LIPUTAN KHUSUS:
Perdagangan Karbon Jadi Justifikasi bagi Pencemar Udara
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Penerapan perdagangan karbon sub sektor tenaga listrik ini hanya akan menjadi pembenaran bagi para penghasil emisi karbon alias pencemar udara.
Energi
Jumat, 17 Maret 2023
Editor : Sandy Indra Pratama
BETAHITA.ID - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah menetapkan sebanyak 99 Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara milik 42 perusahaan dapat ikut melakukan perdagangan karbon di 2023. Namun di mata pengamat energi, penerapan perdagangan karbon sub sektor tenaga listrik ini hanya akan menjadi pembenaran bagi para penghasil emisi karbon alias pencemar udara.
Global Campaign Strategist, Greenpeace International, Tata Mustasya, menilai kebijakan perdagangan karbon sub sektor PLTU yang diterapkan Pemerintah Indonesia ini sama sekali bukan solusi bagi pencapaian Net Zero Emission dan menurunkan Emisi Gas Rumah Kaca (GRK). Karena justru hanya akan menjadi justifikasi atau pembenaran bagi pencemar atau penghasil emisi untuk terus mengeluarkan emisi karbon.
"Walaupun belum ditetapkan, harga per ton emisi secara alamiah akan jauh berada di bawah ongkos dan dampak polusi dari batu bara, di antaranya dalam bentuk krisis iklim dan dampak kesehatan," kata Tata, Rabu (15/3/2023).
Lebih lanjut Tata mengatakan, disinsentif terhadap penghasil emisi, seperti PLTU batu bara, seharusnya tidak dilakukan secara voluntary atau sukarela, dan tidak dilakukan melalui mekanisme pasar karbon. Mestinya, kata Tata, yang dilakukan pemerintah adalah menerapkan pajak karbon.
Namun sayangnya, lanjut Tata, penerapan pajak karbon di Indonesia sampai sekarang masih tertunda. Pemerintah beralasan penerapan pajak karbon tidak tepat waktunya, karena adanya ancaman resesi global dan dapat mengganggu perekonomian.
Tata berpendapat, penerapan pajak karbon seharusnya bisa mulai diterapkan dari PLTU batu bara, dengan cap yang ketat dan nilai pajak yang mampu memberikan disinsentif, dengan kenaikan nilai secara bertahap.
"Disinsentif ini harus diterapkan oleh pemerintah, salah satunya melalui pajak karbon, untuk mempercepat shift dari energi fosil seperti batu bara ke energi bersih dan terbarukan," ujar Tata.
Kebijakan perdagangan karbon pada sektor ketenagalistrikan untuk PLTU ini lebih lanjut diatur melalui Peraturan Menteri ESDM Nomor 16 tahun 2022 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon Sub Sektor Pembangkit Tenaga Listrik.
Peraturan ini menyebutkan ada 99 PLTU yang bisa ikut dalam perdagangan karbon tahun ini. 99 PLTU ini terdiri dari 85 unit PLTU non Mulut Tambang dan 14 unit PLTU Mulut Tambang. Dilihat dari jenis teknologi yang digunakan, terdiri dari 7 unit ultra supercritical, 5 unit supercritical, 59 uni subcritical pulvelrized coal combution, dan 28 unit subcritical fluidized.
Sebelumnya, Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Jisman Parada Hutajulu mengungkapkan, Kementerian ESDM sudah menetapkan sebanyak 42 perusahaan dengan 99 PLTU dapat melakukan perdagangan karbon tahun ini. Kemudian untuk setiap pembangkit juga menerbitkan persetujuan teknis batas emisi pelaku usaha.
"Saat ini sudah terbit SK Menteri untuk 99 PLTU dari 42 perusahaan selanjutnya dapat diketahui surplus atau defisit, dan selisih tersebut yang diperdagangkan sesama PLTU. Itulah yang disebut dengan perdagangan karbon," kata Jisman Parada Hutajulu, dalam keterangan resminya, Selasa (14/3/2023).
Namun Jisman menyebut belum ada harga pasti dari perdagangan karbon yang dilakukan oleh 99 PLTU yang telah ditentukan. Penetapan harga untuk perdagangan karbon dalam rentang harga US$2 sampai dengan USD18 per ton emisi karbon.
Nantinya harga dari perdagangan emisi karbon akan ditetapkan oleh Kementerian Keuangan. Saat ini, Kementerian ESDM bersama Kementerian Keuangan masih mengkaji terkait harga perdagangan karbon.
"Jadi memang belum ada penetapan dari pemerintah yang selanjutnya akan dikeluarkan oleh Kementerian Keuangan. Sesuai dengan semacam studi kajian bahwa harga karbon itu di Indonesia itu antara US$2 sampai US$18 per ton. Sampai saat ini, harga perdagangan karbon ditentukan dari kesepakatan antara PLTU yang melakukan jual beli karbon," ujar Jisman.
Untuk diketahui, Pemerintah juga telah menetapkan nilai Persetujuan Teknis Batas Atas Emisi Pelaku Usaha (PTBAE-PU). Namun PTBAE-PU ini hanya berlaku untuk PLTU batu bara yang terdiri dari empat kategori.
Pertama PLTU Mulut Tambang/PLTU non Mulut Tambang dengan kapasitas terpasang lebih dari atau sama 25 MW-kurang dari 100 MW. Kedua, PLTU Mulut Tambang dengan kapasitas terpasang lebih dari atau sama dengan 100 MW.
Ketiga, PLTU non Mulut Tambang dengan kapasitas terpasang lebih dari atau sama dengan 100 MW sampai dengan sama atau kurang dari 400 MW. Keempat, PLTU non Mulut Tambang dengan kapasitas terpasang lebih dari 400 MW.
Sementara itu, PTBAE untuk PLTU di luar wilayah usaha PLN atau untuk kepentingan sendiri akan ditetapkan paling lambat pada 31 Desember 2024. Adapun pada 2023 ini, pemerintah setidaknya telah menetapkan nilai PTBAE-PU kepada 99 unit PLTU batu bara dari 42 perusahaan yang akan menjadi peserta perdagangan karbon dengan total kapasitas terpasang mencapai 33.569 MW.
Dalam program Energy Corner Squawk Box di stasiun TV CNBC Indonesia, Senin (13/03/2023) kemarin, Jisman mengungkapkan, pembagian 99 unit PLTU batu bara dari 42 perusahaan tersebut adalah 55 unit PLTU dari PLN Group dan 44 unit PLTU dari Independent Power Producer (IPP).
"99 Pembangkit yang mengikuti perdagangan karbon pada 2023 ini adalah PLTU di atas 100 MW. Pada 2024 di atas 50 MW PLTU-nya kita masukkan lagi. Nah, di 2025 semua pembangkit akan ikut dalam pasar karbon baik PLTGU maupun PLTG," ungkap Jisman.
Lebih lanjut Jisman menjelaskan, target pengurangan emisi CO2 sektor energi Indonesia sebesar 358 juta ton CO2e atau 12,5% dengan kemampuan sendiri, dan 446 juta ton CO2e atau 15,5% dengan bantuan internasional dari skenario Business as Usual (BAU) pada 2030.
Menurut Jisman, untuk dapat mencapai target pengurangan emisi Gas Rumah Kaca tersebut, diperlukan juga peranan dari non-party stakeholder (NSP) sehingga penurunan emisi CO2 tidak hanya dilakukan oleh pemerintah.
"Instrumen yang dapat menarik minat dari NPS dalam mengurangi emisi GRK adalah melalui perdagangan karbon,” jelas Jisman.
Pelaksanaan perdagangan karbon saat ini disebut Jisman dilakukan melalui perdagangan langsung antar pelaku usaha yang berpartisipasi pada perdagangan karbon, baik melalui mekanisme perdagangan emisi maupun offset emisi GRK.
“Harga karbon bisa ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara peserta perdagangan karbon, sehingga dapat dikatakan harga karbon adalah mengikuti dengan harga pasar. Walaupun belum dibentuknya bursa karbon dan penetapan harga, pelaku usaha tetap dapat melakukan perdagangan karbon secara langsung (Business to Business) antar unit pembangkit tenaga listrik,” kata Jisman.
Ke depannya, secara bertahap perdagangan karbon di sub sektor pembangkit tenaga listrik pada fase kedua dan ketiga akan diterapkan pada pembangkit listrik fosil selain PLTU batu bara dan tidak hanya yang terhubung ke jaringan PT PLN (Persero).