapi, ini Perpres salah satu dasar penting yang akan kita gunakan untuk membangun rumah Bapak Ibu sekalian (kompensasi warga Rempang)," ujar Rudi dalam keterangan resmi yang dirilis Senin (18/12).

Ia mengaku aturan ini dikeluarkan untuk memberikan kepastian bahwa pemerintah akan bertanggung jawab kepada warga Pulau Rempang yang terdampak. Kepastian ini adalah memberikan hunian baru bagi mereka yang tanahnya dipakai untuk proyek Pembangunan Nasional.

Namun lagi-lagi, itu tak sesuai dengan keinginan masyarakat. Sialnya, mereka memiliki beban pembuktian kepemilikan tanah yang harus disetujui gubernur.