LIPUTAN KHUSUS:
Hari Terakhir COP28: Negosiasi Energi Fosil Masih Menggantung
Penulis : Kennial Laia
Negosiasi seputar penggunaan frasa "phase-out" dan "phase-down" yang sangat krusial masih berlangsung di Dubai.
Perubahan Iklim
Selasa, 12 Desember 2023
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Konferensi iklim PBB atau COP28 di Dubai, Uni Emirat Arab, memasuki hari terakhir. Namun, negosiasi terkait penggunaan energi fosil masih menggantung. Pada draf perjanjian terbaru, negara-negara parapihak mendorong pengurangan bahan bakar fosil, namun menghindari penghentian penggunaan (phase out).
Di tengah krisis iklim dan dampaknya yang bikin menderita miliaran orang di dunia, para ilmuwan mengatakan berhenti menggunakan energi fosil seperti minyak bumi dan batu bara adalah langkah yang krusial.
Draf perjanjian terbaru itu terbit Senin, 11 Desember 2021. Jika disepakati, negara pengekspor minyak harus mengurangi produksinya secara drastis pada dekade mendatang. COP28 sendiri akan berakhir pada 12 Desember 2023.
Namun, naskah tersebut menghindari seruan kontroversial antara meninggalkan penggunaan energi fosil (phase-out) dan mengurangi penggunaannya (phase-down). Kedua frasa ini menjadi fokus perdebatan mendalam di antara lebih dari 190 negara yang bertemu di Dubai.
Kepresidenan COP28 merilis rancangan teks pada Senin malam, yang menyerukan “pengurangan konsumsi dan produksi bahan bakar fosil, dengan cara yang adil, teratur dan merata, untuk mencapai nol bersih pada, sebelum atau sekitar tahun 2050, sesuai dengan ilmu pengetahuan”.
Naskah tersebut diharapkan menjadi hasil utama dari perundingan yang penuh ketegangan selama dua minggu terakhir terkait masa depan aksi iklim, yang dijadwalkan berakhir pada Selasa pagi di Uni Emirat Arab.
Jika komitmen terhadap bahan bakar fosil bertahan dari serangan yang diperkirakan akan dilakukan oleh para perunding negara-negara penghasil minyak besar, hal ini akan menjadi pertama kalinya negara-negara diminta berdasarkan Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim untuk mengurangi produksi bahan bakar fosil mereka.
Pemerintah kini mempunyai kesempatan untuk menyampaikan pandangan mereka, dan diperkirakan akan berdebat keras mengenai frasa yang digunakan. Bagi beberapa negara yang menginginkan penghapusan bahan bakar fosil secara bertahap, rujukan terhadap pengurangan akan dianggap sebagai sebuah pelemahan.
Namun negara-negara lain, seperti Arab Saudi, yang dengan tegas menolak menyetujui penghentian penggunaan bahan bakar fosil, mungkin akan menggunakan waktu-waktu terakhir perundingan ini untuk mencoba melemahkan perjanjian tersebut lebih lanjut.
Seorang juru bicara kepresidenan COP28 mengatakan: “Kepresidenan Cop28 sudah jelas sejak awal tentang ambisi kami. Teks ini mencerminkan ambisi tersebut dan merupakan sebuah langkah maju yang besar. Sekarang hal ini berada di tangan pihak-pihak yang kami percayai untuk melakukan yang terbaik bagi umat manusia dan planet ini,” kata salah seorang juru bicara kepresidenan COP28 dikutip Guardian, Senin, 11 Desember 2023.
Berbagai media melaporkan bahwa selama perundingan, Sultan Al Jaber, presiden COP28 yang juga merupakan kepala eksekutif perusahaan minyak negara nasional UAE, Adnoc, berada di bawah tekanan kuat untuk melunakkan teks tersebut, namun ia menolaknya, setelah menghabiskan 24 jam terakhir berbicara dengan delegasi negara.
Teks ini membahas masalah produksi bahan bakar fosil secara langsung, dan bukan mengacu pada emisi dari bahan bakar fosil. Sepanjang konferensi Arab Saudi berusaha untuk menekankan istilah emisi bahan bakar fosil, dibandingkan produksi bahan bakar fosil, untuk memberikan ruang bagi penggunaan penangkapan dan penyimpanan karbon (CCS).
Teks ini juga menghindari istilah “berkelanjutan”, yang ingin disisipkan oleh beberapa negara, yang juga merujuk pada penggunaan CCS. Kepala Badan Energi Internasional, Fatih Birol, menggambarkan penggunaan CCS untuk memungkinkan perusahaan minyak terus berproduksi sebagai “fantasi” dan “ilusi”.
Pernyataan tersebut mencakup referensi terhadap rekomendasi ilmiah, yang kemungkinan besar akan dijadikan acuan oleh banyak negara untuk merujuk pada Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC), yang telah menyimpulkan bahwa porsi bahan bakar fosil pada tahun 2050 harus sangat kecil, jika dunia ingin mencapai emisi nol bersih dan membatasi pemanasan global hingga 1,5C di atas tingkat pra-industri. Oleh karena itu, pengurangan bahan bakar fosil “sesuai dengan ilmu pengetahuan” harus dilakukan secara drastis dalam dua setengah dekade mendatang.
Namun, teks tersebut tidak mengharuskan negara-negara untuk mengatasi produksi bahan bakar fosil mereka. Sebaliknya, bahasa yang digunakan lebih lemah: negara-negara “diminta untuk mengambil tindakan yang dapat mencakup” pengurangan bahan bakar fosil. Ini adalah sebuah persyaratan yang masih terlalu kabur bagi banyak negara.
Teks yang ada saat ini masih menjadi topik perdebatan. Sebagian negara dan lembaga pemikir kecewa dan menilainya masih sangat lemah. Mereka menilai bahwa “phase-out” harus ada di dalam draf. Namun pihak lainnya menilainya sebagai langkah untuk melakukan transformasi awal untuk meninggalkan energi fosil.
Simon Stiell, sekretaris eksekutif Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) mengatkan bahwa negosiasi di Dubai harus menyasar ambisi iklim tertinggi, di antaranya menciptakan jalan untuk mempertahankan kenaikan suhu 1.5C sesuai perjanjian Paris, aksi mitigasi, pembiayaan iklim, serta penggunaan energi terbarukan.