LIPUTAN KHUSUS:
Teknologi RDF untuk Sampah Plastik Belum jadi Solusi Polusi
Penulis : Gilang Helindro
Tanpa upaya pencegahan pencemaran udara, dorongan penggunaan RDF akan meningkatkan risiko pajanan pencemar berbahaya.
Energi
Kamis, 14 September 2023
Editor :
BETAHITA.ID - Saat ini pemerintah sedang berusaha mengubah sampah plastik menjadi bahan campuran untuk bahan bakar pembangkit listrik. Refuse-Derived Fuel (RDF) dari sampah plastik, dianggap solusi pengurangan sampah plastik menjadi bahan bakar. Menurut data KLHK, potensi RDF diperkirakan mencapai 20.000 ton per hari, yang dapat dimanfaatkan pada 52 PLTU serta 34 pabrik industri semen di seluruh Indonesia.
Teknologi Refuse-Derived Fuel (RDF) merupakan upaya pengelolaan sampah berkelanjutan yang mampu mengubah sampah menjadi energi alternatif terbarukan dan dapat mengurangi emisi CO2.
Namun, dalam laporan Nexus3Foundation mengenai Refuse-Derived Fuel (RDF) di Indonesia, pemanfaatan RDF tidak akan menyelesaikan permasalahan polusi plastik dan sampah residu. Pembakaran RDF hanya akan mengkonversi sampah plastik dari fasa padatan menjadi gas.
“Hal ini, tanpa upaya pencegahan pencemaran udara, dorongan penggunaan RDF, dari skala kecil maupun besar, akan meningkatkan risiko pajanan pencemar berbahaya kepada kesehatan dan lingkungan,” kata Yuyun Ismawati, salah satu peneliti senior Nexus3Foundation, Rabu, 13 September 2023.
Yuyun menyebut, RDF memang dapat menjadi salah satu solusi dari masalah persampahan. RDF yang dibuat dari sampah residu atau sampah tercampur akan menghasilkan nilai kalor yang tinggi sebagai bahan bakar alternatif, jika diproses secara benar. “Namun demikian, produksi dari RDF yang berbasis biomassa ataupun sampah tercampur tetap akan membutuhkan offtaker industri yang akan menerima dan menggunakannya,” katanya.
Saat ini, pengguna RDF di Indonesia yang dapat diandalkan hanya perusahaan semen dan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU), dan ini pun harus diperkuat dengan regulasi untuk mengontrol emisi. Walaupun beberapa dokumen SNI sudah diterbitkan untuk biopelet dan briket untuk produsen RDF dan industri. “Hal ini masih belum cukup untuk menjamin selesainya masalah lingkungan dari proses co-firing (pembakaran bersama) atau co-processing (pemrosesan bersama),” tambahnya.
Menurutnya, emisi dioksin (PCDD/PCDF) yang dilepas dari tanur semen yang menggunakan sampah campuran sebagai bahan bakar alternatif hanya diwajibkan untuk diperiksa empat tahun sekali. Regulasi ini perlu diubah menjadi setidaknya satu tahun sekali.
Penggunaan RDF untuk boiler industri dan usaha kecil dan menengah (UKM) sangat tidak direkomendasikan. "Emisi beracun dan kerak abu dari sisa proses pembakaran akan menimbulkan dan menyebarkan racun baru ke lingkungan masyarakat sekitar. Kriteria lokasi untuk TPS yang memproduksi RDF juga harus ditetapkan," tutupnya.