LIPUTAN KHUSUS:
Warga Pulau Obi Gelar Aksi di BEI Soal Perusakan Lingkungan NCKL
Penulis : Aryo Bhawono
Masyarakat Obi bersama Jatam, Enter Nusantara, dan Trend Asia, membagikan laporan jejak perusakan lingkungan dan pelanggaran kemanusiaan operasi NCKL di Kawasi, Pulau Obi, Halmahera Selatan, Maluku Utara.
Tambang
Kamis, 13 April 2023
Editor : Sandy Indra Pratama
BETAHITA.ID - Masyarakat Pulau Obi menggelar komunikasi langsung di kantor Bursa Efek Indonesia (BEI), Jakarta, saat PT Trimegah Bangun Persada Tbk (NCKL) melakukan penawaran saham perdana atau Initial Public Offering (IPO). Mereka menyerahkan laporan jejak perusakan lingkungan dan pelanggaran kemanusiaan operasi NCKL di Kawasi, Pulau Obi, Halmahera Selatan, Maluku Utara.
Masyarakat Pulau Obi menggelar aksi bersama Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Enter Nusantara, dan Trend Asia pada Rabu (12/4/2023). Mereka menyampaikan laporan jejak buruk NCKL kepada kepada para pialang, sebagai perantara publik dalam jual-beli saham terkait bahaya investasi di NCKL.
Anak perusahaan Harita Group itu memproyeksikan peningkatan kekayaan bersih dari 1,1 miliar dolar AS menjadi 4,6 miliar dolar AS dengan IPO ini.
NCKL merupakan anak usaha Harita Group yang mengoperasikan smelter pencucian asam bertekanan tinggi/High Pressure Acid Leaching (HPAL) pertama di Pulau Obi, Maluku Utara. Perusahaan ini memproduksi 60.000 ton nikel per tahun. Teknologi HPAL akan mengubah bijih kadar rendah lokal menjadi endapan hidroksida campuran, bentuk nikel yang dapat diproses lebih lanjut untuk membuat baterai.
Operasional perusahaan itu bersama perusahaan Harita Group lainnya telah merusak wilayah daratan dan lahan perkebunan warga, mencemari sumber air dan udara, hingga memicu konflik sosial akibat intimidasi dan kekerasan berulang terhadap warga. Perusahaan itu juga mencaplok lahan warga secara sepihak tanpa negosiasi dan ganti rugi yang adil.
Perusahaan Harita Group lainnya di Pulau Obi antara lain PT Gane Sentosa Permai, PT Halmahera Persada Lygend, PT Megah Surya Pertiwi, dan PT Halmahera Jaya Feronikel.
Sebelumnya Jatam menyusun laporan berjudul ‘Jejak Kotor Kendaraan Listrik: Jejak Kejahatan Lingkungan dan Kemanusiaan di Balik Gurita Bisnis Harita Gorup’ yang berisi mengenai perusakan lingkungan dan pelanggaran kemanusiaan.
“Lili Mangundap dan empat keluarga lain yang menjadi pemilik lahan di desa Kawasi dicaplok lahannya oleh perusahaan. Perusahaan dan pemerintah Kabupaten Halmahera Selatan pun berencana merelokasi warga Kawasi ke Perumahan Eco Village, lokasinya 5 kilometer ke arah selatan dari Kawasi. Bagi warga, relokasi ini tak hanya menyingkirkan mereka dari rumah, tetapi juga mencerabut nilai budaya dan historis warga. Tak hanya itu, warga juga tersingkir dari sumber kehidupan mereka seperti tanah, kebun, dan laut,” ujar Muhammad Jamil, Kepala Divisi Hukum JATAM Nasional.
Operasional Harita Group mengakibatkan pencemaran sumber air warga Kawasi dan sedimentasi ore nikel. Sebelum tambang ada, warga bisa mendapatkan air secara gratis, tapi kini harus mengeluarkan uang untuk mendapatkan air bersih.
Pencemaran ini tak hanya mencemari sungai namun juga laut. Air pesisir dan laut berubah warna menjadi keruh-kecoklatan. Ekosistem laut di Pulau Obi rusak akibat pipa limbah yang mengarah ke laut. Ikan-ikan yang selama ini dikonsumsi warga pun tercemar logam berat.
Aktivitas perusahaan juga dekat dengan pemukiman, sehingga warga berhadapan dengan debu, kebisingan, dan lingkungan yang kotor. Saat musim kemarau, peralatan dapur, meja makan, kursi, lantai, hingga dalam kamar penuh dengan debu dari aktivitas perusahaan dan debu batubara.
Informasi dari warga dan petugas di Polindes Kawasi, infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) adalah masalah kesehatan yang paling utama di Kawasi. Kebanyakan pasien adalah balita.
Tercatat ada 124 bayi berusia 0-1 tahun yang mendatangi Polindes sejak Januari hingga Desember 2021. Balita umur 1-5 tahun tercatat sebanyak 283, menyusul berikutnya adalah kelompok usia 20-44 tahun sebanyak 179 orang.
“Dengan segala kerusakan lingkungan dan sosial yang dibuat oleh Harita Group, perusahaan ini memiliki penjamin emisi yakni Credit Suisse Group, BNP Paribas, Citigroup, Mandiri Sekuritas, DBS, OCBS Securities, dan UOB Kay Hian. Enam penjamin emisi dari perusahaan Harita Group, kecuali Mandiri Sekuritas, merupakan anggota Net-Zero Banking Alliance. Kerjasama mereka dengan Harita Group ini tentu mencederai komitmen GFANZ itu sendiri dalam mendukung capaian target nol emisi dan transisi energi bersih yang berkeadilan,” kata Novita Indri pengampanye dari Trend Asia.
Sebelumnya, PT TBP menyanggah laporan dampak kerusakan lingkungan dan sosial di Pulau Obi. Dikutip dari Antara, Corporate Affairs Manager Harita Nickel, Anie Rahmi, menyebutkan sistem sistem operasional penambangan PT TBP, yang merupakan unit bisnis Harita Nickel, mengedepankan praktek penambangan terbaik dengan mengacu pada KEPMEN ESDM No 1827 Tahun 2018 tentang Pedoman Pelaksanaan Kaidah teknik Pertambangan yang Baik dan benar.
Semua tahapan mulai pembersihan lahan, pengupasan tanah pucuk, pemindahan tanah penutup, pengambilan bijih limonit untuk diolah pabrik HPAL dengan teknologi hidrometalurgi. Pengambilan bijih saprolit untuk diolah dengan teknologi pirometalurgi, penutupan lubang tambang hingga reklamasi serta revegetasi dilakukan dengan memperhatikan kaidah-kaidah pertambangan.
Seluruh area Harita Nickel di Pulau Obi saat ini berada dalam Kawasan Hutan, baik Hutan Produksi (HP) maupun Hutan Produksi Konversi (HPK). Perusahaannya telah memiliki Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH). Masyarakat yang telah menggarap, diberikan tali asih untuk lahan juga ganti rugi tanam tumbuh (GRTT) sesuai dengan keputusan Pemda Kabupaten Halmahera Selatan.
“Tidak benar apa yang dituduhkan bahwa perusahaan menguasai lahan melalui tindakan represif juga intimidasi ke warga, tetapi melalui proses yang transparan dan pembayaran yang menguntungkan bagi masyarakat,” ujarnya.
Ia menganggap pencemaran karena sedimentasi ore nikel dan operasi perusahaan yang ditudingkan Jatam keliru. Tidak ada pembuangan ore nikel ke sumber air warga Kawasi yang menyebabkan sedimentasi. PT TBP menempatkan sisa hasil pengolahan nikel ke lubang bekas penambangan (Dry Stack)sesuai metode yang aman.
Sisa hasil pengolahan tidak ditempatkan di Sungai Toduku maupun Sungai Akelamo, namun di lahan bekas tambang (mine out) dalam bentuk dry tailings sesuai dengan Persetujuan Teknis dan Surat Kelayakan Operasional (SLO) dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Pengelolaan limbah perusahaan juga mendapat inspeksi dan pengawasan berkala dari pemerintah pusat, provinsi, maupun kabupaten. Instansi pemerintah terkait lingkungan hidup dan pertambangan juga melakukan inspeksi dan pengawasan baik dari tingkat pusat, provinsi dan kabupaten atas kegiatan pelaksanaan pemantauan dan pengelolaan lingkungan hidup kami.