LIPUTAN KHUSUS:
CBD COP15 Berakhir, Pengakuan Masyarakat Adat Harus Dipercepat
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Kesepakatan CBD COP15 mestinya mendorong pemerintah untuk mempercepat pengakuan terhadap masyarakat adat, termasuk wilayah adat.
Masyarakat Adat
Sabtu, 24 Desember 2022
Editor : Sandy Indra Pratama
BETAHITA.ID - Kesepakatan akhir Konferensi Keanekaragaman Hayati PBB ke-15 atau CBD COP15 di Motreal, Kanada, mendapat apresiasi dari banyak pihak, tak terkecuali Greenpeace Indonesia. Sebab COP15 secara eksplisit mengakui peran penting masyarakat adat sebagai penjaga keanekaragaman hayati. Mencakup pengakuan terhadap hak, wilayah, pengetahuan serta pentingnya pelibatan masyarakat adat dalam pengambilan keputusan.
“Implementasi kesepakatan ini harus memastikan bahwa hak, pengetahuan, pandangan, nilai, dan praktik hidup masyarakat adat dihormati. Setiap pengambil kebijakan mesti secara eksplisit merujuk Deklarasi PBB tentang Hak-hak Masyarakat Adat (UNDRIP) serta prinsip-prinsip hak asasi manusia,” kata Sekar Banjaran Aji, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, dalam pernyataan tertulisnya, Kamis (22/12/2022).
Bagi Indonesia, Sekar melanjutkan, kesepakatan CBD COP15 yang berakhir pada Senin, 19 Desember 2022 waktu Kanada itu mestinya mendorong pemerintah untuk mempercepat pengakuan terhadap masyarakat adat, termasuk wilayah adat.
Pengakuan masyarakat dan wilayah adat di Indonesia terbilang lambat. Hingga Agustus 2022, sebanyak 17,7 juta hektare wilayah adat yang telah dipetakan, masih belum mendapatkan pengakuan. Adapun yang telah diakui hanya sekitar 3,1 juta hektare, atau 15 persen dari total luas wilayah adat yang sudah dipetakan.
Masyarakat adat yang tanahnya diakui pun masih harus berjuang secara hukum untuk menolak konsesi perusahaan demi mempertahankan hak-hak mereka. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) masih menganggap 70 persen tanah adat yang telah dipetakan Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) sebagai kawasan hutan nasional, kendati putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35 Tahun 2012 menyatakan sebaliknya.
Pada 2021 lalu, Persatuan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) melaporkan adanya 13 kasus perampasan tanah masyarakat adat, yang berdampak pada 103.717 orang dan sekitar 251.000 hektare lahan. Jumlah kasus yang tak dilaporkan diperkirakan jauh lebih banyak.
Pengakuan dan perlindungan masyarakat adat, seperti yang diserukan oleh Orpha Yosua, perempuan muda Suku Namblong dari Lembah Grime Nawa, Jayapura, Papua. Lembah Grime Nawa merupakan kawasan yang kaya akan keanekaragaman hayati, salah satunya habitat burung cenderawasih.
Bertemu Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Alue Dohong, di Montreal pada Minggu, 18 Desember 2022, Orpha menyampaikan perjuangan komunitasnya melawan aktivitas PT Permata Nusa Mandiri (PNM) di tanah adat mereka, termasuk pembalakan hutan secara ilegal yang diduga dilakukan perusahaan. Kepada Orpha, Wakil Menteri LHK bilang akan mengecek kasus tersebut.
“Pemerintah Indonesia harus memastikan bahwa kebijakan di dalam negeri sejalan dengan target hasil COP15. Salah satunya dengan meninggalkan pola konservasi lawas dan menerapkan konservasi berbasis komunitas adat. Produk hukum yang sedang disusun, seperti Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat dan RUU Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem juga harus sejalan dengan target global ini,” ujar Sekar.
Walau begitu, secara keseluruhan, patut disayangkan bahwa COP15 gagal mewujudkan ambisi, langkah-langkah konkret, serta pendanaan yang diperlukan untuk menghentikan kepunahan massal. Target 30×30 untuk melindungi setidaknya 30 persen daratan dan 30 persen lautan pada 2030 memang berhasil disepakati, tetapi tak setegas dan sejelas yang diharapkan.
Ketentuan yang melarang perusakan di kawasan lindung, misalnya, hilang dari teks terakhir kesepakatan CBD COP15. Hal ini berarti bahwa kegiatan skala industri yang merusak masih dapat terjadi di kawasan lindung.
Masalah lainnya, adanya ruang interpretasi bagi solusi palsu untuk menyelamatkan biodiversitas, seperti ketentuan tentang ‘penggunaan keanekaragaman hayati berkelanjutan’. Sejak awal, solusi palsu seperti skema nature-based solutions dan offsets (tukar-menukar) memang mewarnai pembicaraan.
Secara sederhana, skema biodiversity offsets adalah desain aktivitas untuk ‘menukar’ kerusakan keanekaragaman hayati di suatu tempat dengan melindungi biodiversitas di kawasan lain.
Pendanaan yang diputuskan sebesar USD20 miliar per tahun mulai 2025, kemudian USD30 miliar per tahun pada 2030 merupakan permulaan, tapi ini belum cukup. Mengingat kebutuhan pendanaan keanekaragaman hayati mencapai USD700 miliar.
“Tak jelas dari mana sisa uang itu akan diperoleh. Ini bukan cuma seberapa banyak, tapi juga seberapa cepat pendanaan itu bisa sampai ke negara berkembang terlebih dulu,” ujar Sekar.