LIPUTAN KHUSUS:

Konflik antara Masyarakat Adat dan Perusahaan HTI Terus Berlanjut


Penulis : Kennial Laia

Hingga saat ini perusahaan PT Mayawana Persada belum membayar ganti rugi atas penggusuran tanah dan sanksi adat kepada masyarakat desa Kuantan Hilir, Ketapang, Kalimantan Barat.

Masyarakat Adat

Kamis, 13 Juli 2023

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Konflik antara masyarakat adat Desa Kualan Hilir, Ketapang, Kalimantan Barat dan perusahaan perkebunan kayu PT Mayawana Persada kembali terjadi. Ketua Lingkaran Advokasi dan Riset Borneo (Link-AR Borneo), Ahmad Syukri, mengatakan konflik terbaru ini dipicu oleh penggusuran lahan milik masyarakat. 

Menurut catatan Link-AR Borneo, organisasi yang mengadvokasi masyarakat adat tersebut, perusahaan menggusur lahan masyarakat Juni lalu. Tanah yang digusur ini merupakan kebun karet dan sawit masyarakat dan bawas (bekas ladang), termasuk tempat lokasi situs sakral adat.

Pada 26 Juni 2023, masyarakat adat telah mendesak dilakukan pengukuran ulang tanah yang diserobot perusahaan. Mereka juga menuntut perusahaan mengembalikan tanah serta mengganti kerugian tanaman dan kayu yang ditebang oleh PT Mayawana Persada. 

Perusahaan kemudian berjanji sebanyak dua kali berjanji untuk menyelesaikan masalah dan membayar sanksi adat yang diputuskan pemangku adat Kualan Hilir. Namun dua pertemuan yang terjadwal pada 28 dan 29 Juni tidak kunjung dipenuhi. 

Ladang bekas garapan masyarakat adat desa Kuantan Hilir yang dikelilingi oleh perkebunan akasia milik PT Mayawana Persada di Ketapang, Kalimantan Barat. Dok jatan.org

“Perusahaan tidak menemui masyarakat dan pemangku adat. Terakhir perusahaan berjanji untuk langsung membayarkan kompensasi dan denda adat ke lembaga adat di kampung. Namun janji itu tidak juga dipenuhi,” kata Ahmad kepada Betahita, Selasa, 11 Juli 2023. 

Lembaga adat telah menjatuhkan lebih dari tiga kali sanksi kepada perusahaan, namun tidak dihiraukan. Kompensasi yang sesuai juga belum dilakukan perusahaan. 

Sebagai respons, masyarakat mendatangi lokasi perusahaan. Menurut keterangan Ahmad, saat itu kamp telah dikosongkan, tanpa karyawan maupun alat kerja. Tersisa 11 alat berat ekskavator yang masih beroperasi dan dua yang mogok di dalam konsesi. 

Masyarakat kemudian mengusir pekerja yang masih bertahan di kamp pembibitan dan penanaman akasia. 

“Proses ini berlangsung tanpa kekerasan. Masyarakat meminta agar ekskavator berhenti beroperasi, dan mengambil kunci alat tersebut,” terang Ahmad.

Penelusuran Betahita  di media sosial, proses ini disaksikan oleh salah satu petugas yang mengaku sebagai sekuriti perusahaan. Pada 29 Juni malam hari, petugas tersebut menyerahkan kunci ekskavator ke pihak pemangku adat. Tanggal 30 Juni, masyarakat menyerahkan kunci alat berat ke Polsek Kecamatan Simpang Hulu, Ketapang. Kunci itu akan ditahan hingga perusahaan menyelesaikan perkara dan membayar kompensasi dan denda adat. 

“Semua perjanjian antara masyarakat adat dan perusahaan tercantum di BAP. Tetapi kami menilai, tidak ada tindak lanjut dan niat baik perusahaan untuk menyelesaikannya,” kata Ahmad. 

Menurut Syukri, kunci alat berat itu masih di pihak Polsek Simpang Hulu. Dari observasi lapangan yang dilaporkan masyarakat adat, tidak terdeteksi aktivitas hingga Minggu, 9 Juli 2023. Alat berat di dalam konsesi pun masih berbaris. 

“Sekali lagi, masyarakat adat mendesak dan menanti perusahaan untuk melakukan pengukuran ulang luasan tanah yang dibuka oleh perusahaan. Ini khusus lahan masyarakat yang tidak pernah menyerahkan lahannya kepada perusahaan,” pungkas Ahmad.

Konflik sejak 2019 

Konflik antara masyarakat adat Desa Kualan Hilir dan PT Mayawana Persada berlangsung sejak 2019. Perusahaan memperoleh izin Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) melalui melalui SK. 723/Menhut-II/2010 tertanggal 30 Desember 2010 seluas 136.710 hektare. 

Meski demikian, masyarakat tidak menyepakati penyerahan lahan saat sosialisasi dari perusahaan di desa Kualan Hilir pada 2010 hingga saat ini. Selama 2010-2018, perusahaan tidak beroperasi. 

Pada 2019, penjabat kepala desa saat itu memberikan persetujuan kepada perusahaan tanpa konsensus dari masyarakat adat. Penjabat kepala desa dan lembaga adat tersebut diundang ke P0ntianak dan menyetujui secara sepihak, dengan tali asih Rp 1,5 juta per hektare. 

“Setelah itu, perusahaan gencar melakukan pembabatan dan penanaman akasia dan eukaliptus. Itu dua tanaman yang kami ketahui ditanam di konsesinya,” kata Ahmad. 

Situasi tersebut membuat masyarakat terbelah. Namun sebagian masyarakat desa tetap menolak menyerahkan lahan, sehingga terjadi tumpang-tindih lahan dengan perusahaan maupun masyarakat yang telah menyerahkan lahan dari desa lain. 

Konflik antar desa yang berbatasan dengan konsesi perusahaan pun pecah. Menurut Ahmad, terdapat indikasi masyarakat dari desa Kecamatan Simpang Dua dimobilisasi untuk membakar pondok di ladang masyarakat dusun Lelayang, Kualan Hilir, yang menolak kehadiran perusahaan. Masyarakat pun kehilangan alat kerja dan gabah yang bertahun-tahun dikumpulkan. 

“Kami melihat ada upaya adu domba untuk memecah belah masyarakat,” kata Ahmad. Dia menambahkan aktivitas perusahaan juga mengancam keberadaan hutan alam dan gambut lindung.