LIPUTAN KHUSUS:
29 Wali Lingkungan Tolak Biomassa dalam Transisi Energi, Mengapa?
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Pemanfaatan biomassa akan menimbulkan utang karbon yang tidak akan terlunasi, karena tumbuhnya pohon di kebun energi (HTE) tidak akan mengejar kecepatan pembakaran.
Energi
Jumat, 27 Oktober 2023
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Sebanyak 29 lembaga masyarakat sipil mengeluarkan pernyataan bersama menolak pemanfaatan biomassa kayu dalam strategi transisi energi pemerintah. Selain memperpanjang masa pelepasan emisi kotor dan polusi di sektor pembangkitan, co-firing biomassa juga dianggap menambah kerentanan masyarakat adat dan warga sekitar hutan yang bergantung pada kelestarian keanekaragaman hayatinya.
Dalam pernyataan resminya, para wali lingkungan itu menjelaskan misi transisi energi Indonesia demi melawan perubahan iklimadalah mengejar target 23 persen bauran energi pada 2023. Sebagai solusinya, pemerintah gencar mendorong penggunaan biomassa. Biomassa pelet kayu didorong baik sebagai bahan campuran batu bara (co-firing) di PLTU, atau digunakan sendirian di Pembangkit Listrik Tenaga Biomassa (PLTBm).
Dalam peta jalan PLN, Indonesia punya target ambisius untuk tidak memberlakukan co-firing hingga 10 persen di 52 PLTU, tapi juga co-firing 30 di seluruh PLTU baru. Sejauh ini, pemerintah mengklaim bahwa mereka sudah menurunkan emisi karbon hingga 717.616 ton dengan pembakaran 668.869 ton biomassa melalui proyek co-firing di 41 PLTU.
Namun riset Trend Asia membantah klaim tersebut. Karena perhitungan pemerintah berdasar kepada klaim netral karbon pembakaran biomassa yang keliru. Menurut perhitungan Trend Asia, pembakaran pelet kayu dalam jumlah tersebut akan menghasilkan 1.188.160 juta ton emisi setara karbon.
Klaim netralitas karbon didasari asumsi bahwa emisi karbon dari pembakaran biomassa di PLTU akan diserap oleh kebun energi atau Hutan Tanaman Energi (HTE). Namun ekspansi HTE yang masif untuk memenuhi permintaan biomassa kayu dari PLTU co-firing justru akan mendorong deforestasi yang menghasilkan emisi baru.
Manajer Program Bioenergi Trend Asia, Amalya Reza, menuturkan anggapan biomassa kayu ‘netral karbon’ bergantung pada asumsi bahwa karbon yang dihasilkan dari pembakaran biomassa akan ditangkap kembali oleh perkebunan kayu. Namun dalam skala masif, kecepatan emisi pembakaran tidak akan terserap oleh tumbuhnya pohon baru, yang pada akhirnya tetap akan ditebang.
Apalagi ditambah emisi dari deforestasi hutan alam, implementasi co-firing di 41 PLTU yang dianggap aksi heroik pemerintah terkait transisi energi sebenarnya hanya narasi greenwashing yang merupakan kebohongan publik. Dalam momen tahun politik narasi greenwashing tersebut menjadi justifikasi untuk pemberian izin-izin baru HTE.
"Implikasinya tidak berhenti pada deforestasi, tapi perampasan lahan, eskalasi bencana hidrologis, dan memperuncing konflik penguasaan lahan. Pemerintah sedang tidak melakukan apa-apa terkait transisi energi, kecuali memperburuknya," kata Amalya, Rabu (25/10/2023).
Menurut Forest Watch Indonesia (FWI), saat ini saja terdapat 420 ribu hektare hutan alam di dalam 31 konsesi HTE yang akan terdeforestasi saat perusahaan mulai beroperasi. Dalam penelitian Trend Asia, untuk target ambisius co-firing 10 persen biomassa di seluruh PLTU Indonesia, pengembangan HTE akan menimbulkan deforestasi seluas 1 juta hektare. Pemanfaatan biomassa dalam skala ini akan menimbulkan utang karbon yang tidak akan terlunasi, karena tumbuhnya pohon di perkebunan kayu tidak akan mengejar kecepatan pembakaran.
Pengampanye FWI, Agung Ady Setyawan, mengatakan pemerintah melalui KLHK telah memetakan potensi pengembangan HTE seluas 1,29 juta hektare untuk memenuhi kebutuhan biomassa. Sayangnya, dari 13 perusahaan yang telah berkomitmen untuk bertransformasi dari HTI ke HTE selama rentang 2017-2021 saja telah mendeforestasi hutan alam seluas 55 ribu hektare, dan sebanyak 420 ribu hektare hutan alam tersisa juga terancam dirusak untuk kepentingan pembangunan HTE ke depan (planned deforestation).
"Jika ini yang dimaknai transisi energi oleh pemerintah, maka ini keliru. Pembangunan Hutan Tanaman Energi untuk menghasilkan biomassa kayu (bioenergi) yang berasal dari deforestasi tidak bisa diklaim sebagai energi bersih dan tergolong sebagai energi terbarukan,” ujar Agung.
Deforestasi juga mengganggu berbagai fungsi pendukung hutan yang berkelindan dengan ekosistem, yang berfungsi menunjang pangan, air, dan keanekaragaman hayati. Deforestasi dari perluasan HTE dapat mengganggu daur alam dan mengganggu pertanian warga.
Ia juga berperan menjaga stabilitas tanah, yang berperan besar dalam mengikat karbon. Deforestasi dapat mengganggu keseimbangan, yang akan berujung pada emisi yang tidak diperhitungkan di luar pembakaran. Daripada menjadi strategi efektif mengurangi emisi, co-firing biomassa lebih berperan sebagai strategi PLTU untuk bersolek dan menjual citra bersih.
Hal ini dimanfaatkan PLTU untuk menunda pemensiunan. Hal ini akan memperpanjang penderitaan warga sekitar PLTU yang selama ini dirundung masalah kesehatan, gangguan terhadap ruang hidup, dan pekerjaan mereka akibat polusi. Polusi PLTU mengganggu hasil panen warga, membatasi aktivitas nelayan, dan terbukti berujung pada berbagai penyakit pernapasan bagi masyarakat sekitar.
“Pembangkitan listrik menggunakan campuran batu bara dan kayu (co-firing biomassa) sebagai dalih transisi energi bersih, sesungguhnya adalah bentuk perdagangan krisis. Ini sama sekali tidak menjawab persoalan krisis iklim dan ketidakadilan energi yang terjadi. Sudah saatnya negara belajar dan menyusun kebijakan yang menjamin keselamatan rakyat dan lingkungan berbasis hak serta pemulihan,” ujar Uli Arta Siagian, Manager Kampanye Hutan dan Kebun Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Nasional.
Menurut Manager Divisi Advokasi dan Kampanye Walhi Jawa Barat, Wahyudin, co-firing biomassa yang dilakukan di PLTU akan menimbulkan kepiluan bagi lingkungan serta masyarakat di tapak, jika pemerintah tidak segera menarik kembali skema co-firing biomassa di PLTU. Hal tersebut didasarkan pada pengakuan masyarakat yang selama ini hidup di hilir, di sekitar PLTU, tempat kualitas udara semakin buruk dengan penerapan skema co-firing biomassa.
"Mereka juga mengalami gangguan kesehatan yang semakin serius. Klaim pemerintah bahwa co-firing akan menurunkan suhu global hanyalah akal-akalan belaka. Faktanya, di hilir dan di hulu, ia memberi kontribusi kuat pada perubahan iklim,” kata Wahyudin.
Ketua Bidang Advokasi YLBHI, Zainal Arifin, menambahkan, HTE dan co-firing biomassa dalam transisi energi tidak hanya merupakan solusi palsu, tapi juga program manipulatif yang berpotensi memperpanjang pelanggaran Hak Asasi Manusia, khususnya di tapak-tapak PLTU dan juga di tapak-tapak masyarakat yang sedang berjuang di kawasan hutan.
Teknologi co-firing yang digadang-gadang sebagai energi bersih, katanya, telah mengingkari semangat zaman, dimana seluruh negara dan dunia hari ini menyerukan penutupan terhadap pembangkit energi kotor, namun keberadaan co-firing biomassa justru akan memperpanjang usia PLTU yang seharusnya dipensiunkan atau ditutup.
"Ini artinya, masyarakat di tapak PLTU harus memperpanjang perlawanannya karena menghirup udara kotor dan untuk mendapatkan lingkungan yang baik, dan sehat. Di sisi lain, co-firing biomassa yang membutuhkan lahan untuk HTE juga akan memperpanjang konflik agraria di sektor kehutanan,” katanya.
Direktur Eksekutif Yayasan Citra Mandiri Mentawai, Rifai Lubis, berpendapat pemberian izin HTE di Mentawai pantas dicurigai sebagai kedok untuk melegitimasi deforestasi. Sebab lahan-lahan yang izinnya dimohonkan adalah lahan dengan potensi kayu yang sangat banyak.
"Pemberian izin dilakukan tanpa menimbang risiko yang ditanggung masyarakat, karena dalam RTRW Mentawai, wilayah yang diberi izin tersebut adalah wilayah dengan risiko tinggi dan sedang bencana banjir," ucap Rifai.
Saiful Wahtoni dari Aliansi Gerak Reforma Agraria (AGRA) menganggap HTE tak ada bedanya dengan HTI. HTE akan semakin banyak merampas tanah dan ruang hidup rakyat. Masalah energi terbarukan, menurut Saiful, bukanlah soal bentuk energinya saja, tetapi juga untuk apa dan siapa energi itu digunakan.
"Di NTB, misalnya, banyak PLTU dan hutan energi dibangun seiring dengan kebutuhan pariwisata, tapi bukan untuk kehidupan sehari-hari masyarakat. Seharusnya, masyarakat dilibatkan dan didengarkan kebutuhannya, dan dijadikan faktor utama dalam menentukan pembangunan energi," kata Saiful.