LIPUTAN KHUSUS:

El Niño Tingkatkan Risiko Kelaparan, Kekeringan, dan Malaria


Penulis : Kennial Laia

Masyarakat, pemerintah, dan organisasi seperti PBB harus membuat persiapan untuk mitigasi risiko kelaparan, kesehatan, dan bencana kekeringan akibat kembalinya El Nino.

Perubahan Iklim

Senin, 14 Agustus 2023

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Kembalinya El Niño di tengah krisis iklim akan mengganggu kesehatan masyarakat di berbagai belahan dunia. Pola cuaca alami yang panas ini kembali setelah tiga tahun periode La Niña, yang cenderung lebih dingin. 

El Niño dikonfirmasi oleh Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) Juli lalu. Saat tumbuh lebih kuat, para ilmuwan khawatir hal itu akan meningkatkan risiko kelaparan, kekeringan, dan malaria di beberapa negara.

Namun suhu global yang lebih panas dari bahan bakar fosil yang terbakar ini menjadi bahan bakar tambahan. Menurut para ilmuwan, pergeseran ini dapat memperburuk sejumlah bahaya terkait panas, dari penyakit jantung hingga bunuh diri.

“Panas jelas berbahaya,” kata Gregory Wellenius, kepala pusat iklim dan kesehatan di sekolah kesehatan masyarakat universitas Boston, dikutip Guardian. “Kadang-kadang ini mengarah ke rawat inap, di lain waktu mengarah pada kematian. Lalu ada dampak tidak langsung yang mengikutinya,” tambah Wellenius. 

Warga mengantri bak air terisi di Hula Hula Springs, Marsabit County, Kenya. Mata air ini satu-satunya sumber air bagi seluruh komunitas di tengah kekeringan di Marsabit. Dok WHO/Billy Miaron

El Niño adalah hasil dari pergeseran alami angin dan suhu laut. Fenomena ini membawa banjir yang lebih parah ke beberapa bagian planet bumi, sedangkan yang lainnya mengalami kekeringan. El Niño besar terakhir terjadi pada 2016, yang merupakan tahun terpanas dalam sejarah.

Para ilmuwan mengatakan, perubahan pola cuaca ini harus diiringi dengan persiapan yang lebih dari dari masyarakat dan pemerintah di wilayah yang terkena dampak. 

“El Niño tidak berarti ada lebih banyak bencana secara global dibandingkan tahun-tahun lainnya,” kata Walter Baethgen, seorang ilmuwan di lembaga penelitian internasional untuk iklim dan masyarakat Universitas Columbia. 

“Apa yang berubah adalah kemampuan kita untuk memprediksi seperti apa iklim di beberapa bagian dunia. Ini akan membantu dalam mengambil tindakan antisipatif,” jelasnya. 

Salah satu kekhawatiran khusus adalah efek El Niño pada ketahanan pangan. Pasalnya, guncangan pola cuaca bisa berakibat fatal bagi petani di negara-negara yang sudah terhuyung-huyung akibat pandemi Covid-19, invasi Rusia ke Ukraina, dan peristiwa cuaca ekstrem yang diperparah oleh krisis iklim.

Baethgen menunjuk aktor seperti PBB dan Program Pangan Dunia untuk menggunakan informasi perubahan pola cuaca ini untuk merencanakan persiapan menghadapi potensi darurat pangan. 

“Mereka tahu di tahun-tahun El Niño beberapa daerah akan mengalami peningkatan ancaman kerawanan pangan,” kata Baethgen. 

Di Ethiopia, misalnya, El Niño biasanya menyebabkan kekeringan di bagian utara negara itu, kata Madeleine Thomson, kepala dampak dan adaptasi iklim di badan amal Wellcome. Selain itu, kemungkinan ada risiko penyakit menular yang lebih besar. 

“Orang yang tinggal di dataran tinggi biasanya tidak terpapar malaria karena pada dasarnya terlalu dingin untuk penularan,” kata Thomson. 

“Kami telah melihat dari data historis bahwa ketika Anda mengalami El Niño, Anda cenderung mendapatkan peningkatan penularan di daerah dataran tinggi yang populasinya tidak kebal, sehingga mereka berisiko,” kata Thomson. 

Kombinasi pemanasan global dan El Niño telah menyebabkan rekor suhu yang terpecahkan dalam beberapa minggu terakhir. Sebelum bulan itu habis, WMO menyatakan Juli 2023 sebagai bulan terpanas dalam catatan sejarah.

Gas rumah kaca, yang menyumbat atmosfer dan memanaskan planet ini 1,2 derajat Celcius sejak Revolusi Industri, meningkatkan suhu gelombang panas yang mematikan pada bulan Juli di Amerika Utara, Eropa Selatan, dan Asia Timur, menurut jaringan Atribusi Cuaca Dunia.