LIPUTAN KHUSUS:
Walhi Jatim: Sampah Tanggung Jawab Siapa?
Penulis : Gilang Helindro
Peringatan Hari Peduli Sampah Nasional 2023, Walhi Jatim bersama anggota SLH Saunggalih Universitas Yudharta Pasuruan lakukan brand audit di Pesisir Kenjeran.
Sampah
Kamis, 02 Maret 2023
Editor : Raden Ariyo Wicaksono
BETAHITA.ID - Pada peringatan Hari Peduli Sampah Nasional 2023, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Timur (Jatim) bersama anggota SLH Saunggalih Universitas Yudharta Pasuruan lakukan brand audit di Pesisir Kenjeran, Surabaya.
Menurut Walhi Jatim, problem sampah merupakan satu dari ancaman yang kini tengah mengancam keberlangsungan planet. Sejarah peradaban ditandai dengan kebangkitan teknologi yang turut mendorong transformasi ekonomi turut mengubah apa yang dikonsumsi manusia dan yang sisakan setelahnya.
Merujuk pada data timbulan sampah KLHK 2022 (SIPN), dalam setahun Jatim telah memproduksi sekitar 1.487.812,44 ton dengan rata-rata harian 4.076 ton. Pada situs KLHK tercatat hanya pada 10 Kabupaten/kota, di antaranya Pacitan, Lumajang, Mojokerto, Jombang, Bojonegoro, Tuban, Lamongan, Pamekasan, Malang dan Madiun.
Sementara yang lainnya tidak tercatat. Padahal Kota Surabaya misalnya, produksi sampah setiap harinya dapat mencapai 1.500 sampai 1.900 ton. Tentu, rata-rata timbulan sampah baik tahunan maupun harian kemungkinan bisa lebih dari 4 juta ton per tahun dan lebih dari 11 ribu ton per harinya.
Walhi Jatim mendengar banyak Tempat Pembuangan Akhir (TPA) hingga Tempat Pembuangan Sementara (TPS) yang kelebihan kapasitas. Bahkan pada beberapa wilayah dikabarkan mengganggu kehidupan warga sekitar.
Sebagai contoh seperti yang dialami oleh warga Tlekung dan Junrejo Kota Batu. Lalu ada warga Kecamatan Tutur, Kabupaten Pasuruan, terakhir warga di sekitar TPA Segawe Tulungagung juga mengalami nasib serupa. Mereka sempat protes mengenai keberadaan TPA yang menyisakan bau tak sedap dan ancaman-ancaman lainnya.
Direktur Eksekutif Daerah Walhi Jatim, Wahyu Eka Setyawan menjelaskan, problem sampah sekarang bukan hanya monopoli kota besar atau madya, tapi persoalan yang luas dan mulai memasuki ruang kampung. Artinya umat manusia sedang berada dalam keadaan yang boleh dibilang darurat sampah.
"Karena lambat laun di setiap titik timbulan sampah, baik organik maupun anorganik hingga B3 memenuhi ruang kehidupan. Bukan tidak mungkin pada masa yang akan datang kita akan hidup beralaskan sampah, sebab tanah-tanah telah tertutupi," katanya saat dihubungi 21 Februari 2023.
Wahyu menambahkan, penyebab banjir itu banyak faktor, yang dominan adalah persoalan hilangnya ruang resapan dan tangkapan air, salah satunya sampah, mengapa menyebabkan karena menyumbat aliran air.
"Tapi penekanannya sampah ini problem yang tidak hanya soal banjir, tetapi banyak, termasuk mempengaruhi keberlanjutan ekosistem sampai kesehatan," katanya.
Sampah Menggurita, Produsen Harus Bertanggung Jawab
Selain ancaman perubahan iklim kata Wahyu, pada beberapa titik laut seakan-akan menjadi tempat sampah bersama, kami menemui banyak sampah yang berceceran dan menumpuk. Bahkan pemandangan itu kami juga temui pada wilayah Pantai Ria Kenjeran yang masih menjadi destinasi wisata sebagian kecil warga untuk menghabiskan waktu bersama keluarga tercintanya.
"Sampah menumpuk seakan-akan adalah sebuah instalasi yang wajib hukumnya," katanya.
Pada satu titik di wilayah Kenjeran juga menemukan tumpukan sampah. Temuannya, aneka bungkusan barang kebutuhan sehari-hari, mulai dari mie instan populer seperti produk andalan Indomie dari Indofood dan Mie Sedap dari Wingsfood, sampai merek deterjen andalan kita bermerk Rinso dari Unilever, serta produk-produk lainnya.
Bungkusan tersebut masih tampak bagus dan seperti baru. Namun setelah dilakukan pengecekan produksinya ternyata itu adalah produk 2014-2016. Dalam kurun waktu 6-7 tahun ternyata bungkus produk terbuat dari plastik tersebut tidak mengalami perubahan signifikan. Temuan ini menguatkan bahwa dalam waktu lebih 20 tahun bungkus tersebut tidak akan terurai, bahkan mungkin hingga 50 tahun.
Temuan ini menguatkan argumen, mengapa produsen juga harus bertanggung jawab. Karena keberadaan sampah adalah hasil dari aktivitas produksi mereka. Jika mereka tidak memproduksi bungkusan seperti itu, mungkin juga tidak akan ada sampah. Sementara tidak adil juga bila selalu menyalahkan individu. Sebab ada banyak faktor yang melatarbelakangi seseorang terpaksa mengonsumsinya. Atau sudah ada yang berupaya mengurangi bahkan berhenti, tetapi tetap juga tidak bisa lepas. Karena ini bukan soal perilaku, tetapi bagaimana konsumsi masif sejatinya didorong oleh keberadaan produksi produk.
Sudah Saatnya Mendorong Perubahan
Banyak tawaran, banyak langkah yang dapat diupayakan bersama. Mungkin sebagian masyarakat beranggapan untuk menyelesaikan problem sampah adalah perubahan perilaku dengan menerapkan gaya hidup zero waste. Ada juga yang menganggap persoalan sampah dapat dicapai dengan membuat inovasi, seperti keberadaan bank sampah hingga energi seperti waste to energy.
Tetapi, tidak cukup dengan hal-hal tersebut. Bahkan tidak sepakat dengan waste to energy. Meskipun mereka menjelaskan bahwa itu ramah lingkungan dengan metode gasifikasi dan lain-lain. Tetapi mengharapkan sampah yang sejak awal tidak terpilah, kemudian menjadi sumber energi adalah kesia-sian belaka. Sebab residu masih banyak dan menumpuk.
Belum lagi dampak dari aktivitas tersebut, seperti emisi yang dihasilkan. Jika nanti berjalan pun, sampah tidak akan berkurang, akan bertambah terus dan bertambah karena logika dari waste to energy adalah supply dan demand.
"Ada banyak hal yang bisa kita lakukan, tanpa mengerdilkan yang diupayakan orang lain, langkah sekecil apapun adalah wujud kepedulian dan usaha untuk menyelamatkan bumi," kata Wahyu.
Tetapi yang patut digarisbawahi adalah problem sampah bukan soal kesalahan individu seperti dalam ungkapan logika etika antrophocene. Tetapi problem sampah adalah multifaktor dan interseksional. Dari produksi konsumsi, hingga persoalan kemiskinan.
Menurutnya, publik juga perlu bersuara dan mendorong pemerintah untuk membuat regulasi melampaui pengurangan single use plastic. Pemerintah harus mengintervensi produsen untuk bertanggung jawab atas sampah yang dihasilkan dan mulai memikirkan model ekonomi yang sirkular atau berkelanjutan.
"Terakhir, menjadi sangat penting untuk mendorong kolaborasi dengan komunitas untuk mendorong tata kelola sampah yang tepat sasaran yang peka terhadap kondisi sosial ekonomi."
Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah, dan Bahan Beracun Berbahaya (PSLB3) Rosa Vivien Ratnawati mengatakan, dalam Refleksi Akhir Tahun 2022, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mendorong ekonomi sirkular dalam proses pengelolaan dan pemanfaatan sampah pada tingkatan produsen atau badan usaha. Hingga kini, sudah ada 15 badan usaha menerapkan dan terbukti sampah bisa dikurangi 1.145,5 ton.
Menurut data KLHK, timbulan sampah nasional mencapai 68,5 juta ton. Sekitar 17,89 persen atau 12 juta ton sampah plastik dengan kondisi belum terpilah dan sampah kertas 8 juta ton. Penyumbang timbulan sampah paling besar berasal dari sampah rumah tangga dengan komposisi terbesar sisa makanan.
Vivien menambahkan, capaian pengurangan sampah sampai 2021 sebesar 15 persen dan penanganan sampah 48 persen. Untuk mencapai target kebijakan strategi nasional 100 persen sampah terkelola, 30 persen pengurangan sampah dan 70 persen pengelolaan sampah. pemerintah memperkuat kebijakan Adipura. Caranya, dengan penguatan kebijakan strategi daerah dan pembangunan sistem informasi pengelolaan sampah nasional (SIPSN).
Pemerintah pun mendorong ekonomi sirkular dalam proses pengelolaan dan pemanfaatan sampah pada tingkatan produsen atau badan usaha. Hingga kini, sudah ada 15 badan usaha menerapkan dan terbukti sampah bisa dikurangi 1.145,5 ton.
“Industrialisasi sampah juga perlu didorong, karena keuntungan bisa Rp1,44 Triliun. Apalagi sekarang banyak anak muda yang membangun usaha pengelolaan sampah,” katanya.