LIPUTAN KHUSUS:

Eksplorasi Ladang Gas Blok Bunga Cederai Komitmen Iklim


Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Kerja sama hasil kesepakatan perusahaan Korea, POSCO International Corporation, dengan Pertamina Hulu Energi ini juga akan menjadi batu sandungan bagi Indonesia, di tengah upaya mendorong transisi energi.

Iklim

Selasa, 15 Agustus 2023

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID - Kerja sama eksplorasi ladang gas senilai USD4 juta di lepas pantai Jawa Timur, antara Indonesia dan Korea Selatan (Korsel), dinilai mencederai komitmen iklim global Presiden Korea Selatan Yoon Suk Yeol dan Presiden Indonesia Joko Widodo. Sebab, menurut masyarakat sipil, kesepakatan itu terbilang sebagai bisnis kotor.

Tak hanya itu, kerja sama hasil kesepakatan perusahaan Korea POSCO International Corporation dengan Pertamina Hulu Energi ini, juga akan menjadi batu sandungan bagi Indonesia, di tengah upaya mendorong transisi energi.

Kesepakatan eksplorasi gas Blok Bunga ini disepakati pada akhir Juli kemarin, dengan luas area mencapai 8500 km persegi dan kedalaman 50-500 meter dengan taksiran cadangan gas mencapai 1,3 miliar barel.

Novita Indri, Juru Kampanye Energi Trend Asia, mengatakan, gas adalah energi fosil yang selama ini dicap “bersih”, padahal seperlima emisi CO2 global pada 2019 berasal dari pembakaran gas. Novita menambahkan, gas juga punya emisi metana yang bahkan lebih merusak daripada CO2.

Tampak dari ketinggian PLTGU di Semarang, Jawa Tengah. Kerja sama eksporasi ladang gas di Blok Bunga antara Indonesia dan Korsel, dianggap cederai komitmen iklim global dua negara tersebut. Foto: Tren Asia/Melvinas.

"Kerja sama ini akan mengunci Indonesia sebagai negara penghasil emisi di masa mendatang yang memperparah krisis iklim global,” kata Novita, dalam keterangan tertulis, Senin (14/8/2023).

Sebuah riset oleh Environmental Defense Fund menemukan, hingga 60% gas metana bocor sepanjang jalur suplainya di Amerika Serikat. Padahal gas metana memiliki dampak pemanasan global 86 kali lipat lebih besar daripada CO2 dalam rentang waktu 20 tahun.

Sebelumnya, Indonesia dan Korea Selatan turut menandatangani Komitmen Metana Global pada COP 26 di Glasgow yang berkomitmen untuk berkontribusi dalam mengurangi emisi metana global setidaknya 30% pada 2030, yang dapat mengurangi lebih 0.2 C pemanasan global pada 2050. Perlu diketahui, pada 2010 hingga 2019, gas menyumbang laju kenaikan emisi CO2 global terbesar hingga 42% dan pada 2020 menyumbang sekitar 60% emisi metana dari produksi bahan bakar fosil.

“Ekspansi gas fosil akan menghambat komitmen Indonesia dan Korea Selatan dalam Komitmen Metana Global dan mengejar target transisi energi masing-masing negara. Padahal, dua kekuatan ekonomi ini punya potensi sangat besar untuk bekerjasama dalam mendorong transisi dari energi fosil ke energi terbarukan”, ujar Dongjae Oh dari Solutions for Our Climate.

Blok Bunga akan menjadi proyek eksplorasi gas keempat bagi POSCO di Asia setelah Myanmar, Malaysia dan Australia. Diperkirakan hingga 2025 POSCO akan menghabiskan KRW1.3 triliun atau mencapai USD1 miliar untuk proyek eksplorasi minyak dan gas luar negeri-termasuk proyek eksplorasi gas Bunga. Untuk tiga tahun pertama tahap eksplorasi nilai investasi Komitmen Pasti Blok Bunga sebesar USD4 juta atau sekitar Rp60 miliar dengan durasi pengelolaan selama tiga dekade.

Durasi pengelolaan ladang gas yang berumur panjang berpotensi mengunci Indonesia dan Korsel dalam laju peningkatan keluaran emisi gas rumah kaca dalam beberapa dekade mendatang. Analisa dari Global Energy Monitor menyatakan, ekspansi konsumsi gas di Asia tidak sejalan dengan skenario mencapai emisi nol bersih yang akan berupaya membatasi laju kenaikan suhu global hingga 1.5C sesuai dengan Perjanjian Paris.

Novita bilang, proyek ini hanya akan menambah buruk peringkat ketidaksesuaian komitmen iklim Indonesia dan Korea Selatan yang tidak konsisten dengan target Perjanjian Paris. Novita mengatakan, pihaknya mendorong POSCO International untuk berhenti mengembangkan energi fosil di Indonesia, dan berhenti menghambat transisi ke energi terbarukan untuk mengejar netralitas karbon.

"Daripada berisiko terjebak dalam aset terdampar, selagi dunia bertransisi dari energi fosil, POSCO International seharusnya mendukung transisi energi dengan menggunakan kepakaran teknis mereka dan berinvestasi pada teknologi penyimpanan energi dan energi terbarukan,” ujar Novita.

Tidak hanya itu, konsorsium ini pun berencana untuk mengeksplorasi potensi penggunaan teknologi CCS/CCUS dan potensi proyek blue hydrogen/ammonia yang mana hanya sebagai upaya kosmetik industri energi fosil melindungi “keberlanjutan” kepentingan bisnis mereka.

Dongjae Oh menambahkan, untuk menghindari bencana iklim, emisi global harus dikurangi hingga setengah sebelum akhir dekade ini. Namun perusahaan migas Korea Selatan malah mendorong pengembangan gas di Asia dengan distraksi berbahaya, seperti CCS dan hidrogen-ammonia, yang mahal dan tidak terbukti.

"Hal ini memaparkan mereka pada risiko legal dan finansial saat semakin banyak perusahaan dituntut akuntabel terhadap dampak aktivitas mereka terhadap iklim,” ucap Dongjae Oh.

Dalam perhitungan skenario IEA, ekspansi gas yang selaras dengan melawan perubahan iklim seharusnya memuncak pada 2025 dan menurun drastis hingga 2050. Dalam skenario ini, sama sekali tidak ada alasan untuk meningkatkan produksi gas fosil.

“Di tengah desakan publik global untuk lepas dari ketergantungan energi fosil dan orientasi dunia yang menuju rendah karbon, sudah tidak ada ruang lagi buat proyek energi fosil seperti ini. Sudah seharusnya Indonesia serius dalam mendorong transformasi energi berkeadilan, dengan memaksimalkan potensi energi terbarukan yang semakin murah dan handal,” ucap Novita.