LIPUTAN KHUSUS:
Walhi dan LAM: Pulau Rempang Bukan Tanah Kosong
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Menurut KPA banyak sekali terjadi pola-pola yang sama seperti di Pulau Rempang untuk mengakomodir pembangunan dan investasi dengan menaikkan skalanya menjadi PSN (Proyek Strategis Nasional).
Agraria
Selasa, 12 September 2023
Editor :
BETAHITA.ID - Konflik warga dengan aparat akibat pengembangan Rempang Eco-City di Kota Batam, Kepulauan Riau (Kepri), yang terjadi beberapa hari belakangan, menjadi bukti pulau dengan luas sekitar 165 km persegi itu bukanlah tanah kosong. Setidaknya terdapat 16 Kampung Melayu Tua yang diperkirakan sudah ada di pulau itu sejak ratusan tahun lalu. Kampung-kampung tua itu bakal tergusur, bila proyek itu dilanjutkan dengan cara mengosongkan areal proyek.
"Keputusan memberikan seluruh lahan kepada investor adalah sikap yang tidak memihak kepada rakyat dan berdampak pada 16 kampung tua Suku Melayu, Suku Orang Laut, dan Suku Orang Darat yang sudah bermukim di Pulau Rempang setidaknya sejak 1834," ujar Ahlul Fadli, Koordinator Media dan Penegakan Hukum, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Riau, Sabtu (9/9/2023).
Lembaga Adat Melayu (LAM) Kepri juga menegaskan keberadaan masyarakat penghuni Pulau Rempang. LAM Kepri menolak bila masyarakat yang sudah tinggal ratusan tahun di Pulau Rempang dan Pulau Galang direlokasi.
"Mereka sudah tinggal di sana ratusan tahun dan turun temurun. Pemerintah juga harus fasilitasi mereka, tentang hak mereka yang sudah tinggal di sana turun temurun," kata Abdul Razak, Ketua LAM Kepri, Sabtu (9/9/2023) kemarin, dikutip dari Tempo.co.
Ketua I LAM Kepri Atmadinata melanjutkan, masyarakat Rempang sudah ada turun menurun dan beranak pinak di pulau tersebut. Mereka bahkan sudah ada sebelum BP Batam lahir pada 1971. Ia mempertanyakan, kenapa pemerintah sampai saat ini tidak memberikan legalitas kampung masyarakat Rempang tersebut.
"HGU (Hak Guna Usaha) kan baru 2004 (diberikan kepada pengusaha), kenapa dulu pemerintah tidak memfasilitasi kampung halaman mereka (warga Rempang)," kata Atmadinata.
Ia juga meminta pemerintah melibatkan ahli sejarah dalam memecahkan masalah di Rempang tersebut. Sebab, menurut Atmadinata, warga Rempang bisa dianggap sebagai warga melayu pertama yang tinggal di Batam.
Penduduk Awal Pulau Rempang
Istilah kampung tua yang disebutkan sebelumnya bukan tanpa arti. Istilah tersebut disematkan untuk wilayah pemukiman yang telah ada sejak sebelum BP Batam terbentuk pada 1971.
Dilansir dari Republika, keberadaan penduduk awal di Pulau Rempang bisa ditelusuri dalam catatan arsip Belanda dan Kesultanan Riau Lingga. Setidaknya sejak Abad 19, sejumlah sumber Belanda dan arsip Kesultanan Riau Lingga menunjukkan daerah Rempang dan Galang sudah ramai penduduknya. Catatan Elisha Netscher dalam Beschrijving van Een Gedeelte Der Residentie Riouw (1854), ada 18 pabrik pengolahan gambir (bangsal) di Kepulauan Riau pada 1848.
Di antaranya ada di Galang, Sembulang, Duriangkang, dan Mukakuning. Pemilik bangsal gambir ini adalah orang Tionghoa. Tidak hanya gambir, perkebunan lada juga ada di wilayah Galang dan Rempang, serta Batam.
Pada 1861, Yang Dipertuan Muda (YDM) Riau X, Raja Muhammad Yusuf atas nama Sultan Riau Lingga dan disetujui Residen Belanda di Tanjungpinang mengeluarkan plakat, memberikan izin kepada tauke Tionghoa untuk membuka ladang gambir di Pulau Cembul, Pulau Bulang dan wilayah lain di Batam. Dalam plakat itu ditegaskan, pihak Kerajaan Riau Lingga akan menghukum seberat-beratnya siapa saja yang mengganggu usaha gambir orang Tionghoa itu.
Plakat ini menjadi dasar legalitas lahan untuk perkebunan. Ada dua kelompok masyarakat yang mendiami Rempang-Galang sejak abad ke-19 tersebut. Pertama, masyarakat Melayu dan Tionghoa. Masyarakat Tionghoa menjadi tauke gambir, lada, dan ikan. Sementara, masyarakat Melayu banyak bekerja sebagai nelayan, selain menjadi pekerja di perkebunan gambir dan lada. Kedua, masyarakat adat yang mendiami Pulau Rempang-Galang, yakni Orang Darat dan Orang Laut. Orang Darat mendiami daerah Kampung Sadap di Rempang Cate. Sementara, Orang Laut mendiami daerah pesisir Rempang-Galang dan pulau-pulau sekitarnya. (Arman, 2023).
Secara administrasi wilayah Rempang-Galang dulunya masuk dalam kekuasaan Belanda. Pasca-bubarnya Kesultanan Riau Lingga pada 1913, seluruh daerah Riau-Lingga termasuk Rempang-Galang diakui tunduk di bawah pemerintahan Hindia Belanda. Pasca-Indonesia merdeka, wilayah Rempang-Galang masuk dalam wilayah Kecamatan Bintan Selatan, Kabupaten Kepulauan Riau. Saat terbentuknya Kotamadya Batam pada 1983, wilayah Rempang-Galang bergabung dan berpisah dari Kabupaten Kepri.
***
Keberadaan penduduk asli di Pulau Repang ini juga pernah diulas oleh Republika pada 2014 silam. Ulasan tersebut juga ada di laman resmi Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Pada 4 Februari 1930, Controleur Onderafdeeling Tanjungpinang, P. Wink mengunjungi Orang Darat di Pulau Rempang. Catatannya tentang kunjungan dimuat dalam artikel berjudul Verslag van een bezoek aan de Orang Darat van Rempang, 4 Februari 1930 (Laporan Sebuah Kunjungan ke Orang Darat di Pulau Rempang pada 4 Februari 1930). Laporan ini ditulis di Tanjungpinang, 12 Februari 1930 dan dimuat dalam Tijdschrift voor Indische Taal, Land en Volkunde, Deel LXX Aflevering I,1930.
Menurut P Wink, pejabat Belanda di Tanjungpinang sudah lama mengetahui tentang keberadaan Orang Darat ini. Tapi, belum ada kontak langsung dengan mereka. Barulah P Wink, pejabat Belanda pertama yang turun langsung menemui Orang Darat ini.
P Wink mengatakan, orang Belanda bernama JG Schot dalam tulisannya Indische Gids pada 1882, juga menyebut di Pulau Rempang ada suku asli yang bernama Orang Darat atau Orang Utan. Menurut legenda, mereka berasal dari Lingga. Namun, tidak ada informasi yang jelas tentang asal usul ini. Orang Darat ini mirip suku asli Johor dan Melaka, yakni Orang Jakun.
Orang Darat di Pulau Rempang hidup di pondok-pondok tanpa dinding dan hanya beratap. Selain tinggal di Pulau Rempang, Orang Darat ada juga yang tinggal di Pulau Batam tapi kemudian seakan hilang karena membaur dengan Orang Melayu. Dalam kunjungannya ke Pulau Rempang kala itu, P Wink mendata jumlah Orang Darat yang ada di sana. Jumlahnya 8 delapan laki-laki, 12 orang wanita dan 16 orang anak-anak.
Orang Darat memiliki penampilan berkulit lebih gelap dari orang Melayu. Mereka tidak terbiasa hidup di laut, tidak memiliki sampan dan hidup dari bercocok tanam. Mereka hidup dari bercocok tanam, mencari hasil hutan.
Apabila kondisi air pasang, mereka baru mencari kepiting dan lokan. Hasilnya dibarter dengan orang Tionghoa yang memiliki kebun gambir yang ada di Pulau Rempang. Pada 1930, jumlah Orang Darat hanya sekitar 36 jiwa. Sebelumnya informasi dari Tetua Orang Darat di Rempang, Sarip, dulunya Orang Darat, jumlahnya 300 jiwa.
Penggusuran adalah Cerminan Kebijakan
Kepala Departemen Kampanye Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Benni Wijaya mengatakan, penggusuran warga Rempang atas nama PSN merupakan cerminan bagaimana pemerintah dalam mengambil kebijakan pembangunan: Sepihak tanpa melibatkan partisipasi masyarakat. Selain itu, banyak sekali terjadi pola-pola yang sama untuk mengakomodir pembangunan dan investasi dengan menaikkan skalanya menjadi PSN.
Hal ini, lanjut Benni, bisa jadi dipantik oleh kebijakan pemerintah yang semakin mempermudah kebijakan-kebijakan pengadaan tanah bagi PSN utamanya sejak Undang-Undang (UU) Cipta Kerja (CK). Hasilnya, dapat dilihat dari berbagai letusan konflik yang terus menerus terjadi akibat pembangunan PSN.
"Ini juga merupakan imbas dari konflik-konflik agraria yang tidak pernah selesaikan. Seperti kita tahu, persoalan Rempang terjadi sudah sejak lama. Alih-alih menyelesaikan masalah tersebut, justru izin-izin baru semakin diperkuat dan diperluas," kata Benni, Senin (11/9/2023).
Benni berpendapat, penggusuran warga Rempang menjadi cerminan dalam konteks pemberian izin dan pembangunan, pemerintah tidak pernah melihat fakta di lapangan bahwa sejatinya sudah ada masyarakat yang menempati lokasi tersebut. Tapi tidak pernah dilihat sehat masyarakat yang mempunyai hak atas tanah tersebut.
Sejatinya, kata Benni, berbagai penerbitan izin, baik itu untuk kepentingan perkebunan, industri dan pembangunan infrastruktur harus dilakukan secara musyawarah dengan masyarakat yang akan terdampak, dan setelah disetujui oleh masyarakat barulah naik ke level opsi ganti kerugian dan pembebasan lahan.
"Dan masyarakat terdampak pun mempunyai hak untuk menerima dan menolak usulan tersebut. Melalui UU CK dan berbagai peraturan kemudahan PSN, kan semua itu dipangkas," katanya.
Lebih mengkhawatirkan, imbuh Benny, pemerintah dalam melihat kebijakan pertanahan mempunyai prinsip yang keliru, yang mana pemerintah menganggap tanah yang tidak dilekati hak meskipun sudah ada masyarakat di sana. Inilah bentuk-bentuk penyimpangan dari Hak Menguasai Negara (HMN).
"Ini merupakan pemikiran-pemikiran konsep hak atas tanah kolonial yang terkenal dengan Azas Domein Verklaring," ucap Benni.
Tanpa Partisipasi Masyarakat Rempang
Ahlul mengatakan, investasi PT Makmur Elok Graha (MEG) mengembangkan Rempang menjadi Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (KPBPB) seluas 17.000 hektare, akan menjadi petaka bagi Pulau Rempang, termasuk bagi masyarakat yang tinggal di sana. Ia memperkirakan sekitar 13.000 sampai dengan 20.000 jiwa akan menjadi korban relokasi akibat pengembangan Pulau Rempang berlabel proyek strategis nasional (PSN) ini.
Apalagi penetapan Rempang Eco-City, kata Ahlul, tidak melalui konsultasi atau tidak melibatkan partisipasi masyarakat yang terdampak langsung dari proyek ini. Tak hanya itu, sampai kini belum ada kesepakatan yang dicapai antara masyarakat Rempang dan BP Batam, namun rencana pengukuran lahan dari BP Batam Bersama TNI dan Polri terus berjalan.
"Dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) Kepala BP Batam bersama Komisi VI DPR pada 5 September lalu menyebutkan, anggaran untuk relokasi masih dalam tahap pengajuan dan harus melaui persetujuan Menkeu dan Presiden," ungkap Ahlul.
Benni menambahkan, dari banyak kasus, KPA melihat kehidupan masyarakat yang tergusur akibat pengadaan tanah untuk pembangunan dan infrastruktur semakin tidak membaik. Benni bilang, dalam kasus Rempang, perkaranya bukan mengenai relokasi atau apapun itu, namun apakah opsi-opsi tersebut sudah merupakan hasil musyawarah dengan masyarakat terdampak.
"Sebab yang dipindahkan bukan hanya soal masyarakat yang kehilangan tanah, tapi soal bagaimana kehidupan sosial, ekonomi dan budaya mereka yang juga terdampak. Apalagi kabarnya, masyarakat nanti hanya dikasih HGB yang artinya tentu itu akan menghilangkan hak milik masyarakat atas tanah," ujar Benni.
"Ketika membangun Rempang, atau pun PSN yang lainnya, seharusnya pemerintah memulihkan dulu hak atas tanah masyarakat. Setelah itu, barulah pemerintah bermusyawarah dengan masyarakat terdampak terkait rencana pembangunan. Apakah mereka setuju atau menolak rencana pembangunan tersebut. Bukan secara sepihak menunjuk lokasi yang justru arahnya sudah ke perampasan tanah demi PSN," imbuh Benni.
Soal relokasi, Wali Kota Batam-Kepala BP Batam, Muhammad Rudi, mengatakan, sesuai arahan Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia, pihaknya telah menyiapkan kaveling seluas 500 meter persegi untuk masyarakat yang memiliki rumah di atas Areal Penggunaan Lain (APL) dan bersedia direlokasi ke areal yang telah ditetapkan. Di kaveling tersebut, akan dibangun pula rumah dengan tipe 45.
Rudi melanjutkan, luas kaveling tersebut bertambah dari luasan sebelumnya yang hanya 200 meter persegi. Tidak hanya itu saja, masyarakat juga akan diberikan HGB terhadap tanah dan rumah yang berdiri serta gratis biaya Uang Wajib Tahunan (UWT/UWTO) selama 30 tahun. Pemerintah juga memberikan bantuan bagi nelayan dan membangun pelabuhan atau dermaga guna mempermudah aktivitas masyarakat ke depan.
Sejak 2004 tapi Mandek
Rencana masuknya investor di Pulau Rempang sudah terdengar sejak dulu. Pada 2004, DPRD Kota Batam mengeluarkan surat perihal rekomendasi pengembangan pengelolaan Kawasan Wisata Terpadu Eksklusif (KWTE) di Pulau Rempang. Surat tersebut ditandatangani Ketua DPRD Kota Batam Taba Iskandar pada 17 Mei 2004.
Dalam surat itu, DPRD Kota Batam menyetujui dan mendukung sepenuhnya Pemerintah Kota Batam untuk mengembangkan kawasan Pulau Rempang dikelola menjadi Kawasan Perdagangan, Jasa, Industri dan Pariwisata, meliputi Kawasan Wisata Terpadu Eksklusif (KWTE) bekerja sama dengan kosorsium PT Makmur Elok Graha (MEG).
Dua tahun sebelum surat rekomendasi DPRD Kota Batam itu ada, Pemerintah Kota Batam menerbitkan Surat Edaran No. 09/TP/I/2002 tanggal 17 Januari 2002, perihal Tertib Pertanahan (Larangan Transaksi Tanah) di Pulau Batam, Rempang dan Batam. Surat edaran ini ditujukan kepada para camat se-Kota Batam.
Ada tiga hal yang disampaikan dalam surat edaran itu, pertama untuk sementara waktu tidak diperbolehkan mengeluarkan surat keterangan atas tanah kepada siapapun baik badan hukum maupun perorangan. Kedua, tidak dibenarkan mengetahui pelepasan hak atau ganti rugi atas sebidang tanah, dan ketiga, agar para camat menginstruksikan hal tersebut kepada lurah/kepala desa di wilayah masing-masing.
Pada 26 Agustus 2004, dilakukan penandatangan perjanjian Rempang melibatkan Pemerintah Kota Batam, Otorita Batam dan PT MEG. Objek perjanjian itu adalah pelaksanaan pengembangan dan pengelolaan kawasan Rempang seluas 17 ribu hektare, Pulau Setokok 300 hektare dan Pulau Galang 300 hektare. Penandatanganan perjanjian itu disaksikan oleh 5 orang, termasuk Pj Gubernur Kepri.
Sesuai perjanjian, secara hukum, konsorsium MEG adalah pemegang hak eksklusif kawasan Rempang untuk mengelola dan manajemen kawasan sesuai wilayah kerja perjanjian. Jangka waktu perjanjian berlaku 80 tahun sejak 26 Agustus 2004 atau sejak kesiapan lahan diserahkan kepada MEG. Kemudian, jangka waktu sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) di atas Hak Pengelolaan (HPL) 80 tahun.
Namun setelah penandatanganan perjanjian itu, rencana pengembangan Pulau Rempang ini mandek. Hal tersebut disampaikan Tommy Winata, pemilik PT MEG.
Kepada Koran Tempo terbitan 2007 silam, Tommy mengatakan setelah penandatanganan perjanjian, pihaknya tidak pernah lagi diminta menindaklanjuti kerja sama tersebut. Sejak penandatanganan, kata Tommy, tidak ada pembicaraan lanjutan hingga Batam dijadikan kawasan perdagangan bebas atau free trade zone.
“Saya enggak tahu dan sudah kelamaan, terserah deh (Batam) mau jadi apa. Dan saya tidak pernah bolak-balik ke sana, ngoyo benar,” ujarnya dalam artikel tersebut.
Pada 28 Agustus 2023, Rempang Eco-City masuk daftar PSN, dengan nama Program Pengembangan Kawasan Eco-City. Hal tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor 7 Tahun 2023 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian RI Nomor 7 Tahun 2021 tentang Perubahan Daftar Proyek Strategis Nasional.
Menurut perkiraan, nilai investasi pengembangan Rempang Eco-City ini mencapai Rp381 triliun hingga 2080 mendatang. Dalam rencana pembangunannya, Pulau Rempang akan disulap menjadi kawasan industri, perdagangan dan wisata, demi mendongkrak pertumbuhan perekonomian dan peningkatan daya saing Indonesia dengan Malaysia dan Singapura.