LIPUTAN KHUSUS:
Hutan Alam Tanah Papua Rusak akibat Investasi
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Investasi yang gencar dilakukan pemerintah pusat dinilai merusak hutan alam di Tanah Papua.
Hutan
Jumat, 23 Desember 2022
Editor : Sandy Indra Pratama
BETAHITA.ID - Investasi yang gencar dilakukan pemerintah pusat dinilai merusak hutan alam di Tanah Papua. Masyarakat adat di Bumi Cendrawasih menginginkan untuk mengelola sendiri hutan mereka, demi kelestarian dan keberlanjutan hutan adat.
Itu disampaikan Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI Filep Wamafma dalam diskusi dan diseminasi laporan riset "Kutukan Sumber Daya Alam di Tanah Papua" yang digelar secara daring oleh Greenpeace dan Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Senin (19/12/2022).
Wamafma mengatakan, pengesahan Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja secara tidak langsung memangkas kewenangan Otonomi Khusus Papua, contohnya dalam hal investasi. Nyatanya kebijakan Otonomi Khusus Papua tidak secara signifikan meningkatkan kesejahteraan masyarakat Papua.
“Kewenangan investasi menjadi ruang dari pemerintah pusat. Itu jadi persoalan baru. Terjadi benturan antara komitmen kita melaksanakan amanat Otonomi Khusus Papua dan komitmen UU Cipta Kerja,” katanya, dilansir dari Jubi.
Wamafma melanjutkan, masyarakat adat memiliki pengetahuan yang sederhana bahwa hutan sebagai pemberi kehidupan. Namun demikian, kebijakan pemerintah pusat dinilai tidak melindungi masyarakat adat dan hutannya, justru lebih condong melindungi kepentingan investasi.
“Tetapi, kalau (pikiran) investor, alam itu memberikan kekayaan yang besar, memberikan sumber pendapatan yang tinggi, alam mendatangkan investasi yang besar. Terbentuklah pertentangan kepentingan antara kepentingan investor dan masyarakat adat."
Menurut pengamatannya, tidak ada dampak signifikan dari investasi bagi kesejahteraan ekonomi, pekerjaan, ataupun kesehatan. Wamafma merasa orang asli papua tidak ada mendapatkan dampak positif dari kehadiran investasi.
Ia menyatakan investasi justru menyebabkan kerusakan hutan alam atau lingkungan, membuat masyarakat kehilangan wilayah adat dan kehilangan warisan budaya. Ia berharap pemerintah melalui kehadiran penanaman modal harus memberikan jaminan perlindungan dan kesejahteraan bagi orang Papua, apalagi dengan kehadiran Otonomi Khusus Papua.
“Hari-hari ini kan illegal mining tumbuh subur di daerah konservasi, khususnya di Manokwari. Kita coba telusuri, kenapa begitu masif, dan (kenapa penegakan hukum) kasus ini tidak mampu menyentuh pemodal. Yang dapat sentuh [atau ditangkap] orang yang bekerja di lapangan," ujar Wamafma.
"Saya bertemu dengan beberapa masyarakat, (mereka bertanya) tentang hutan yang disewakan, tanah yang dijual belikan, disertifikatkan tanpa sepengetahuan masyarakat. Bagi saya, ada mafia, mafia-mafia mendulang (kekayaan melalui) investasi di Papua.” imbuhnya.
Senada dengan Wamafma, Arkilaus Kladit dari Dewan Adat Knasaimos, Sorong Selatan juga menuturkan, kehadiran investasi dalam bentuk perkebunan kelapa sawit tidak meningkatkan kesejahteraan masyarakat adat. Dia bilang perkebunan kelapa sawit malah membuat masyarakat adat hanya sebatas dijadikan sebagai buruh atau karyawan.
Kladit melanjutkan, masyarakat adat tidak menolak program nasional pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Akan tetapi, masyarakat adat ingin mengelola sendiri hutannya agar tidak rusak.
“Pikiran kami bukan menolak program nasional. Pikiran dasar (kami), hutan itu kami sendiri yang kelola. Kami punya prinsip bukan menolak sawit, tetapi menahan lahan kami, hutan kami. Jelas bahwa hutan nafas kehidupan masyarakat adat. Kami punya moto, ‘ada hutan, masyarakat hidup Tanpa hutan, kita tidak akan hidup’. Segala aktivitas makan dan minum dari hutan itu,” terang Kladit.