LIPUTAN KHUSUS:
Nexus3: Popcorn Buatan AS Masuk ke Indonesia Mengandung PFAS
Penulis : Gilang Helindro
Nexus3 dan Pengujian independen terhadap produk popcorn yang dijual di AS dan Indonesia yang dilakukan oleh empat produsen utama di AS menemukan bahwa semua produk, 29 contoh, yang diuji mengandung PFAS. PFAS dikenal sebagai “forever chemicals” karena persisten di lingkungan dan mengancam kesehatan manusia.
Lingkungan
Selasa, 28 Maret 2023
Editor : Raden Ariyo Wicaksono
BETAHITA.ID - Sebuah laporan dirilis Nexus3 Foundation dan IPEN menunjukkan bahwa produk popcorn microwave dibuat di AS dan diekspor ke Indonesia mengandung PFAS.
PFAS sendiri merupakan singkatan dari per- and polyfluoroalkyl substances, sebuah substansi kimia oleophobic (antiminyak) dan hydrophobic (antiair). Karena sifatnya, substansi ini banyak dimanfaatkan dalam industri elektronik, otomotif, hingga kesehatan. PFAS bahkan banyak ditemukan di kehidupan sehari-hari. Salah satunya pada teflon dan microwave.
Jika memasuki manusia dan hewan, PFAS dapat menimbulkan beberapa gejala efek samping, di antaranya gangguan hormon tiroid dan kanker. Tang juga menjelaskan dalam presentasinya mengenai pergerakan PFAS.
Yuyun Ismawati, Senior Advisor Nexus3 di Indonesia, mengatakan Indonesia seharusnya tidak menjadi tempat pembuangan produk beracun dari AS. Pihak berwenang harus menghentikan impor popcorn microwave yang mengandung PFAS dan menerapkan peraturan untuk melarang zat beracun ini digunakan di Indonesia. “Orang Indonesia tahunya cara membuat popcorn di atas kompor,” katanya dalam keterangan resmi, Kamis 23 Maret 2023.
Pengujian independen terhadap produk popcorn yang dijual di AS dan Indonesia yang dilakukan oleh empat produsen utama di AS menemukan bahwa semua produk, 29 contoh, yang diuji mengandung PFAS. PFAS dikenal sebagai “forever chemicals” karena persisten di lingkungan dan mengancam kesehatan manusia.
Studi ini menggambarkan lemahnya peraturan federal tentang PFAS di AS serta ketidakpedulian perusahaan dapat mengakibatkan penyebaran PFAS dalam produk makanan ke negara lain seperti Indonesia. Tidak adanya peraturan PFAS di Indonesia memperburuk masalah, membuat penduduknya rentan terhadap produk yang mengandung PFAS.
Efek PFAS dikaitkan dengan gangguan imunologis, gangguan reproduksi, gangguan perkembangan, efek pada berat badan lahir, gangguan pertumbuhan, gangguan belajar, gangguan perilaku, dan ancaman lain terhadap kesehatan manusia. Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa kemasan popcorn microwave yang mengandung PFAS adalah sumber PFAS dalam tubuh, karena bahan kimia tersebut dapat berpindah dari kemasan ke dalam popcorn.
Laporan Nexus3-IPEN, “Bahaya Beracun dalam Popcorn Microwave” merinci pengujian produk dari perusahaan American Popcorn (merek Jolly Time), Ramsey Popcorn (merek Cousin Willie), Conagra (merek Act II), dan Preferred Popcorn. Semua produk yang dibeli di Indonesia diimpor dari produsen AS.
Merek Preferred Popcorn “Kettle Korn” yang dibeli di Indonesia hasil uji lab menunjukkan konsentrasi PFAS tertinggi. Di antara sampel dari AS, American Popcorn merek “Jolly Time Blast O Butter” mengandung konsentrasi PFAS tertinggi. Selain itu, PFOA juga ditemukan dalam produk Jolly Time untuk dijual di Indonesia padahal penggunaan PFOA dalam kemasan kontak makanan sudah dilarang secara global melalui Konvensi Stockholm.
Pada bulan Januari, IPEN dan jaringan Toxic-Free Future yang berbasis di AS juga melakukan survei pada keempat perusahaan tersebut mengkaji kebijakan mereka tentang PFAS. Dalam tanggapan yang dikirim melalui email, Conagra mengatakan bahwa “telah menghapus PFAS sejak tahun lalu dari kemasan yang digunakan untuk produk popcorn microwave ACT II di AS, dan mulai Maret 2023 tidak akan lagi menggunakan PFAS dalam kemasan untuk produk popcorn microwave yang dijual secara internasional di bawah merek ACT II.” Sedangkan tiga perusahaan lainnya tidak menanggapi email kami.
Dalam berkomitmen untuk menghilangkan PFAS, Conagra bergabung dengan perusahaan-perusahaan lain seperti Ahold Delhaize, Starbucks, McDonald’s, Burger King (RBI), Whole Foods Market, dan lainnya yang telah berkomitmen untuk menghilangkan PFAS dari kemasan makanan mereka.
“Pemerintah perlu mengatasi akar masalah ini yaitu dengan melarang produksi, penjualan, dan mengkategorikan penggunaan PFAS sebagai kelas sendiri, terutama untuk penggunaan yang tidak penting,” kata Jitka Straková, Peneliti Global dari IPEN.
Tiga bahan kimia PFAS — PFOS, PFOA, dan PFHxS — terdaftar dalam Konvensi Stockholm untuk pembatasan dan penghapusan global. Pada Februari 2023, Otoritas Bahan Kimia Uni Eropa (ECHA) merilis proposal yang menyerukan larangan sekitar 10.000 PFAS. ECHA mencatat bahwa PFAS yang tidak penting, termasuk yang digunakan untuk kemasan makanan, dapat dihapus terlebih dahulu.
Meskipun Indonesia adalah Pihak dalam Konvensi Stockholm, saat ini tidak ada peraturan pemerintah yang melarang PFAS dalam kemasan makanan. Menurut Badan Pusat Statistik, Indonesia mengimpor popcorn microwave senilai US$3 juta dari AS pada 2021.
Di AS, tidak adanya peraturan federal membuat beberapa negara bagian sedang mempertimbangkan atau telah mengadopsi pembatasan PFAS. Sebelas negara bagian AS telah mengesahkan undang-undang yang melarang PFAS dalam kemasan makanan, tetapi ini tidak menghentikan ekspor produk yang mengandung PFAS.
Pada tahun 2021, undang-undang bipartisan yang diperkenalkan di Kongres AS melarang PFAS secara nasional, namun, proposal tersebut gagal karena lobi perusahaan dan kurangnya dukungan Partai Republik.
PFAS ditemukan mencemari makanan subsisten pada populasi Pribumi Arktik dan sebuah studi oleh Alaska Community Action on Toxics (ACAT) menemukan PFAS di perairan sekitar Fairbanks dan Anchorage.
“Orang Alaska menderita efek buruk dari paparan bahan kimia beracun selamanya ini. Kami senang bahwa Senator Lisa Murkowski telah memperjuangkan undang-undang untuk mengakhiri penggunaan PFAS dalam kemasan makanan dan berharap dapat merayakan kemenangan tahun ini,” kata Pamela Miller, Direktur Eksekutif ACAT dan Co-Chair IPEN.
Pada 2018 dan 2019, jaringan Toxic-Free Future menerbitkan dan merilis investigasi PFAS dalam kemasan makanan di rantai toko kelontong. Pada tahun 2020, kampanye tersebut merilis studi lanjutan, Packaged in Pollution, menemukan hampir setengah dari sampel kemasan makanan dinyatakan positif mengandung fluor di atas tingkat skrining yang menunjukkan kemungkinan adanya PFAS, termasuk dalam kemasan McDonald’s Big Mac dan Burger King’s Whopper.