LIPUTAN KHUSUS:
Aktivitas Manusia, Kekeringan Bikin Sepertiga Amazon Terdegradasi
Penulis : Tim Betahita
Wilayah hutan Amazon yang terdegradasi kini lebih kering, lebih mudah terbakar, dan lebih rentan. Ada risiko kebakaran besar jika tidak dipulihkan.
Hutan
Sabtu, 28 Januari 2023
Editor : Raden Ariyo Wicaksono
BETAHITA.ID - Aktivitas manusia dan kekeringan disebut telah merusak lebih dari sepertiga hutan hujan tropis Amazon. Angka ini ini dua kali dari perkiraan sebelumnya, menurut sebuah studi terbaru.
Kebakaran, konversi lahan, penebangan kayu, dan kelangkaan air telah memperlemah resiliensi hutan seluas 2,5 juta kilometer persegi di Amazon. Wilayah ini 10 kali lebih besar dari luas Britania Raya. Area ini kini lebih kering, lebih mudah terbakar, dan lebih rentan dari sebelumnya. Para peneliti studi pun memperingatkan adanya risiko “kebakaran besar” di masa depan.
Antara 5.5% dan % dari wilayah hutan hujan tropis terbesar ini disebut telah berkurang fungsinya. Menurut laporan tersebut, saat ini Amazon kurang mampu dalam mengatur iklim, menghasilkan curah hujan, menyimpan karbon, menyediakan habitat bagi spesies lain, menawarkan penghidupan bagi masyarakat lokal, dan mempertahankan dirinya sendiri sebagai ekosistem yang layak.
Degradasi ini berada di atas 17% dari hutan asli yang telah sepenuhnya ditebangi selama setengah abad terakhir, saat Brasil kembali menggenjot sektor pertanian dan pertambangan demi kepentingan pebisnis kaya dan memenuhi konsumsi manusia.
Presiden Brasil yang baru, Luiz Inácio Lula da Silva, berjanji untuk mengubah arah dengan kebijakan nol deforestasi. Namun penulis laporan ini mengatakan pemerintah juga harus fokus pada pemulihan lahan yang terdegradasi jika ingin menghindari kebakaran hebat di masa depan.
“Saat ini memang ada harapan, tetapi laporan kami menunjukkan bahwa itu tidak cukup untuk mengatasi deforestasi. Masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan,” kata Jos Barlow, dari Lancaster University.
Temuan yang diterbitkan di Science, Kamis, 26 Januari 2023, ini didasarkan pada tinjauan studi yang ada, data satelit baru-baru ini, dan penilaian baru dampak kekeringan oleh tim internasional yang terdiri dari 35 ilmuwan dan peneliti, dari institusi termasuk Universitas Campinas Brasil (Unicamp), Institut Penelitian Lingkungan Amazon (IPAM), Institut Nasional untuk Penelitian Luar Angkasa (INPE), dan Universitas Lancaster Inggris.
Kekurangan air menyumbang sebagian besar peningkatan degradasi Amazon dibandingkan dengan perkiraan sebelumnya sebesar 17%. Masalah kekeringan ini semakin mengkhawatirkan karena meningkatkan kerentanan hutan terhadap kebakaran dan mengurangi hingga 34% kemampuannya untuk meregenerasi dirinya sendiri melalui evapotranspirasi – pembentukan awan hujan oleh triliunan tanaman.
Hal ini berdampak langsung pada wilayah yang lebih luas, termasuk di daerah penghasil makanan yang bergantung pada “sungai terbang” Amazon untuk mengairi tanaman. Yang paling mengkhawatirkan, hal itu menimbulkan momok “lingkaran umpan balik yang merusak” di mana kekeringan membuat hutan kurang mampu memompa air yang menyebabkan lebih banyak kekeringan.
Untuk mencegah risiko ini, para penulis mendesak para pembuat kebijakan untuk mengurangi penyebab degradasi dan memperlakukannya sebagai penyebab utama deforestasi.
Keduanya pun sangat berbeda dalam hal visibilitas. Deforestasi adalah pembukaan total hutan dan konversi lahan untuk penggunaan lain, yang dapat dengan mudah diidentifikasi oleh satelit. Degradasi, di sisi lain, adalah hilangnya sebagian vegetasi akibat ulah manusia, yang seringkali tersembunyi karena terjadi di bawah kanopi pohon yang lebih besar.
Dengan mata telanjang, perbedaannya cukup terlihat. Tetapi degradasi setidaknya memiliki dampak yang sama besarnya dengan deforestasi lokal, karena berdampak pada area yang jauh lebih luas. Laporan itu mengatakan jumlah karbon yang dilepaskan dari degradasi bahkan bisa lebih tinggi daripada dari deforestasi.
Para penulis mengakui ketidakpastian yang cukup besar dalam estimasi mereka karena degradasi sulit untuk diukur dan didefinisikan. Hal ini tercermin dalam perkiraan yang luas untuk daerah yang terkena dampak: dari 5,5% dari hutan yang tersisa jika hanya kebakaran, penebangan dan efek tepi yang dimasukkan, hingga 38% jika efek kekeringan ditambahkan.
Dampak terhadap masyarakat pun tidak merata. Sebagian besar manfaat ekonomi dari penebangan dan pembukaan lahan disalurkan ke kota-kota yang jauh dan negara lain. Sebaliknya, sebagian besar dampak negatif – hilangnya hasil hutan, memburuknya kualitas udara, dan memburuknya kualitas air – diderita oleh masyarakat adat dan masyarakat hutan lainnya.
Barlow memperingatkan titik kritis sosio-ekonomi ketika hutan menjadi sangat terdegradasi sehingga ditinggalkan oleh masyarakat setempat, yang berarti perlindungannya dari industri ekstraktif menjadi berkurang.
Para penulis makalah ini menyarankan para pembuat kebijakan untuk meningkatkan pemantauan degradasi, memperkuat kapasitas pemadaman kebakaran, mengekang penebangan, dan menanam zona penyangga hutan sekunder untuk melindungi batas vegetasi asli yang terbuka.