LIPUTAN KHUSUS:

Kebijakan Batas Emisi Karbon PLTU Perlu Pembenahan


Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Soalnya, ketentuan ini memiliki sejumlah catatan mendasar dalam upaya mencapai target Enhanced Nationally Determined Contribution (ENDC) Indonesia pada 2030.

Energi

Jumat, 10 Februari 2023

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID - Rencana ketentuan kuota emisi karbon yang berjalan mulai tahun ini menuai catatan kritis dalam berbagai hal. Soalnya, ketentuan yang tertuang dalam Peraturan Menteri (Permen) Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 16 Tahun 2022 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon Subsektor Pembangkit Tenaga Listrik, memiliki sejumlah catatan mendasar dalam upaya mencapai target Enhanced Nationally Determined Contribution (ENDC) Indonesia pada 2030.

Peneliti dan Manajer Program Trend Asia, Andri Prasetiyo menyoroti persoalan transparansi data kuota dan akuntabilitas emisi Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara. Sebelumnya, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) menyatakan telah mengantongi sejumlah data kuota emisi PLTU batu bara. Pemerintah menyebut, ada 99 PLTU yang masuk dalam fase pertama Persetujuan Teknis Batas Atas Emisi (PTBAE).

Andri menguraikan, sebagai bentuk transparansi dan akuntabilitas, pemerintah seharusnya serius untuk segera membuka seluruh data emisi per PLTU batu bara di Indonesia, tidak hanya untuk PLTU yang melebihi batas emisi saja. Kemudian, pemerintah juga harus membuka dasar kajian atas standar dan penentuan empat kategori Persetujuan Teknis Batas Atas Emisi (PTBAE) pembangkit yang tertuang dalam Permen ESDM No. 16 Tahun 2022.

“Publik berhak tahu secara menyeluruh dan dapat memeriksa mana PLTU yang paling banyak menghasilkan emisi karbon. Terutama melakukan pengawasan atas pembangkit yang diklaim pemerintah ramah lingkungan karena menggunakan teknologi terkini seperti supercritical atau ultra-supercritical. Apakah memang emisinya lebih rendah atau justru tidak, sebab di lapangan keluhan atas dampak PLTU tersebut masih sama,” ujarnya.

Aksi masyarakat sipil yang tergabung dalam koalisi #bersihkanindonesia di sekitar PLTU Pangkalan Susu, Langkat, Sumatera Utara./Foto: Trend Asia

Seperti diketahui, pemerintah juga masih memasukkan Clean Coal Technology (CCT) dalam strategi dekarbonisasi Indonesia, yang tertuang dalam dokumen ENDC yang dipublikasikan sebelum konferensi perubahan iklim global COP27 pada November 2022 lalu. Klaimnya, penggunaan teknologi efisiensi tinggi seperti CCT akan mengurangi emisi yang timbul dari pembakaran energi kotor batu bara.

Menurut ESDM, saat ini ada 7 PLTU berkapasitas 5.455 MW yang telah beroperasi menggunakan teknologi supercritical dan ultra-supercritical. Pemerintah berencana mengembangkan PLTU batu bara dengan CCT ultra-supercritical di 9 lokasi di Pulau Jawa dengan total kapasitas 10.139 MW hingga 2028.

“Upaya dekarbonisasi nasional, khususnya di sektor ketenagalistrikan, tidak cukup dengan upaya parsial dan jangka pendek seperti melakukan pembatasan emisi PLTU dan penggunaan Clean Coal Technology yang dalam praktiknya tidak mampu menekan emisi secara signifikan dari PLTU batu bara,” imbuh Andri.

Pemerintah, lanjut Andri, harus mengambil kebijakan lebih progresif yang berorientasi jangka panjang untuk memangkas emisi karbon Indonesia, yakni dengan menghentikan penambahan PLTU batu bara baru meski menggunakan CCT sekalipun, atau mereorientasikannya menjadi proyek energi bersih terbarukan sebagai pilihan dan solusi dalam proses akselerasi transisi energi.

Andri juga menyoal ketentuan PTBAE-PU untuk PLTU di luar wilayah usaha PLN yang baru akan ditetapkan pada Desember 2024 mendatang. Ia berpendapat, penetapan waktu yang tidak selaras antara PLTU milik PLN dengan PLTU swasta pada akhirnya akan membuat kebijakan ini menjadi tidak efektif.

“Tidak boleh ada perlakuan khusus bagi pembangkit swasta terkait dengan penetapan pembatasan emisi. Perbedaan waktu implementasi akan menjadi celah persoalan bagi pembangkit swasta untuk beroperasi di luar standar yang ditetapkan.”

Persoalan model offsetting lewat pembangkit energi baru dan terbarukan (EBT) juga menjadi perhatian. Sebab PLN sempat menyatakan, perseroan akan mengimplementasikan perdagangan karbon dan offsetting dengan pembangkit EBT jika kuota emisi dari pembangkit PLN melampaui kuota emisi.

Peneliti dan Manajer Program Trend Asia Amalya Reza mewanti-wanti PLN untuk tidak mengategorikan solusi palsu co-firing biomassa sebagai bentuk offsetting tersebut.

"Jangan sampai implementasi co-firing biomassa dianggap sebagai aksi pengurangan emisi gas rumah kaca di PLTU, padahal itu solusi palsu,” tegasnya.

Amalya menekankan, klaim pemerintah telah menghasilkan 575,4 GWh listrik bersih, alias netral karbon dari implementasi co-firing biomassa, sesungguhnya berasal dari asumsi yang keliru bahwa pembakaran biomassa di PLTU tidak menghasilkan emisi.

“Khawatirnya, klaim ini dilegitimasi melalui perhitungan PTBAE-PU, dan memungkinkan PLTU co-firing melakukan perdagangan karbon,” imbuhnya.

Terakhir, Andri menyebut, data emisi PLTU batu bara baik PLN dan swasta dari penerapan PTBAE ini, ke depannya dapat menjadi data dan kriteria pertimbangan penting dalam mengidentifikasi PLTU mana yang menjadi prioritas untuk masuk sebagai pembangkit yang harus segera dihentikan atau dipensiunkan dini melalui inisiatif transisi energi seperti Energy Transition Mechanism (ETM) dan Just Energy Transition (JETP).