LIPUTAN KHUSUS:

Koin dari Rakyat untuk PT BGA-Harita Group


Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Uang koin itu kemudian diserahkan kepada Harita Group, sebagai pengganti kerugian PT BGA, di Jakarta, Senin (19/6/2023).

Agraria

Selasa, 20 Juni 2023

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID - Aleng Sugianto, Maju dan Suwadi, tiga warga Desa Kinjil, Kecamatan Kotawaringin Lama, Kabupaten Kotawaringin Barat (Kobar), Kalimantan Tengah (Kalteng), dilaporkan dan ditangkap polisi dengan tuduhan mencuri buah sawit oleh anak usaha Harita Group, PT Bumitama Gunajaya Abadi (BGA). Dalam kasus itu, PT BGA menyebut perusahaan mengalami kerugian senilai sekitar Rp2,9 juta.

Aksi solidaritas pun digelar oleh sejumlah kelompok masyarakat yang tergabung dalam Koalisi Keadilan untuk Kinjil melalui pengumpulan uang koin di Kabupaten Kobar dan Kota Palangka Raya. Dari aksi solidaritas itu berhasil terkumpul uang koin senilai Rp3.109.300. Uang koin itu kemudian diserahkan kepada Harita Group, sebagai pengganti kerugian PT BGA, di Jakarta, Senin (19/6/2023).

Meski Aleng, Maju dan Suwadi kini mendekam dalam sel tahanan Polres Kobar, Koalisi menilai laporan dan penahanan tiga warga Kinjil itu merupakan bentuk kriminalisasi terhadap Aleng dkk. Sebab faktanya Aleng dkk. melakukan panen buah sawit di tanah miliknya sendiri yang berada di luar Hak Guna Usaha PT BGA.

Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kalteng, Bayu Herinata, mengatakan berdasarkan laporan Raountable on Sustainable Palm Oil (RSPO), tanah yang diklaim oleh PT BGA tersebut bukanlah tanah yang masuk dalam HGU milik PT BGA. Dengan ini jelas yang sebenarnya terjadi adalah PT BGA yang mengambil tanah rakyat dan melakukan kriminalisasi terhadap Aleng dkk.

Masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi Keadilan untuk Kinjil menyerahkan uang koin, yang terkumpul dari suatu aksi solidaritas di Kalimantan Tengah untuk Aleng, Maju dan Suwandi yang dinilai telah dikriminalisasi oleh PT BGA--anak usaha Harita Group, senilai Rp3.109.300 kepada Harita Group di Jakarata, Senin (19/6/2023). Foto: Koalisi Keadilan untuk Kinjil.

"Kami menyayangkan kenapa bentuk-bentuk kriminalisasi yang dilakukan oleh korporasi dan aparat kepolisian terhadap rakyat terus menerus berulang di Kalimantan Tengah. Bukankah harusnya peran pengurus negara dan aparat kepolisian adalah untuk menyelesaikan konflik agraria dan melindungi rakyat?” kata Bayu, dalam keterangan resminya, Senin (19/6/2023).

Perwakilan masyarakat dari Kalteng, Gusti Samudra juga menjelaskan, pihak Pemerintah Desa Kinjil telah mengembalikan tanah yang diklaim oleh PT BGA tersebut kepada Aleng dkk. Bahkan, pihak desa juga telah memberikan Surat Keterangan Tanah kepada Aleng. Atas dasar itulah, Aleng sekeluarga merawat dan memanen sawit yang sudah terlanjur tumbuh di lahan miliknya.

“Aleng dkk. hanya tiga dari masyarakat petani yang selama ini menggugat ketidakadilan atas praktik buruk skema plasma PT BGA. Mereka menuntut hak sesuai perjanjian mendapatkan plasma 50% dari lahan yang diserahkan, tak digubris perusahaan. Karena itu, mereka menarik diri dari kerja sama kemitraan plasma dengan perusahaan,” terang Gusti.

Atas dasar itulah Koalisi Keadilan untuk Kinjil yang terdiri dari gabungan organisasi masyarakat sipil seperti Walhi Kalteng, Walhi Nasional, Greenpeace, Pantau Gambut, PILNET, Progress, Save Our Borneo, LBH Palangka Raya, Sawit Watch, koalisi pemuda dan mahasiswa di Pangkalan Bun dan Palangka Raya, serta individu-individu aktivis lingkungan dan masyarakat adat mendesak agar PT BGA mencabut laporan mereka dan Polres Kobar segera melepas Aleng dkk. Selain itu, koalisi ini juga mendesak PT BGA berhenti melakukan kriminalisasi dan mengembalikan serta mengakui hak rakyat di Desa Kinjil atas tanah mereka.

Koalisi juga menuntut pengurus negara untuk segera melakukan evaluasi terhadap izin anak perusahaan Harita Grup ini. Sebab selain melakukan aktivitas di luar izin konsesi, perusahaan ini juga diduga melakukan aktivitas ilegal dalam kawasan hutan seluas total 5.816 hektare.

Angka hektare tersebut berdasarkan dua surat keputusan (SK) yang dikeluarkan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) tentang Penetapan Data dan Informasi Kegiatan Usaha yang Telah Terbangun di dalam Kawasan Hutan Tahap I dan Tahap VIII.

Pada SK Tahap I (No SK.359/MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2021) anak perusahaan Harita Group itu beraktivitas di dalam kawasan hutan seluas 800 hektare, sedangkan pada SK Tahap VIII (SK Menteri LHK No SK.1077/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2022) seluas 5.026 hektare.

Manager Kampanye Hutan dan Kebun Walhi Nasional, sekaligus koordinator aksi solidaritas ini, Uli Arta Siagian, mengatakan mengkriminalisasi rakyat, melakukan aktivitas di luar izin HGU, melakukan aktivitas ilegal dalam kawasan hutan, dan memunculkan konflik agraria berkepanjangan, seharusnya fakta-fakta ini cukup untuk pengurus negara ini melakukan evaluasi terhadap izin PT BGA.

"Evaluasi ini tentunya harus diikuti dengan penegakan hukum dan pencabutan izin. Bukan hanya itu, sudah selayaknya juga perusahaan ini masuk dalam daftar hitam atau black list yang seharusnya tidak lagi diberikan izin konsesi,” kata Uli.