LIPUTAN KHUSUS:

PBB: Bumi Semakin Mendekati Titik Kritis Risiko yang Destruktif


Penulis : Kennial Laia

Titik kritis risiko berbeda dengan titik kritis iklim yang dihadapi dunia, termasuk runtuhnya hutan hujan Amazon dan terhentinya arus utama di Samudera Atlantik.

Perubahan Iklim

Jumat, 27 Oktober 2023

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Umat manusia sedang mendekati titik kritis iklim yang tidak dapat diubah lagi. Ini juga akan secara drastis merusak kemampuan kita dalam menghadapi bencana, termasuk penarikan asuransi rumah dari daerah terdampak banjir dan mengeringnya air tanah yang vital untuk menjamin pasokan pangan. 

Dalam laporan terbaru yang diterbitkan United Nations University (UNU), PBB menyebut “titik kritis risiko” ini juga mencakup hilangnya gletser pegunungan yang penting bagi pasokan air di berbagai belahan dunia, serta akumulasi puing luar angka yang merusak satelit peringatan dini cuaca ekstrem. 

Laporan itu menguraikan serangkaian titik kritis risiko yang semakin dekat, yang didorong oleh berbagai faktor pemicu. Titik kritis risiko ini berbeda dengan titik kritis iklim yang dihadapi dunia, termasuk runtuhnya hutan hujan Amazon dan terhentinya arus utama di Samudera Atlantik. 

Titik kritis iklim adalah perubahan berskala besar yang disebabkan oleh pemanasan global yang disebabkan oleh aktivitas manusia, sedangkan titik kritis risiko lebih berhubungan langsung dengan kehidupan masyarakat melalui sistem sosial dan ekologi yang kompleks.

Indonesia semakin sering mengalami bencana hidrometeorologi akibat perubahan iklim. Foto udara menunjukkan situasi usai banjir bandang melanda Kecamatan Cicurug, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, pada September 2020. Dok Teguh Pratama/Tim Reaksi Cepat BNPB

“Saat kita mengekstraksi sumber daya air tanpa pandang bulu, merusak alam, dan mencemari Bumi dan ruang angkasa, kita semakin mendekati ambang berbagai titik kritis risiko yang dapat menghancurkan sistem yang menjadi sandaran kehidupan kita,” kata Dr Zita Sebesvari dari Institute for Environment and Human Security UNU. 

“Kita mengubah seluruh lanskap risiko dan kehilangan alat untuk mengelola risiko,” kata Sebesvari. 

Laporan itu mengkaji enam contoh titik kritis risiko, termasuk saat asuransi bangunan tidak lagi tersedia atau tidak terjangkau. Hal ini menyebabkan masyarakat tidak memiliki jaring pengaman ekonomi ketika terjadi bencana, sehingga menambah beban, terutama bagi masyarakat miskin dan rentan.

Krisis iklim meningkatkan frekuensi dan tingkat keparahan cuaca ekstrem dan berpotensi membuat bangkrut berbagai perusahaan yang menanggung asuransi. Sebagai contoh, laporan itu menemukan bahwa setengah juta rumah di Australia diperkirakan tidak dapat diasuransikan pada 2030, terutama karena meningkatnya risiko banjir. 

Titik kritis risiko lain yang diteliti dalam laporan ini adalah ketika akuifer air tanah dieksploitasi secara berlebihan hingga sumur menjadi kering. Akuifer saat ini mencegah setengah kerugian produksi pangan yang disebabkan oleh kekeringan, yang diperkirakan akan lebih sering terjadi akibat pemanasan global, kata laporan itu.

Menurut laporan tersebut, lebih dari separuh akuifer utama di dunia sudah terkuras lebih cepat dibandingkan kemampuan untuk mengisi ulang secara alami. Jika tiba-tiba kekeringan terjadi, seluruh sistem produksi pangan berisiko mengalami kegagalan.

Titik kritis risiko air tanah telah dilewati di beberapa negara, seperti Arab Saudi, dan hampir terjadi di India, kata laporan itu. Arab Saudi adalah eksportir gandum utama pada 1990-an namun kini mengimpor sereal setelah sumur air tanahnya habis.

Titik kritis risiko lain yang tercakup dalam laporan ini adalah saat pasokan air dari pencairan gletser di pegunungan mulai menurun; ketika orbit Bumi penuh dengan puing-puing sehingga tabrakan dengan satelit akan memicu reaksi berantai; ketika gelombang panas melewati titik dimana keringat alami dapat mendinginkan tubuh manusia; dan ketika hilangnya spesies satwa liar yang saling bergantung semakin besar dan menyebabkan runtuhnya suatu ekosistem.

“Saat ini Anda mungkin tidak familiar dengan titik kritis risiko,” kata Caitlyn Eberle, juga dari UNU. “Namun dalam lima tahun, 10 tahun, 20 tahun, kita akan mengalaminya. Namun kita masih bisa melakukan perubahan, sehingga tidak harus menanggung dampaknya.” 

“Perubahan transformatif yang nyata melibatkan semua orang,” kata Sebesvari. Dalam hal asuransi rumah, misalnya, pemilik dapat meningkatkan ketahanan terhadap banjir, pemerintah kota dapat meningkatkan perencanaan, pemerintah dapat menawarkan asuransi yang didukung negara, dan tindakan global dari negara dan perusahaan dapat mengurangi emisi karbon.

Sebesvari mengatakan bahwa nilai-nilai juga perlu diubah: “Salah satu contoh yang kami berikan adalah “menjadi leluhur yang baik”, yang terdengar muluk-muluk, namun menurut kami hak-hak generasi mendatang harus dimasukkan secara konkret ke dalam proses pengambilan keputusan.”