LIPUTAN KHUSUS:
Cari Keadilan Agraria, Kades Tiberias Lakukan Aksi Tunggal di MA
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Apa yang Abner sampaikan itu terkait konflik lahan desanya dengan perusahaan perkebunan PT Malisya Sejahtera, yang sejak 2017 lalu telah mengakibatkan ratusan warga Tiberias terusir dari tanah garapannya.
Agraria
Kamis, 06 Juli 2023
Editor : Sandy Indra Pratama
BETAHITA.ID - Di tengah terik siang, Abner Patras, berorasi tunggal di depan Gedung Mahkamah Agung, Rabu (5/7/2023). Kepala Desa Tiberias, Kecamatan Poigar, Kabupaten Bolaang Mongondow (Bolmong), Sulawesi Utara (Sulut), itu meminta negara memberantas mafia tanah dan mafia peradilan.
Apa yang ia sampaikan itu terkait konflik lahan desanya dengan perusahaan perkebunan PT Malisya Sejahtera--anak usaha Salim Group--yang sejak 2017 lalu telah mengakibatkan berhektare-hektare lahan tanam warga terenggut, rumah-rumah warga dibakar dan sejumlah petani penggarap dikasuskan secara hukum.
"Kami diusir dari tanah negara yang selama bertahun-tahun kami garap demi sesuap nasi! Kami diusir dari tanah tumpah darah kami, karena tanah negara tersebut diberikan HGU (hak guna usaha) kepada PT Malisya Sejahtera yang belum berbadan hukum," kata Abner, membacakan pernyataan sikapnya.
Abner bilang, sertifikat HGU diberikan kepada PT Malisya Sejahtera pada 2001 silam. Tetapi saat mendapatkan HGU itu, perusahaan dimaksud ternyata belum berbadan hukum. PT Malisya baru secara sah memiliki badan hukum pada 2002, atau satu tahun setelah mendapatkan HGU.
"Apakah negara ini masih negara hukum?" heran Abner.
Kejanggalan penerbitan HGU ini, lanjut Abner, kemudian diprotes oleh petani penggarap lahan. Namun yang terjadi justru pasukan kepolisian datang ke desanya dan menangkapi warga. Bersamaan dengan penangkapan petani penggarap, rumah-rumah warga di lahan HGU dibongkar paksa dan dibakar oleh karyawan-karyawan perusahaan, tanaman-tanaman warga juga dirusak.
"Dan kami diproses hukum mencuri hasil tanaman, padahal seluruh tanaman di atas tanah tersebut adalah milik kami. Itu kejadian tahun 2017," ungkap Abner.
Perusakan rumah dan tanaman petani penggarap lahan itu kemudian warga laporkan kepada kepolisian Bolmong. Tetapi laporan tersebut sampai saat ini tidak diproses.
"Ini penjajahan bukan? Untunglah pengadilan waktu itu masih memiliki nurani putusan pidana dakwaan pencurian memasuki HGU secara tidak sah, tidak terbukti," ujar Abner.
Abner melanjutkan, pada 2022 lalu, setelah terjadi pergantian-pergantian hakim dan Ketua Pengadilan Negeri (PN) Kotamobagu, para petani penggarap kembali dipidana lagi, dengan dakwaan yang sama. Oleh Ketua PN Kotamobagu sekaligus ketua majelis hakim, kata Abner, para petani penggarap divonis bersalah memasuku lahan HGU perkebunan secara tidak sah.
"Selanjutnya banding kami ditolak, dan saat ini dalam tahap kasasi di Mahkaham Agung," kata Abner.
Abner mengaku telah mengadukan permasalahan lahan dan HGU PT Malisya Sejahtera ini kepada Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR), namun kementerian malah mempersilakan warga untuk mengajukan gugatan ke pengadilan.
Anjuran Kementerian ATR itu pun ditempuh warga. Singkat kata, setelah sekian persidangan berjalan, PN Kotamobagu memenangkan gugatan petani penggarap. Di tingkat banding, kasus tersebut juga dimenangkan warga. Hingga pada tingkat kasasi, gugatan warga ditolak, dengan alasan petani penggarap tidak memiliki alas hak atas tanah.
"Walaupun kami berteriak hingga parau tentang alas hak petani penggarap sebagai rakyat kecil adalah konstitusi negara dan hukum agrariam tetapi kasasi kami ditolak Mahkamah Agung. Saat ini perkara tersebut dalam tahap peninjauan kembali," terang Abner.
Abner mengatakan, dirinya sebagai Kepala Desa Tiberias yang dipilih secara sah oleh rakyat, sekaligus menjadi pesakitan di pengadilan sebagai terdakwa, karena berupaya melawan anak perusahaan Salim Group, datang sendirian ke Jakarta mewakili Komunitas Petani Penggarap Desa Tiberias, melakukan aksi unjuk rasa damai tunggal, dengan tujuan demi mengetuk hati nurani peradilan hukum MA.
Abner bilang, tidaklah mudah bagi para dirinya dan warganya untuk mencari keadilan. Menurutnya, seluruh hidup mereka dipertaruhkan dalam kasus sengketa lahan dengan perusahaan ini.
"Kami tak mampu membayar putusan! Kami tidak mampu membiayai ratusan polisi untuk mengerang rakyat kecil, menganiaya dan memenjarakan. Kami tidak mampu membayar jaksa mendakwa orang sesuai pesanan konglomerat. Kami tidak mampu membayar Ketua Pengadilan Negeri Kotamobagu dan Ketua Pengadilan Tinggi Manado, pun demi keadilan dan kebenaran yang hakiki," ucap Abner.
"Karena itu, tolonglah Mahkamah Agung RI, kami petani kecil sangat menanti keadilan. Mohon perkara kami diadili secara hukum. Bukan sesuai pesanan. Tertibkan dan pecat oknum Ketua Pengadilan Negeri Kotamobagu. Karena diduga kuat telah dikontrak PT Malisya Sejahtera anak perusahaan Salim Group untuk menghukum kami karena mencari sesuao nasi di atas tanah negara, dan telah mengganggu perusahaan bodong milik konglomerat tamak," lanjut Abner.
Kronologi konflik Desa Tiberias Vs PT Malisya Sejahtera
Konflik antara petani penggarap Desa Tiberias dan PT Malisya Sejahtera ini memiliki sejarah panjang. Pada 2017 lalu, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sulut dan Transformasi untuk Keadilan (TuK) Indonesia pernah membuat dokumen studi kasusnya.
Menurut dokumen tersebut, sejarah lahan Desa Tiberias ini dimulai saat Pemerintah Hindia Belanda mendirikan sebuah perkebunan di wilayah yang sekarang disengketakan pada sekitar 1890 silam. Para anggota masyarakat yang ada saat ini adalah keturunan dari orang-orang yang dibawa ke daerah tersebut untuk bekerja sebagai buruh di perkebunan itu.
Setelah kemerdekaan, perkebunan ini dijadikan milik negara untuk pertama kalinya, di bawah pemerintahan Presiden Soekarno, lalu diprivatisasi di bawah pemerintahan Presiden Soeharto. Sebuah perusahaan kelapa bernama PT Poigar, akhirnya mendapatkan Hak Guna Usaha (HGU) untuk wilayah yang saat ini dalam sengketa.
Akan tetapi, perusahaan mulai menelantarkan perkebunan sekitar 2001, saat itu masyarakat mulai menduduki kembali lahan dengan dasar Pasal 4 Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1979 tentang Pokok-Pokok Kebijaksanaan Dalam Rangka Pemberian Hak Baru Atas Tanah Asal Konversi Hak-Hak Barat. Warga membuat kebun-kebun dan rumah-rumah di atasnya dan wilayah tersebut secara efektif di bawah kepemilikan masyarakat sejak masa HGU PT Poigar habis pada 2003.
Kira-kira pada saat yang sama, pemilik PT Poigar, Ellen Megie Saroinsong, mendirikan sebuah perusahaan baru, yakni PT Malisya Sejahtera (PT MS). Badan hukum perusahaan ini secara resmi didaftarkan pada 2002, mendapatkan bagian HGU dari PT Poigar--sebuah lahan seluas 177,2 hektare.
Perusahaan ini tidak aktif untuk beberapa tahun, namun pada awal 2015, perusahaan ini mulai mengklaim sebagian tanah yang sebelumnya dikuasai oleh PT Poigar, tanah yang saat itu telah diduduki oleh masyarakat. Perusahaan itu memberitahukan pada masyarakat desa bahwa 10 persen sampai 15 persen tanaman yang dihasilkan di kebun-kebun masyarakat harus diserahkan pada perusahaan.
Para petani yang tidak melakukannya tidak akan diizinkan lagi untuk menanam di daerah yang diklaim oleh PT MS tersebut. Beberapa bulan kemudian, kepala desa setempat mendapatkan sebuah surat dari PT MS yang mengklaim bahwa lahan di mana para penduduk desa tinggal, dimiliki oleh perusahaan.
Dalam bulan-bulan berikutnya, para pegawai PT Malisya Sejahtera, didampingi oleh polisi dan militer, mulai mengintimidasi para penduduk desa. Mereka datang beberapa kali ke desa-desa dan memberitahukan para penduduk bahwa mereka tidak boleh bercocok tanam di lahan yang diklaim oleh PT MS.
Para penduduk desa diperingatkan bahwa pelanggaran terhadap larangan tersebut akan berujung pada penuntutan hukum. Para pegawai perusahaan menghancurkan bendungan yang dibangun masyarakat untuk memblok air laut agar tidak dapat memasuki kanal-kanal yang menjadi batas sawah-sawah.
Sebagai akibatnya, air laut membanjiri lahan-lahan itu dan menghancurkan panen. Sawah juga digunakan oleh masyarakat untuk menangkap ikan, yang tidak dapat mereka lakukan lagi. Selain itu, serangan air laut telah memberikan dampak pada sumur air minum masyarakat, yang menjadi asin karena air laut dan tidak dapat digunakan lagi.
Pada April 2016, para penduduk desa Tiberias melayangkan protes kepada PT Malisya Sejahtera, yang masih belum terjawab. Tiga bulan kemudian, tepatnya pada 1 Juli 2016, kepala desa setempat mengeluarkan sebuah surat penjelasan, yang menyatakan bahwa sampai tanggal tersebut, dia belum menerima bukti apapun bahwa PT MS adalah pemilik sah dari lahan tersebut.
Pada 23 Agustus 2016, Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kabupaten Bolaang Mongondow (Bolmong) mengirimkan sebuah surat pada PT MS, meminta mereka untuk menghentikan aktivitas-aktivitasnya sampai konflik diselesaikan. Karena PT MS tidak menaati perintah ini, masyarakat melakukan protes besar sebulan kemudian. Ratusan penduduk desa memblok jalanan dengan memotong pohon yang besar.
Polisi tiba di akhir hari dan membubarkan massa dengan melakukan tembakan dan kemungkinan menggunakan gas air mata. Pada hari berikutnya, untuk merespon blokade tersebut, Bupati Bolmong mengeluarkan sebuah surat yang mencabut HGU PT MS. Tapi PT MS melakukan banding terhadap keputusan tersebut di pengadilan dan mereka menang, karena bupati tidak memiliki wewenang untuk mencabut
HGU.
Pada November 2016, masyarakat mencatatkan dua tuntutan hukum melawan PT MS, mempertanyakan legalitas izin usaha dan HGU-nya. Selama beberapa bulan kemudian, konflik ini makin meningkat. Polisi membuat pos yang secara permanen dijaga oleh personil mereka di daerah itu untuk menjaga kepentingan-kepentingan PT MS.
Pada April 2017, para penjaga keamanan PT, didampingi oleh polisi dan militer, menghancurkan 4 rumah. Satu bulan kemudian, mereka kembali dan menghancurkan serta membakar beberapa rumah lagi.
Mereka juga menahan 40 orang, dalam upaya untuk mengkriminalisasi para anggota masyarakat. Beberapa dari mereka masih berada di tahanan sampai September 2017, saat hakim memutuskan mereka tidak bersalah dan membebaskan mereka dari tuntutan-tuntutan hukum perusahaan tersebut.
Pada Juli 2017, masyarakat juga memenangkan sebuah kasus pengadilan melawan perusahaan itu namun kalah dalam kasus lainnya. Pengadilan memutuskan bahwa IUP perusahaan itu tidak legal, namun HGU mereka legal.
Pada 13 September 2017, masyarakat melakukan Banding terhadap Putusan Pengadilan yang melegalkan HGU, karena menurut masyarakat IUP yang sah adalah syarat untuk mendapatkan HGU. PT MS juga melakukan banding terhadap keputusan ini dan konflik masih belum diselesaikan, karena perusahaan tersebut terus mengintimidasi para penduduk desa, dengan dukungan polisi dan militer setempat.