LIPUTAN KHUSUS:
Peserta Indonesia Terbanyak Nomor 5 di COP28, Hasilnya?
Penulis : Gilang Helindro
Jangan-jangan pelepasan emisi ketika menghadiri COP28 lebih besar dari hasil keputusan yang dihasilkan untuk mitigasi perubahan iklim.
Lingkungan
Rabu, 13 Desember 2023
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Konferensi Tingkat Tinggi (KTT), Conference of the Parties ke-28 (COP28) yang digelar di Dubai Expo, Uni Emirat Arab, berakhir kemarin (12/12). COP28 yang berlangsung sejak 30 November menjadi ajang pertemuan tahunan negara-negara yang terlibat dalam aksi pengendalian iklim atau climate change yang berada dalam naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Melalui COP ini, setiap negara akan mengajukan rencana aksi terkait target penurunan emisi dalam rangka menuju net zero emission (NZE) pada 2050. Kemudian, melalui COP, juga akan dilakukan evaluasi terkait capaian di bidang penurunan emisi.
Pada gelaran COP28, terdapat agenda arah pengendalian iklim, yang disebut Global Stocktake.
Global Stocktake merupakan evaluasi yang dilakukan dalam lima tahun sekali untuk mengukur hasil dari komitmen iklim dari 198 negara yang tertuang dalam Nationally Determined Contribution (NDC). Dan COP28 ini adalah kali pertamanya Global Stocktake dilakukan.
Proses ini mengevaluasi kemajuan dunia dalam mengurangi emisi, membangun ketahanan terhadap dampak iklim, dan mendapatkan pendanaan serta dukungan untuk mengatasi krisis iklim.
Dari hasil Global Stocktake, dikemukakan bahwa dunia masih jauh dari jalur untuk mencapai target Kesepakatan Paris (Paris Agreement), yaitu target suhu global 1,5 derajat Celsius. Artinya, dunia masih membutuhkan aksi yang lebih kuat dalam upaya penurunan emisi.
Salah satu hambatannya adalah masalah pendanaan. Komitmen negara-negara maju untuk memberikan kontribusi pendanaan di bidang iklim (climate finance) sebesar 100 miliar dolar AS per tahun yang ditetapkan pada COP-15 di Copenhagen tidak tercapai. Di sisi lain, negara berkembang juga memiliki keterbatasan pendanaan untuk memenuhi komitmen penurunan emisi yang dibuatnya.
Simon Stiell, Sekretaris Eksekutif Perubahan Iklim PBB, mengatakan fase politik Konferensi Perubahan Iklim PBB saat ini sudah berjalan dengan baik, dengan upaya sepanjang waktu untuk menyepakati naskah keputusan, khususnya mengenai isu-isu yang belum terselesaikan, termasuk inventarisasi global, adaptasi dan pendanaan.
Menteri-menteri dari berbagai daerah ditunjuk untuk membantu mendorong kemajuan negosiasi.
“Jika kita ingin menyelamatkan nyawa sekarang, dan menjaga agar angka 1,5 tetap tercapai, ambisi tertinggi hasil COP harus tetap menjadi prioritas dalam negosiasi ini,” kata Stiell dalam keterangan resminya, Senin, 11 Desember 2023.
Yang "Ter" dalam COP28: Indonesia kelima Terbanyak
Selain yang baru, ada rekor yang dipecahkan dalam COP28 ini. Menurut laporan carbonbrief.org, jumlah delegasi yang terdaftar untuk menghadiri KTT iklim COP28 tahun ini di Uni Emirat Arab (UEA) mencapai rekor tertinggi, menjadikannya berpotensi menjadi yang terbesar dalam gelaran sejarah COP.
Lebih dari 97.000 peserta menghadiri COP28 Dubai secara langsung. Jumlah ini hampir dua kali lipat jumlah orang yang melakukan perjalanan menghadiri COP27 di Mesir tahun lalu, yang merupakan jumlah terbesar sebelumnya, yakni 40.000 anggota delegasi.
Untuk pertama kalinya dalam sejarah COP juga, setiap delegasi disebutkan dalam daftar peserta (tidak termasuk staf pendukung).
COP sebelumnya biasanya dihadiri oleh ribuan peserta sehingga negara-negara dan badan-badan PBB dapat mencalonkan delegasi tanpa nama mereka muncul dalam daftar resmi mereka. Tahun ini juga disebutkan tamu negara tuan rumah yang menerima delegasi sebagai tamu UEA.
“Penerimanya termasuk mantan Perdana Menteri Inggris Boris Johnson dan Tony Blair, pendiri Microsoft Bill Gates, CEO raksasa energi Prancis EDF Luc Rémont dan Sekretaris Jenderal NATO Jens Stoltenberg,” tulis laporan carbonbrief.org dikutip Senin, 11 Desember 2023.
Tahun ini, juga untuk pertama kalinya 3.000 peserta hadir secara virtual, sehingga total delegasi sementara untuk COP28 menjadi lebih dari 100.000.
Tidak mengherankan UEA memiliki delegasi terbesar yang pernah terdaftar di antara negara manapun, dengan 4.409 badge. Disusul Brasil dengan 3.081 peserta delegasi, lalu Tiongkok dan Nigeria, yang keduanya telah mengirimkan 1.411 anggota delegasi.
UEA sendiri menjadi delegasi terbesar, dengan total 4.409 peserta, termasuk delegasi tambahan. Bahkan tanpa delegasi yang melimpah yang membuat jumlah delegasi menjadi sangat besar, kelompok 620 UEA akan menjadi yang terbesar dalam sejarah COP.
Delegasi UEA yang terdaftar pada COP27 tahun lalu berpotensi lebih besar yaitu 1.073 orang, namun hanya 436 orang yang hadir, menurut daftar akhir, menjadikannya delegasi terbesar kedua di belakang delegasi Brasil yang berjumlah 467 orang.
Brasil kembali mendaftarkan delegasi dalam jumlah besar untuk COP28 tahun ini, sebanyak 3.081 peserta termasuk overflow badges, yang berarti Brasil berada di belakang UEA dalam hal jumlah delegasi secara keseluruhan. Indonesia?
Negara dengan delegasi lain yang melebihi 1.000 orang adalah Tiongkok dan Nigeria yang masing-masing mendaftarkan 1.411 orang, diikuti oleh Indonesia di tempat kelima dengan 1.229 orang, Jepang 1.067 orang, dan Turki dengan 1.045 orang.
Hasil COP28 menurut wali lingkungan Indonesia
Menanggapi jumlah delegasi Indonesia yang masuk lima besar terbanyak, Uli Arta Siagian, Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Walhi Nasional menyebut, Indonesia tidak terlalu memainkan peran yang signifikan. "Kita ambil contoh (pembanding) Brasil yang cukup mendominasi dalam forum-forum negosiasi," kata dia. “Mereka maju dengan posisi tawar sebagai negara hutan tropis terbesar di dunia."
Uli menambahkan, "Peran Indonesia mungkin tidak sebanding dengan jumlah delegasi yang hadir di COP28, dan mungkin ini perlu dikoreksi.”
Uli juga menyatakan perlu dihitung berapa jejak karbon emisi yang dilepaskan dari orang yang datang pada COP28 ini.
“Jangan-jangan justru sebenarnya pelepasan emisi ketika menghadiri COP lebih besar dari hasil keputusan yang dihasilkan untuk mitigasi perubahan iklim. Itu juga perlu dilihat,” ungkap Uli.
Uli menggarisbawahi soal keputusan sebelum ditutupnya COP28. Menurutnya, sampai Senin, 11 Desember 2023, nyaris belum ada keputusan signifikan yang dihasilkan pada COP28. Kecuali Loss and Damage atau dana kerugian dan kerusakan yang diberlakukan dan diputuskan pada hari pertama.
Ini perlu diapresiasi, kata Uli, bagaimana loss and damage itu berlaku dan negara-negara maju wajib membayar hutang ekologis mereka untuk membayar atau mengganti rugi kerusakan dan kehilangan yang terjadi pada negara berkembang khususnya. “Meskipun belum semua negara maju yang melakukannya dan memutuskan berapa mereka akan membayar,” ungkap Uli.
Negara-negara yang sudah membayar cukup kecil dan belum setara dengan kerusakan ekologis yang mereka lakukan. Belum diketahui juga bagaimana mekanisme detail, sekitar kurang lebih 400 milyar dollar disimpan di Bank Dunia.
Banyak kekhawatiran, bank dunia tidak langsung ke masyarakat, tetapi masuk ke bank nasional dan lembaga, “Mekanisme ini belum jelas seperti apa ke depannya,” ungkap Uli.
Artinya perdagangan karbon kata Uli, masih dilirik sebagai bentuk mitigasi perubahan iklim. Jadi secara nasional akan dimungkinkan proyek karbon akan lebih banyak terimplementasi di Indonesia. Dan, "Justru ini akan memperpanjang rantai konflik," kata dia.
Simon Stiell dalam konferensi pers UNFCCC, Rabu, 6 Desember 2023 mengatakan, kesuksesan menyepakati dana kerugian atau loss and demand adalah satu langkah dalam COP28.
“Ini permulaan. Semua pemerintahan harus memberikan perintah yang jelas kepada negosiatornya,” kata Stiell.
Sementara itu, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menyatakan menolak skema perdagangan karbon. Sebaliknya, AMAN berpegang pada prinsip non carbon market sebagaimana diatur dalam Pasal 6.8 Paris Agreement.
“AMAN tegas menolak perdagangan karbon,” kata Muhammad Arman, Direktur Advokasi Kebijakan, Hukum, dan Hak Asasi Manusia AMAN, dalam pernyataan resminya, Kamis, 7 Desember 2023.
Penolakan perdagangan karbon ini juga disampaikan Arman saat tampil dalam diskusi panel Following IPs and Local Communities Leadership for Intersectional Climate Action di sela kegiatan Konferensi Tingkat Tinggi Conference of the Parties (COP28) di Dubai pekan lalu. Arman mengatakan, penolakan ini didasarkan pada landasan moral-etik bahwa skema perdagangan karbon adalah solusi palsu dalam mengatasi perubahan iklim.