LIPUTAN KHUSUS:
Beban Ganda Polusi di Rusun Marunda
Penulis : Kennial Laia
Pencemaran udara karena debu batu bara di Marunda masih terjadi. Selain beban kesehatan, kelompok perempuan, terutama ibu rumah tangga mengalami beban ganda. Pekerjaan rumah tangga bertambah, penghasilan hilang, hingga kesehatan mental.
SOROT
Jumat, 10 Maret 2023
Editor : Sandy Indra Pratama
BETAHITA.ID - Detty Revolyatuti (63) masih merasakan sakit di bagian tengah perutnya. Sudah empat bulan sejak dia menjalani operasi di sebuah rumah sakit di Jakarta Utara. Perempuan kelahiran Banjarmasin ini didiagnosis menderita hernia umbilikalis pada Juli 2022.
Kondisi ini terjadi ketika bagian dari usus menonjol melalui lubang di otot perut di dekat pusar. Selain itu, Detty juga memiliki flek putih di paru-paru saat melakukan rontgen tahun lalu.
“Bekas operasinya masih terasa sakit, dan gerakan saya jadi terbatas. Nggak boleh kerja atau mengangkat yang berat-berat,” kata Detty seraya menunjuk bekas operasinya saat ditemui Betahita di kediamannya di Cilincing, Jakarta Utara, Desember lalu.
Dari penjelasan medis yang ia terima, Detty mengatakan penyakit yang dideritanya itu disebabkan karena dia terlalu sering menahan batuk. Sebelum berobat, dia memang sering mengalami sesak dan batuk selama tujuh bulan. Keluhan itu dimulai pada November 2021, saat pencemaran debu batubara intens di Rusunawa Marunda.
Detty tinggal di lantai satu Blok D3 Rusunawa Marunda, Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara. Detty pindah ke rusunawa tersebut pada 2017 saat direlokasi dari Kampung Bandan, Ancol, Jakarta Utara.
Rusunawa Marunda memang terletak tak jauh dari kawasan industri PT Kawasan Berikat Nusantara yang terletak di Jalan Raya Cakung-Cilincing. Terdapat 104 pelanggan pengolahan (produsen), 15 perusahaan pergudangan, dan 34 usaha jasa lainnya yang beroperasi di kawasan seluas 176,6 hektare ini.
Pada Juni 2022, pemerintah DKI Jakarta mencabut izin PT Karya Citra Nusantara (KCN) karena tidak menjalankan sanksi administratif. Perusahaan bongkar muat batu bara dan pasir ini terbukti melakukan pencemaran lingkungan hidup dalam kegiatan usahanya, yang berujung pada polusi debu batu bara di pemukiman warga di Marunda.
Namun meski PT KCN telah berhenti beroperasi, pencemaran debu batu bara kembali mengotori rumah warga. Detty, yang kini tengah menjalani pemulihan 12 bulan ke depan, khawatir dengan kondisi itu.
“Sejak bulan September sampai saat ini, debu (batu bara) mulai terasa lagi. Saya takut, karena kalau batuk, akan kena di bekas operasi hernia ini. Jadi sekarang batuk sedikit saja saya cepat-cepat beli obat,” ungkap Detty.
Aktivitas industri tampak dari Rusunawa Marunda Blok D, Cilincing, Jakarta Utara. Dok Kennial Laia/Betahita
Sundari, yang tinggal di lantai tiga Blok D, memiliki riwayat asma. Dia mengaku dua tahun terakhir, penyakitnya itu memburuk. Ndari, nama panggilannya, lebih sering sesak dan batuk. Intensitasnya meningkat ketika debu batu bara sedang tinggi di area rusunawa.
Perempuan kelahiran 1978 ini mengaku, sebagai ibu rumah tangga, dia beraktivitas seharian di rumah maupun di sekitar wilayah rusunawa. Ndari kerap merasakan gatal di sekujur tubuhnya. “Debu yang sekarang itu rasanya tajam dan gatal banget di kulit, dan baunya sangit, seperti bau pembakaran,” tuturnya.
Betahita mewawancarai 10 perempuan lainnya, seluruhnya ibu rumah tangga, yang tinggal di Rusunawa Marunda. Rata-rata mengeluh gatal-gatal dan sakit kepala. Banyak dari mereka menunjukkan berbagai titik hitam dan luka di kaki dan tangannya akibat gatal dan digaruk.
Menurut Ketua Forum Masyarakat Rusun Marunda (FMRM) Didi Suwandi, pencemaran debu batu bara masih terjadi hingga Februari 2023. Saat polusi sedang tebal, warga sering mengeluh batuk, gatal, dan sesak, mulai dari lansia, dewasa, hingga anak-anak.
Pada 9 - 11 Januari 2023, sebanyak 100 warga menjalani pemeriksaan oleh petugas kesehatan dari Puskesmas Cilincing. Hasilnya, terdapat 63 orang gatal-gatal, 16 orang batuk pilek, 8 orang darah tinggi, 3 orang sakit kepala, dan 6 orang mengeluh sakit mata maupun sakit badan. Terdapat pula 2 orang sakit campak dan 2 dengan keluhan pencernaan.
“Kondisi warga yang mengalami gatal-gatal sudah banyak, yang batuk dan sesak juga banyak. Nah, kita kan nggak tahu dalam 10-15 tahun seperti apa. Apalagi tidak semua warga melapor, karena masih merasa sehat-sehat saja,” kata Didi.
Peta situasu Rusunawa Marunda dan sekitarnya. Infografik Betahita
***
Prof Budi Haryanto, Guru Besar Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, mengatakan pencemaran udara memiliki dampak jangka pendek pada kesehatan, termasuk batuk dan iritasi kulit. Namun, jika terpapar terus-menerus dalam jangka panjang, efeknya bisa mematikan. Penyakit yang diderita bisa termasuk jantung, kanker paru-paru, dan penyakit kronis lainnya.
Menurut Prof Budi, masyarakat yang tinggal di wilayah dengan tingkat pencemaran tinggi seperti Marunda lebih rentan terhadap dampak pencemaran tambahan. Jenis penyakitnya juga bisa bertambah, tergantung sumber polutan. Batu bara, misalnya, mengandung logam berat seperti timbal dan merkuri.
“Yang lebih berbahaya itu kan yang terhirup ke dalam paru-paru, seperti PM2.5. Ini akan manifest menjadi penyakit kronis seperti jantung,” kata Budi.
Menurut Dr Puji Lestari, dosen teknik lingkungan dan Ketua Kelompok Keahlian Pengelolaan Udara dan Limbah Institut Teknologi Bandung (ITB), jarak antara Rusunawa Marunda dan kawasan industri KBN hanya 1 kilometer jika ditarik garis lurus. Dekatnya wilayah ini menjadi faktor utama mengapa masyarakat Marunda terpapar polusi debu batu bara.
“Secara spesifik Marunda bersebelahan dengan sumber pencemaran yang tinggi, dan ini memungkinkan bahwa (kualitas udara) bisa jadi lebih buruk dari daerah lainnya. Ini karena ada specific issue. Jika kondisi meteorologi mendukung, bisa jadi lebih buruk atau lebih parah,” jelas Dr Puji kepada Betahita.
Telapak kaki anak-anak di Marunda hitam karena debu batu bara. Dok Kennial Laia/Betahita
Sebuah penelitian menyebut tiga sumber utama pencemaran udara di Jakarta, yakni transportasi darat, industri manufaktur, dan pembangkit listrik. Cilincing, Jakarta Utara sendiri memiliki jumlah perusahaan terbanyak setelah Jakarta Barat, yakni 439 perusahaan. Tidak hanya itu, wilayah ini memiliki PLTGU Muara Karang-Pluit dengan kapasitas 2.100 MW dan PLTGU Tanjung Priok berkapasitas 2.723 MW.
Kondisi ini, kata Dr Puji, menjadikan Marunda mengalami beban ganda polusi udara, karena menerima sumber polutan dari transportasi sekaligus industri manufaktur maupun sektor energi (pembangkit listrik).
Dr Puji mengatakan, dari segi fisik, abu terbang batu bara berbentuk sangat runcing. Bentuk ini berbahaya karena dapat menyebabkan abrasif jika masuk ke dalam paru-paru. Disamping partikel halus, komposisi kimiawinya juga kemungkinan mengandung logam berat seperti timbal dan merkuri.
“Yang paling penting untuk dilihat adalah konsentrasinya, seperti PM2.5. Apakah cukup tinggi sehingga melewati baku mutu yang dicanangkan pemerintah? Jika lebih dari itu, memang sudah harus berhati-hati karena sudah melewati baku mutu udara ambien di Indonesia,” jelasnya.
Partikulat (PM2.5) adalah partikel udara berukuran lebih kecil dari 2.5 mikron. Karena ukurannya sangat halus, polutan ini mampu menembus jaringan paru-paru dan pembuluh darah. Saat terpapar dalam jangka waktu lama, polutan ini meningkatkan risiko kematian melalui stroke, penyakit jantung iskemik, kanker paru-paru, asma, penyakit paru-paru, infeksi saluran pernapasan bawah, penyakit paru obstruktif kronik (PPOK), hingga diabetes melitus tipe 2.
Menurut data World Resources Institute (WRI) Indonesia, kematian akibat paparan terus-menerus dengan pencemaran udara PM2.5 juga meningkatkan jumlah kematian, khususnya pada kelompok lansia dengan rata-rata 3.840 orang per tahun di Indonesia. Harapan hidup orang-orang di Jakarta juga berkurang 4,54 akibat paparan PM2.5 secara terus-menerus.
Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 menetapkan batas aman kualitas udara untuk PM2.5 harian di level 55 µg/m3 dan tahunan 15 µg/m3. Angka ini jauh dari standar panduan WHO di 15 µg/m3 (harian) dan 5 µg/m3 (tahunan).
Kualitas udara Jakarta sering melewati kedua ambang batas ini. Pada 15 Juni 2022, misalnya, konsentrasi PM2.5 di Jakarta masuk dalam kategori tidak sehat, yakni 148 µg/m3. Kemudian pada 1 September, Dinas Lingkungan Hidup (DLH) DKI Jakarta mencatat PM2.5 berada di 130 µg/m3.
Data DLH DKI Jakarta menunjukkan bahwa selama tiga tahun terakhir (2019-2021) rata-rata PM2.5 melebihi ambang batas tahunan yang diatur pemerintah pusat yakni >15 ug/m3.
Secara khusus PM2.5 di stasiun pemantau kualitas udara (SPKU) Kelapa Gading, Jakarta Utara mencatat pada 2019 tertinggi yakni 43.32 µg/m3. Pada 2020 angka ini menurun menjadi 33.38 µg/m3, lalu naik menjadi 37.27 µg/m3 pada 2020 atau mengalami peningkatan sebesar 11.66%.
Jika didasarkan pada kedua standar ambang batas tersebut, pencemaran PM2.5 di wilayah Marunda sangat tinggi. Merujuk pada data Ventusky, aplikasi web real-time yang fokus memantau prakiraan cuaca dan visualisasi data meteorologi asal Republik Ceko, mencatat parameter PM2.5 di Marunda, Jakarta Utara, pada 1-9 Februari masuk dalam kategori sangat tidak sehat, rata-rata di atas 200 µg/m3 pada pukul 1 - 4 pagi.
Seorang warga menunjukkan telapak tangannya yang hitam oleh debu batu bara usai memeriksa jaring penyaring debu di Rusunawa Marunda. Dok Kennial Laia/Betahita
Parameter PM2.5 paling tinggi tercatat pada 9 Februari, yakni 490 µg/m3. Sedangkan parameter PM2.5 paling rendah terjadi pada 6 Februari, yakni 53 µg/m3 pada jam yang sama.
Ketua Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) Dr Agus Dwi Sutanto mengatakan, terpapar debu batu bara dengan kandungan partikel halus PM10 dan PM2.5 dalam jangka panjang menurunkan kualitas hidup manusia. Penyakit yang ditimbulkan pun berbahaya dan mematikan, antara lain penurunan fungsi paru, risiko bronkitis kronik, kanker paru, dan jantung.
“Dari 300 kasus kanker paru yang dirawat di RS Persahabatan pada 2012-2013, sebanyak 4% itu terkait dengan polusi udara,” kata Dr Agus, yang juga merupakan direktur utama rumah sakit tersebut.
Ada pula risiko black lung disease atau pneumokoniosis. Penyakit ini sering timbul pada pekerja tambang batu bara, dimana penderita mengalami kelainan akibat penumpukan debu batu bara dalam paru karena menghirup debu batu bara terus-menerus selama 20-30 tahun.
“Masyarakat yang tinggal di sekitar wilayah industri (dengan paparan debu batu bara) memiliki risiko yang sama. Namun, untuk kasus di Jakarta, hingga saat ini belum ada datanya karena belum ada studi spesifik terkait hal tersebut,” ujar Dr Agus.
Perempuan memiliki risiko penyakit tambahan karena memiliki sistem reproduksi yang berbeda. Menurut Prof Budi, paparan PM2.5 juga bisa menembus hingga janin. Ketika hal ini terjadi, janin bisa mengalami keracunan.
“Dampaknya bisa aborsi ataupun kesulitan dalam melahirkan, bisa meninggal, atau melahirkan dengan bayi lebih rendah. Jika bayi selamat, maka ada risiko autisme,” jelas Prof Budi.
Hubungan pencemaran udara dan gangguan pada sistem reproduksi perempuan telah dipelajari dalam beberapa studi. Riset pada 2019 yang dilakukan di Beijing, misalnya, menemukan bahwa pencemaran udara dengan konsentrasi tinggi dapat meningkatkan risiko keguguran, janin meninggal pada trimester pertama, prematur, berat badan bayi yang rendah, dan risiko kesehatan lainnya bagi perempuan hamil.
Beban ganda puan karena polusi udara
Bagi perempuan di Rusunawa Marunda, dampak polusi udara tidak berhenti pada kesehatan semata. Ketika debu batu bara sedang parah-parahnya, mereka harus berjibaku membersihkan rumah.
Dalam sehari, Desi Natalia Sianturi bisa menyapu dan mengepel lima hingga enam kali. Saat mencuci pakaian, perempuan 33 tahun ini juga dirayapi cemas dan buru-buru ingin mengangkat jemuran.
“Pokoknya saya cuma ingin cucian itu digantung semalam saja di balkon. Lebih dari itu, debu batu bara bisa menempel. Kalau digosok, makin lengket dan akan gatal ketika dipakai. Jadi saya harus mencuci lagi,” kata Desi.
Desi mengaku pencemaran udara memengaruhi kesehatan mentalnya. Dia sering merasa kesal dan frustrasi dengan kondisi kehidupan di Rusunawa Marunda. Sebagai ibu rumah tangga, pekerjaan rumah tangga adalah hal biasa. Namun, kini tugas domestik itu menjadi jauh lebih melelahkan dan menguras batin. Apalagi dia sering merasakan gatal di seluruh kulitnya.
Sundari, ibu rumah tangga di Rusunawa Marunda, Jakarta Utara. Dia mengeluh beban pekerjaan sehari-hari bertambah karena polusi debu batu bara. Dok Kennial Laia/Betahita
Ndari merasakan hal yang sama. Karena lebih sering mengepel, pengeluaran rumah tangga menjadi lebih bertambah untuk membeli deterjen dan perlengkapan pel. “Dulu dua botol cairan pel cukup untuk sebulan. Sekarang dalam dua minggu sudah habis,” tuturnya.
Bagi Eni, warga yang direlokasi dari Kampung Lodan, Ancol, ada kerugian ekonomi selain dampak kesehatan yang dialami seperti batuk-batuk dan gatal-gatal. Di tempat tinggal yang lama, Eni berjualan nasi goreng. Dalam sehari, keuntungannya bisa mencapai Rp 300.000 - Rp 500.000.
Ketika pencemaran debu batu bara semakin parah di Marunda, Eni terpaksa berhenti berjualan. Kini peralatan masaknya dibiarkan parkir di depan rumahnya. “ Sejak saya tahu kalau debu warna hitam itu batu bara, saya berhenti jualan. Banyak juga pembeli memberi tahu kalau nasinya kadang hitam. Penghasilan saya hilang,” tuturnya.
Peneliti Gender World Resources Indonesia (WRI) Cynthia Maharani mengatakan, pencemaran udara sangat erat dengan kehidupan perempuan. Menurutnya, gender role for care adalah salah satu elemen kultural yang membuat dampak polusi udara ditanggung berbeda oleh laki-laki dan perempuan. Pekerjaan rumah tangga yang berhubungan dengan ‘mengurus’ biasanya lebih banyak disematkan ke perempuan, tak terkecuali merawat anggota keluarga yang sakit, terutama anak-anak.
“Beban dan tanggungan menjadi berlipat, apalagi jika digabungkan dengan kerja domestik lain seperti memasak dan bersih-bersih yang secara kultural masih menjadi ranah perempuan,” kata Cynthia.
“Hal ini memperburuk kesenjangan gender dan dapat pula berdampak pada bertambahnya kerja yang harus mereka lakukan padahal mereka juga ‘penyintas’ dari kualitas udara yang buruk,” tambahnya.
Menurut Cynthia, ibu rumah tangga pada umumnya banyak beraktivitas di area pemukiman. Dalam konteks wilayah Rusunawa Marunda, keterpaparan terhadap debu dari batu bara diperkirakan akan lebih tinggi. Selain menimbulkan rasa lelah untuk membersihkan endapan debu, ibu rumah tangga secara mental juga akan terdampak akibat rasa khawatir yang berlebihan akan debu-debu tersebut terhirup oleh anggota keluarga lainnya.
Banyak perempuan di Marunda merupakan ibu rumah tangga, yang beraktivitas di dalam maupun luar rumah. Ini membuat mereka rentan terhadap polutan debu batu bara. Dok Kennial Laia/Betahita
Didi mengatakan pihaknya telah menyampaikan keluhan dan beraudiensi dengan pemerintah, termasuk Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta.
“Kami meminta pemerintah untuk segera melakukan investigasi penyebab pencemaran udara di Marunda, serta melakukan monitoring ketat dan pembinaan terhadap perusahaan,” kata Didi.
“Kami juga berharap membuat skema atau aturan agar pencemaran tidak terjadi lagi,” ungkap Didi.
Dr Puji mengatakan pemerintah harus tegas dalam memutus rantai penyebab polutan debu batu bara di Marunda dengan langkah pencegahan. “Perusahaan wajib melakukan pengendalian pencemaran dan harus memenuhi baku mutu udara yang ada. Sebab, masyarakat lah yang paling dirugikan,” katanya.
Dr Agus mendorong masyarakat untuk selalu memakai masker saat konsentrasi pencemaran udara sedang tinggi. “Selain itu harus ada regulasi yang mengatur terkait pengelolaan batu bara dan mitigasinya seperti apa,” katanya.
Polusi udara seringkali disebut sebagai pembunuh senyap, yang mengklaim sekitar 7 juta nyawa di seluruh dunia. Di Marunda, warga bisa melihat wujudnya dan merasakannya di tenggorokan, kulit, dan mata. Dalam kasus Detty, dampak pencemaran debu batu bara itu telah membawanya ke meja operasi. Meski khawatir penyakitnya kambuh lagi, Detty tidak memiliki rencana untuk pindah, seperti banyak warga lainnya.
“Mau pindah ke mana dek? Ini rumah saya satu-satunya. Saya cuma berharap ya kita diperhatiin (pemerintah). Kita semua kan cuma pengen lingkungan bersih dan udara yang sehat.”
Liputan ini diproduksi dengan dukungan dari Internews’ Earth Journalism Network melalui program Clean Air Catalyst (Catalyst), yang merupakan program unggulan yang diluncurkan oleh U.S Agency for International Development (USAID) dan dipimpin oleh kemitraan global berbagai organisasi termasuk World Resources Institute dan Environmental Defense Fund dan Internews.