LIPUTAN KHUSUS:
Jatam Surati OJK soal Kerusakan Lingkungan Pulau Obi
Penulis : Aryo Bhawono
Surat Jatam dilayangkan terkait dengan rencana penawaran umum perdana (Initial Public Offering/IPO) oleh PT Trimegah Bangun Persada, anak perusahaan Harita Group.
Tambang
Selasa, 04 April 2023
Editor : Raden Ariyo Wicaksono
BETAHITA.ID - Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) menyurati Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bursa Efek Indonesia (BEI) terkait kerusakan lingkungan dan sosial atas operasi PT Trimegah Bangun Persada (TBP) di Kawasi, Pulau Obi, Halmahera Selatan, Maluku Utara. Laporan ini terkait dengan rencana penawaran umum perdana (Initial Public Offering/IPO) oleh PT TBP.
Surat Jatam itu memaparkan operasi PT TBP, bersama PT Gane Sentosa Permai, PT Halmahera Persada Lygend, PT Megah Surya Pertiwi, dan PT Halmahera Jaya Feronikel di Pulau Obi telah mengakibatkan kerusakan lingkungan, pencemaran udara, hingga memicu konflik sosial akibat intimidasi dan kekerasan terhadap warga. Seluruh perusahaan tersebut bernaung di bawah Harita Group.
Jatam menuliskan terdapat 10 poin dampak buruk operasi PT TBP. Catatan pelanggaran ini sebelumnya dimuat dalam laporan Jatam berjudul ‘Jalan Kotor Kendaraan Listrik: Jejak Kejahatan Lingkungan dan Kemanusiaan di Balik Gurita Bisnis Harita Group’.
Catatan ini diantaranya adalah pencaplokan lahan secara sepihak juga dilakukan oleh PT Trimegah Bangun Persada, bersama sejumlah perusahaan lainnya milik Harita Group, tanpa negosiasi dan ganti rugi yang adil. Lili Mangundap dan empat keluarga pemilik lahan di Desa Kawasi, Pulau Obi, misalnya, dipaksa menerima ganti rugi berdasarkan Surat Keputusan (SK) Bupati Halmahera Selatan Nomor 117 Tahun 2017.
SK itu mengatur harga untuk tanaman jambu dihargai Rp75.000 per pohon, tidak berbuah Rp 35.000, dan yang kecil atau anakan seharga Rp6.000 per pohon. Di luar jenis tanaman itu dianggap tidak bernilai secara ekonomis.
Seluruh sumber air warga Kawasi tercemar akibat sedimentasi ore nikel dari operasi perusahaan. Warga yang dulunya dapat menikmati air bersih gratis, kini harus membeli.
Pencemaran laut juga terjadi di wilayah tangkap nelayan di Kawasi, Pulau Obi. Limbah yang dibuang ke sungai-sungai dan mengalir ke laut menyebabkan pesisir dan laut berubah warna menjadi keruh-kecoklatan. Pipa-pipa pembuangan limbah dari aktivitas perusahaan mengarah ke laut, menyebabkan ekosistem dan ikan-ikan tercemar logam berat.
Penelitian yang dilakukan Muhammad Aris dalam jurnal “Heavy Metal (Ni, Fe) Concentration in Water and Histophathological of Marine Fish, in the Obi Island, Indonesia” (2020)12, polusi logam berat diperairan pulau Obi terakumulasi dalam fisiologi ikan-ikan. Logam yang mengontaminasi perairan laut bisa dimakan plankton, lalu plankton dimakan ikan kecil dan ikan besar
PLTU batubara yang menjadi penunjang operasi PT Trimegah Bangun Persada dan sejumlah perusahaan lainnya dibawah Harita Group, juga telah mencemari udara dan menyebabkan kesehatan warga terganggu. Jarak pembangkit ini dekat dengan pemukiman, sehingga debu, kebisingan, dan lingkungan yang kotor mesti dihadapi warga. Saat musim panas, peralatan dapur, meja makan, kursi, lantai, hingga dalam kamar penuh dengan debu dari aktivitas perusahaan dan debu batubara.
“Warga mengaku, hampir setiap hari ada anak-anak kecil dan dewasa yang dibawa ke fasilitas kesehatan desa yang, peralatan medisnya tidak lengkap,” tulis Koordinator Jatam Nasional, Melky Nahar, dalam pernyataan pers.
Para petugas di Pondok Bersalin Desa (Polindes) Kawasi mengaku jika infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) adalah masalah kesehatan paling utama di Kawasi. Kebanyakan pasien adalah balita. Tercatat ada 124 bayi berusia 0-1 tahun yang mendatangi Polindes sejak Januari hingga Desember 2021. Balita umur 1-5 tahun tercatat sebanyak 283, menyusul berikutnya adalah kelompok usia 20-44 tahun sebanyak 179 orang.
Menurutnya operasi PT Trimegah Bangun Persada tidak mematuhi prinsip-prinsip Environment, Social, dan Governance (ESG). Bahkan prinsip ini justru dilabrak.
Jika rencana IPO saham PT Trimegah Bangun Persada hendak diteruskan, maka pihak perusahaan harus menerbitkan pernyataan tertulis secara terbuka. Perusahaan ini harus memastikan infrastruktur ekologis pulau dan perairan pesisir tidak dirusak, terutama berkaitan dengan rencana pembuangan limbah cair di wilayah hutan pulau Obi.
Pernyataan ini penting untuk memberikan informasi kepada calon pembeli saham, bahwa investasi mereka pertaruhkan tidak masuk dalam kategori investasi ethical.
“Pelanjutan proses IPO akan secara langsung memicu percepatan kerusakan lingkungan hidup maupun nasib warga penghuni pulau, baik di daratan dan perairan pulau Obi, maupun di sekujur perairan laut Halmahera yang tidak mungkin bebas sepenuhnya dari pencemaran limbah pertambangan terbuka dan proses HPAL,” imbuhnya.
Jatam juga mengingatkan OJK dan BEI, sebagai regulator transaksi keuangan dan penyelenggara pasar modal dan keuangan tertinggi di Indonesia, turut bertanggung jawab atas risiko kerusakan ekologis dari investasi PT TBP di Pulau Obi.
Sebelumnya, PT TBP menyanggah laporan dampak kerusakan lingkungan dan sosial di Pulau Obi. Dikutip dari Antara, Corporate Affairs Manager Harita Nickel, Anie Rahmi, menyebutkan sistem sistem operasional penambangan PT TBP, yang merupakan unit bisnis Harita Nickel, mengedepankan praktek penambangan terbaik dengan mengacu pada KEPMEN ESDM No 1827 Tahun 2018 tentang Pedoman Pelaksanaan Kaidah teknik Pertambangan yang Baik dan benar.
Semua tahapan mulai pembersihan lahan, pengupasan tanah pucuk, pemindahan tanah penutup, pengambilan bijih limonit untuk diolah pabrik HPAL dengan teknologi hidrometalurgi. Pengambilan bijih saprolit untuk diolah dengan teknologi pirometalurgi, penutupan lubang tambang hingga reklamasi serta revegetasi dilakukan dengan memperhatikan kaidah-kaidah pertambangan.
Seluruh area Harita Nickel di Pulau Obi saat ini berada dalam Kawasan Hutan, baik Hutan Produksi (HP) maupun Hutan Produksi Konversi (HPK). Perusahaannya telah memiliki Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH). Masyarakat yang telah menggarap, diberikan tali asih untuk lahan juga ganti rugi tanam tumbuh (GRTT) sesuai dengan keputusan Pemda Kabupaten Halmahera Selatan.
“Tidak benar apa yang dituduhkan bahwa perusahaan menguasai lahan melalui tindakan represif juga intimidasi ke warga, tetapi melalui proses yang transparan dan pembayaran yang menguntungkan bagi masyarakat,” ujarnya.
Ia menganggap pencemaran karena sedimentasi ore nikel dan operasi perusahaan yang ditudingkan Jatam keliru. Tidak ada pembuangan ore nikel ke sumber air warga Kawasi yang menyebabkan sedimentasi. PT TBP menempatkan sisa hasil pengolahan nikel ke lubang bekas penambangan (Dry Stack)sesuai metode yang aman.
Sisa hasil pengolahan tidak ditempatkan di Sungai Toduku maupun Sungai Akelamo, namun di lahan bekas tambang (mine out) dalam bentuk dry tailings sesuai dengan Persetujuan Teknis dan Surat Kelayakan Operasional (SLO) dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Pengelolaan limbah perusahaan juga mendapat inspeksi dan pengawasan berkala dari pemerintah pusat, provinsi, maupun kabupaten. Instansi pemerintah terkait lingkungan hidup dan pertambangan juga melakukan inspeksi dan pengawasan baik dari tingkat pusat, provinsi dan kabupaten atas kegiatan pelaksanaan pemantauan dan pengelolaan lingkungan hidup kami.
Ia memastikan tidak ada pipa pembuangan limbah dari aktivitas eksplorasi perusahaan diduga mengarah ke laut. Menurutnya tudingan ini menyesatkan.
Terkait pemindahan pemukiman warga Desa Kawasi ke Eco-Vollage, menurutnya hal ini merupakan program pemerintah yang didukung oleh perusahaan. Lokasi desa itu terlalu padat dan tidak sehat. Pemindahan ke lokasi yang baru, dengan luas pemukiman tiga kali lipat. Semua unit rumah permanen dilengkapi sanitasi, kawasan sekolah, fasilitas sosial, fasilitas air bersih, listrik 24 jam, dan fasilitas umum pendukung lainnya.