LIPUTAN KHUSUS:
Ilmuwan: Gelombang Panas Mematikan akibat Krisis Iklim
Penulis : Kennial Laia
Tanpa pengurangan emisi segera, gelombang panas akan semakin sering terjadi di seluruh dunia, dengan intensitas yang lebih tinggi.
Perubahan Iklim
Jumat, 28 Juli 2023
Editor : Sandy Indra Pratama
BETAHITA.ID - Gelombang panas yang melanda Eropa dan Amerika Serikat selama berminggu-minggu disebut akibat krisis iklim yang dipicu aktivitas manusia. Para ilmuwan mengatakan bahwa fenomena cuaca ekstrem ini akan semakin sering dengan intensitas yang lebih tinggi di masa depan.
Berdasarkan analisis studi atribusi cepat dari World Weather Attribution (WWA), fenomena gelombang panas sepanjang Juli di Eropa dan Amerika Utara terjadi karena perubahan iklim. Hal ini terutama karena pemanasan global yang disebabkan oleh pembakaran bahan bakar fosil, batu bara, minyak dan gas, penggundulan hutan dan aktivitas manusia lainnya.
Studi tersebut juga menemukan bahwa perubahan iklim membuat gelombang panas setidaknya 50 kali lebih mungkin terjadi di China. Sementara itu gelombang panas di Eropa dan Amerika Serikat, sebagai minimum absolut, 950 dan 4.400 kali lebih mungkin oleh pemanasan global.
Gelombang panas yang brutal seperti itu tidak lagi langka, kata para ilmuwan, dan akan memburuk karena emisi terus meningkat. Jika dunia memanas 2C, fenomena ini akan terjadi setiap dua hingga lima tahun. Emisi gas rumah kaca membuat gelombang panas lebih panas daripada yang seharusnya yang membuat suhu di Eropa 2,5C lebih panas, Amerika Utara 2C lebih panas, dan China 1C lebih panas.
Juli tahun ini, wilayah Eropa Selatan, sebagian Amerika Serikat, Meksiko, dan China mengalami gelombang panas yang parah dengan suhu mencapai di atas 45C. Fenomena ini menimbulkan terjadinya peringatan panas, kebakaran hutan, perawatan di rumah sakit yang berkaitan dengan gelombang panas, hingga kematian.
Studi dari WWA ini dilakukan oleh tujuh peneliti termasuk ilmuwan dari universitas dan badan meteorologi di Belanda, Inggris dan Amerika Serikat. Para peneliti menjelaskan bahwa El Nino - sebuah fenomena iklim yang terjadi secara alami - kemungkinan memberikan kontribusi tambahan terhadap gelombang panas di beberapa wilayah. Para ilmuwan juga memperingatkan gelombang panas seperti ini akan menjadi lebih sering dan ekstrem jika emisi tidak segera dihentikan dan dikurangi menjadi nol bersih.
“Hasil studi atribusi ini tidak mengejutkan. Karena dunia tidak berhenti membakar bahan bakar fosil, iklim terus menghangat dan gelombang panas terus menjadi lebih ekstrem. Sesederhana itu,” kata Friederike Otto, tim penulis dan dosen senior ilmu iklim di Imperial College London dalam sebuah rilis, Rabu, 26 Juli 2023.
“Namun yang paling penting adalah, fenomena ekstrem ini membunuh orang, terutama menghancurkan kehidupan dan mata pencaharian kelompok yang paling rentan,” tambah Otto.
Otto mendesak pemerintah di seluruh dunia agar membuat kebijakan penghapusan bahan bakar fosil pada konferensi iklim COP28 tahun ini, yang berlokasi di Uni Emirat Arab.
“Kita masih punya waktu untuk mengamankan masa depan yang aman dan sehat, tetapi kita harus segera berhenti membakar bahan bakar fosil dan berinvestasi untuk mengurangi kerentanan. Jika tidak, puluhan ribu orang akan terus meninggal setiap tahun karena gelombang panas,” tambah Otto.
Julie Arrighi, direktur di Red Cross Red Crescent Climate Centre mengatakan, gelombang panas termasuk bencana paling mematikan.
“Panas ekstrem bersifat mematikan dan cepat meningkat. Sangat penting untuk meningkatkan sistem peringatan, rencana aksi panas, dan investasi dalam tindakan adaptasi jangka panjang. Ini termasuk perencanaan kota dan memperkuat ketahanan sistem kritis seperti kesehatan, listrik, air dan transportasi,” kata Arrighi.
“Untuk menyelamatkan nyawa selama panas ekstrem, kita perlu merawat yang paling rentan - ini termasuk orang lanjut usia, orang dengan penyakit komorbid, orang tanpa rumah, dan komunitas dengan akses terbatas ke ruang dingin yang dapat menjadi jalur kehidupan selama panas ekstrem,” tambah Arrighi.
Serangkaian gelombang panas serupa di belahan bumi utara pada 2018 juga dinilai tidak mungkin terjadi tanpa pemanasan global. Lebih dari 500 peristiwa cuaca ekstrem kini telah dianalisis oleh para ilmuwan, yang menemukan 93% gelombang panas dan 68% kekeringan menjadi lebih parah dan/atau lebih mungkin disebabkan oleh emisi yang disebabkan oleh manusia.
Penelitian baru-baru ini menemukan, lebih dari 61.000 orang meninggal dalam gelombang panas di Eropa pada 2022. Studi lain memperkirakan bahwa jutaan orang telah meninggal akibat panas di seluruh dunia dalam tiga dekade terakhir karena krisis iklim. Namun, kemajuan global untuk memotong pembakaran bahan bakar fosil masih sangat lambat. Baru-baru ini negara-negara G20 gagal mencapai kesepakatan pengurangan bahan bakar fosil karena dihadang oleh negara pendukung fosil yang dipimpin oleh Saudi Arabia.
Analisis baru dari WWA menggunakan metode peer-review untuk mengukur dampak krisis iklim pada gelombang panas baru-baru ini. Mereka menggunakan data cuaca hingga 18 Juli dan model komputer untuk membandingkan iklim saat ini, dengan pemanasan global 1,2C, dengan iklim yang lebih sejuk di akhir tahun 1800-an.
Dalam iklim yang lebih panas saat ini, gelombang panas diperkirakan terjadi setiap lima tahun di China, setiap 10 tahun di Eropa, dan 15 tahun di Amerika Serikat, tetapi akan terjadi lebih sering karena emisi terus meningkat. Meningkatnya El Niño mungkin menambah sedikit panas pada gelombang panas, kata para ilmuwan, tetapi pemanasan global dari pembakaran bahan bakar fosil adalah alasan utama tingkat keparahannya.
Para peneliti juga menemukan kecuali dunia menghentikan pembakaran bahan bakar fosil dengan cepat, peristiwa ini akan menjadi semakin umum dan dunia akan mengalami gelombang panas yang bahkan lebih panas dan bertahan lebih lama. Gelombang panas seperti yang baru-baru ini akan terjadi setiap 2-5 tahun di dunia yang 2C lebih hangat daripada iklim pra-industri.