LIPUTAN KHUSUS:

Ketidaksetaraan Sosial Picu Krisis Air di Wilayah Perkotaan 


Penulis : Kennial Laia

Krisis air di wilayah perkotaan disebabkan oleh penggunaan air secara tidak berkelanjutan oleh kaum elit, yang umumnya digunakan untuk kesenangan pribadi seperti kolam renang dan tanaman.

Lingkungan

Jumat, 14 April 2023

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Studi terbaru mengungkap ketidaksetaraan sosial sebagai pemicu utama terjadinya krisis air di perkotaan. Ini melebih faktor lingkungan, seperti perubahan iklim atau pertumbuhan populasi. 

Penelitian tersebut diterbitkan dalam jurnal Nature Sustainability, Selasa, 11 April 2023. Para peneliti menemukan bahwa kaum elit atau orang kaya perkotaan mengonsumsi air secara berlebihan untuk kesenangan pribadi, seperti mengisi kolam renang, menyiram tanaman, atau mencuci mobil. 

Tim peneliti berfokus pada Cape Town, Afrika Selatan, di mana krisis air perkotaan berarti banyak orang kurang mampu hidup tanpa keran atau toilet dan menggunakan air yang terbatas untuk minum dan kebersihan. 

Studi tersebut juga menyoroti 80 kota lain dengan masalah serupa. Di antaranya London, Miami, Barcelona, Beijing, Tokyo, Melbourne, Istanbul, Kairo, Moskow, Bengaluru, Chennai, Jakarta, Sydney, Maputo , Harare, São Paulo, Kota Meksiko, dan Roma.

Warga mengantri bak air terisi di Hula Hula Springs, Marsabit County, Kenya. Mata air ini satu-satunya sumber air bagi seluruh komunitas di tengah kekeringan di Marsabit. Dok WHO/Billy Miaron

"Lebih dari 80 kota besar di seluruh dunia menderita kekurangan air karena kekeringan dan penggunaan air yang tidak berkelanjutan selama 20 tahun terakhir,” kata Profesor Hannah Cloke, ahli hidrologi di University of Reading yang ikut menulis penelitian tersebut, dikutip dari Phys.org

“Tetapi proyeksi kami menunjukkan krisis ini masih bisa menjadi lebih buruk karena kesenjangan antara si kaya dan si miskin melebar di banyak bagian dunia,” lanjutnya. 

"Ini menunjukkan hubungan erat antara ketidaksetaraan sosial, ekonomi dan lingkungan. Pada akhirnya, semua orang akan menanggung akibatnya kecuali kita mengembangkan cara yang lebih adil untuk berbagi air di perkotaan," tambah Cloke. 

Penelitian tersebut menggunakan model untuk menganalisis penggunaan air rumah tangga penduduk perkotaan di Cape Town untuk memahami bagaimana kelas sosial yang berbeda mengkonsumsi air.

Mereka mengidentifikasi lima kelompok sosial, mulai dari "elit" (orang yang tinggal di rumah luas dengan taman luas dan kolam renang) hingga "penghuni informal" (orang yang cenderung tinggal di gubuk di pinggir kota).

Rumah tangga elite dan berpenghasilan menengah ke atas berjumlah kurang dari 14% populasi Cape Town, tetapi menggunakan lebih dari setengah (51%) air yang dikonsumsi oleh seluruh kota. Sementara itu rumah tangga informal dan rumah tangga berpenghasilan rendah mencapai 62% dari populasi kota, tetapi hanya mengonsumsi 27% air Cape Town.

Saat ini, para peneliti menyoroti bahwa upaya untuk mengelola pasokan air di kota-kota yang kekurangan air kebanyakan berfokus pada solusi teknis, seperti membangun infrastruktur air yang lebih efisien. Strategi reaktif ini, yang berfokus pada pemeliharaan dan peningkatan pasokan air, tidak cukup dan kontraproduktif, saran tim peneliti. 

Sebaliknya, pendekatan yang lebih proaktif, yang ditujukan untuk mengurangi konsumsi air yang tidak berkelanjutan di kalangan elit, akan lebih efektif, saran mereka.