LIPUTAN KHUSUS:

Aliansi Hutan Indonesia, Kongo dan Brazil Jangan Jadi Bisnis


Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Mestinya para pemimpin tiga negara tersebut meletakkan pengakuan dan pelindungan hak rakyat atas hutan dan pertanggungjawaban mutlak negara maju atas loss and damage

Hutan

Jumat, 18 November 2022

Editor :

BETAHITA.ID - Pemerintah Indonesia, Brazil dan Kongo harusnya mengajukan solusi yang berbeda dari apa yang dibicarakan di perundingan iklim COP 27 di Sharm el-Sheikh, mengingat tiga negara tersebut adalah pemilik hutan tropis terbesar di Dunia.

Mestinya para pemimpin tiga negara tersebut meletakkan pengakuan dan pelindungan hak rakyat atas hutan dan pertanggungjawaban mutlak negara maju atas loss and damage serta mengurangi konsumsi mereka atas industri berbasis ekstraktif sebagai jalan mitigasi perubahan iklim.

Yang terjadi justru aliansi tiga negara yang disebut-sebut sebagai OPEC Hutan ini sepertinya akan diarahkan untuk bagaimana aliansi dapat mengontrol dan mengatur harga karbon di pasar karbon dunia, selayaknya OPEC yang dapat mengontrol dan mengatur harga minyak dunia. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menganggap cara berfikir pengurus ketiga negara ini yang terus mengkomodifikasi hutan.

"Maka tidak berlebihan jika OPEC Hutan disebut sebagai proposal yang dipersiapkan pengurus ketiga negara ini untuk menyambut hasil perundingan mengenai pengaturan perdagangan karbon (article 6) di COP27," kata Uli Arta Siagian, Pengkampanye Hutan dan Kebun, Eksekutif Nasional Walhi, Rabu (16/11/2022).

Foto udara hutan lindung Wehea, Kutai Timur, Kalimantan Timur. Dok Lembaga Adat Wehea

Uli melanjutkan, skema offset yang dianggap sebagai penyeimbang karbon menjadi roh dari proposal ini. Skema offset merupakan izin yang diberikan untuk tetap mencemari, merusak dan melepas emisi dengan menjaga stok karbon ditempat lain. Penyeimbangan karbon ini akan terus memperpanjang usia industri berbahan bakar fosil secara khusus dan industri ekstraktif lainnya secara umum.

Selain bentuk dari kesalahan logika, lanjut Uli, skema offset juga akan memperpanjang rantai konflik, sebab akan semakin banyak rakyat yang tersingkir dari hutan yang merupakan bagian dari wilayah kelolanya. Ketika hutan dijadikan objek penyeimbang karbon maka pemegang kapital memegang kendali atas ekosistem hutan, pada titik inilah penyingkiran rakyat terjadi.

"Kesalahan logika dan perpanjangan rantai konflik ini harus segera diputus. Indonesia harus memimpin aliansi hutan tiga negara ini dengan menjadikan Wilayah Kelola Rakyat sebagai basis penyelamatan dan perlindungan hutan."

Wilayah Kelola Rakyat (WKR) memiliki filosofi yang sangat berbeda dengan penyelamatan hutan berbasis penyeimbang karbon (offset). WKR melihat keterhubungan antara manusia dan alam yang setara dan holistik.

Uli berpendapat, alam sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia. Sedangkan penyeimbang karbon (offset) meletakkan alam sebatas modal yang menyediakan jasa layanan ekosistem dan peluang untuk mendapat keuntungan.

Selain itu WKR meletakkan hak rakyat atas wilayah kelolanya untuk membangun sistem tata Kelola, tata produksi dan tata konsumsi yang berangkat dari pengetahuan lokal dan pengalaman hidup bersama. Sedangkan penyeimbang karbon meletakkan kendali korporasi, lembaga kapital keuangan, dan perusahaan IT atas aset fisik (tanah, hutan dan ekosistem lainnya) yang ditujukan untuk meraup keuntungan dan mempertegas dampak Lingkungan.

"Untuk memimpin aliansi, Indonesia harus membenahi kebijakan dan produk hukum yang mengancam keselamatan ekosistem hutan, gambut, mangrove, terumbu karang dan padang lamun. Salah satunya dengan membatalkan Undang-Undang Cipta Kerja berikut dengan semua aturan turunannya," terang Uli.

Uli menguraikan, saat ini seluas 33 juta hektare hutan Indonesia sudah dibebani izin di sektor kehutanan. Sedangkan kurang lebih seluas 4,5 juta hektare Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) berada di wilayah tutupan hutan, dan ada seluas 3,3 juta hektare sawit dalam kawasan hutan.

"Jika Undang-Undang Cipta Kerja yang kini inskonstitusional menjadi konstitusioal maka akan semakin luas perubahan fungsi dan peruntukan dari hutan-hutan tersisa di Indonesia."

Selain itu, masih kata Uli, pengurus negara harus melakukan evaluasi seluruh perizinan di dalam hutan maupun di luar Kawasan hutan, mencabut izin perusahaan-perusahaan yang melanggar peraturan, dan melakukan penegakan hukum termasuk menagih tanggungjawab perusahaan untuk memulihkan ekosistem di mana mereka beroperasi.

"Hanya dengan syarat inilah Indonesia dapat memimpin koalisi dalam perundingan dunia dan memimpin aksi mitigasi perubahan iklim."