LIPUTAN KHUSUS:

CCUS Mahal dan Belum Terbukti, Jangan Masuk Skema Transisi JETP 


Penulis : Kennial Laia

Teknologi CCUS dinilai berisiko dan menghambat target dekarbonisasi.

Energi

Selasa, 11 Juli 2023

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Peneliti kembali mengingatkan pemerintah agar tidak memasukkan teknologi penangkapan, penggunaan, dan penyimpanan karbon atau carbon capture utilization and storage (CCUS) dalam transisi energi. Teknologi ini dinilai berisiko dan menghambat target dekarbonisasi.

Sebelumnya Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyatakan rencananya untuk memasukkan teknologi CCUS dalam skema pendanaan transisi energi Just Energy Transition Partnership (JETP). 

Juru Kampanye Trend Asia, Novita Indri, mengatakan rencana pemerintah menggunakan CCUS dalam upaya menurunkan emisi tidak tepat dan malah menghambat Indonesia mencapai target dekarbonisasi. Pasalnya teknologi ini terlalu mahal dan tidak terbukti efektif untuk mencapai target Perjanjian Paris pada 1,5C. 

“Ini bisa menjadi praktik greenwashing perusahaan energi dan rawan mengalihkan dana transisi energi, seperti JETP, dari solusi yang lebih terbukti,” kata Novita, Kamis, 22 Juni 2023. 

Penampakan PLTU Suralaya di Cilegon, Banten dari udara. Sektor energi, seperti industri kelistrikan yang menggunakan batu bara serta pemanfaatan hutan dan penggunaan lahan (FOLU) merupakan sektor penyumbang emisi terbesar Indonesia. Dok Kasan Kurdi/Greenpeace

Novita mengatakan, teknologi CCUS yang mahal dan riskan tidak seharusnya masuk dalam skema JETP. Ia menyebut teknologi ini malah membantu industri energi fosil melindungi kepentingan bisnisnya. Begitu pula dalam ekstraksi gas dan minyak, yang masih menyokong ekstraksi bahan bakar fosil.

Laporan Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) menyebut, penggunaan CCUS untuk sektor kelistrikan tidak murah. Untuk biaya “tangkapnya” saja mencapai 50-100 dollar/ton. Ini sebabnya adopsi di dunia internasional lamban, dan penerapannya di beberapa tempat dinilai gagal akibat ongkos yang terlalu besar dan efisiensi yang rendah . 

Contoh proyek penggunaan CCUS⁷ pada sektor kelistrikan terjadi pada PLTU batubara Petra Nova, Amerika Serikat. PLTU berkapasitas 240 megawatt ini berbiaya US$ 1 miliar pada 2017 dan digadang-gadang menjadi model proyek sukses yang dapat “membersihkan” PLTU batu bara. Proyek ini ditargetkan mampu “menangkap” sekitar 1,4 juta ton CO2 per tahun atau 4.2 juta ton antara 2017 dan 2019. 

Catatan Trend Asia, proyek tersebut gagal mencapai target di tiga tahun pertama operasi. Hal ini menunjukkan bahwa kinerja Petra Nova akan merugikan investor lebih dari US$ 23 juta hanya dalam tiga tahun.

“Ini menjadi alarm bagi pemerintah untuk tidak mendorong proyek CCUS, apalagi jika menggunakan pendanaan JETP, hal ini hanya akan menghasilkan kerugian ekonomi dan kegagalan dalam menangkap emisi karbon,” ujar Novita. 

Indonesia menerima pendanaan JETP pada perhelatan G20 di Bali tahun lalu. Skema ini berasal dari negara anggota International Partners Group (IPG), yakni Jepang, Amerika Serikat, Kanada, Denmark, Prancis, Jerman, Italia, Norwegia, Uni Eropa, dan Inggris. Mereka berkomitmen memberikan US$20 miliar untuk membantu usaha dekarbonisasi Indonesia. 

Namun komitmen itu kontras dengan pernyataan Jepang dalam perhelatan KTT G7 beberapa waktu lalu. Jepang selaku tuan rumah KTT G7 mendorong Green Transformation (GX) Policy yang memuat perluasan penggunaan gas alam cair, PLTU batu bara dengan co-firing amonia, hidrogen, hingga CCUS. 

“Kita patut mempertanyakan komitmen negara anggota IPG dan mitra negaranya termasuk Indonesia dalam keseriusan mengatasi krisis iklim. Sebab komitmen tersebut masih belum tercermin dalam tindakan nyata, sebaliknya malah sibuk mendorong penggunaan teknologi solusi palsu,” ujar Novita. 

Para ilmuwan IPCC telah memperingatkan laju angka pemanasan global telah mencapai 1,1C akibat penggunaan energi fosil. Aksi iklim yang dilakukan saat ini pun masih belum cukup dalam mengatasi dampak krisis iklim. 

Novita mendorong pemerintah agar berinvestasi dalam energi terbarukan yang biayanya semakin menurun. “Sudah seharusnya pemerintah lebih ambisius dalam mendorong penggunaan energi terbarukan yang adil dan sejalan dengan target Perjanjian Paris dalam menahan laju kenaikan suhu global dibawah 1,5C,” pungkasnya.