LIPUTAN KHUSUS:
Skema Pendanaan Transisi Energi Harus Adil dan Berkelanjutan
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Prinsip transparansi, akuntabilitas dan keterlibatan masyarakat terdampak dalam proses perencanaan dan implementasi transisi energi jadi hal penting
Energi
Senin, 24 Oktober 2022
Editor : Sandy Indra Pratama
BETAHITA.ID - Skema pendanaan transisi energi global seperti Just Energy Transition Partnership (JETP), Climate Investment Funds (CIF), dan Energy Transition Mechanism (ETM) menemukan momentumnya di 2022. Skema pendanaan tersebut di antaranya bertujuan untuk mendukung pemensiunan dini PLTU batu bara, penutupan tambang batu bara dan percepatan pengembangan energi terbarukan.
Tahun ini, skema-skema pendanaan tersebut menyasar Indonesia sebagai salah satu negara penerima. Selaras dengan itu Pemerintah Indonesia saat ini telah menerbitkan Peraturan Presiden (Perpes) No. 112/2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik.
Gerakan #BersihkanIndonesia menyambut skema pendanaan transisi energi dengan peringatan kehati-hatian dan menekankan berbagai skema tersebut harus memenuhi prinsip transisi berkeadilan untuk memastikan perencanaan dan pelaksanaan transisi energi yang adil dan berkelanjutan.
#BersihkanIndonesia memberikan sejumlah poin bagaimana transisi energi yang adil dan berkelanjutan harus dilakukan.
Hal pertama yang harus dilakukan adalah penghentian pembangunan PLTU baru dan pemensiunan PLTU batu bara. Realitanya beberapa sistem ketenagalistrikan di Indonesia mengalami kelebihan pasokan (oversupply), akibat dari pembangunan PLTU batu bara yang berlebihan dalam satu dekade terakhir.
Peneliti Senior Institute for Essential Service Reform (IESR), Raditya Wiranegara mengatakan, manfaat yang didapat dari mempercepat pensiun PLTU 2 sampai 4 kali lebih besar dari cost untuk memensiunkan PLTU. Sekitar 168.000 kematian bisa dihindari apabila PLTU dipensiunkan sebelum 2045.
"Dari kalkulasi kami, memang biaya yang diperlukan besar, tetapi benefit yang lebih besar ini perlu kita lihat juga. Pemensiunan PLTU harus dimasukkan ke dalam RUPTL berikutnya karena kita belum lihat ada rencananya dalam RUPTL PLN saat ini. Selain itu, RUPTL berikutnya juga harus merinci pembangunan pembangkit energi terbarukan dan penyimpan energi yang akan menggantikan PLTU yang dipensiunkan,” kata Raditya dalam diskusi publik yang digelar Kamis (20/10/2022).
Selain tidak ekonomis, PLTU juga merupakan sumber energi listrik paling kotor karena menghasilkan jumlah karbon terbesar, limbah beracun, pencemaran udara, dan air bahang. Penambangan batu bara juga menimbulkan masalah besar di berbagai daerah di Indonesia.
Ketua Yayasan Kanopi Hijau Indonesia, Ali Akbar menegaskan, pembangunan PLTU di Sumatera menghilangkan mata pencaharian masyarakat dan menghantam mereka dengan polusi yang menimbulkan penyakit. Ia mencontohkan, di Ombilin terdapat banyak anak-anak yang terkena penyakit ISPA. PLTU Nagan Raya juga terbukti sudah membuat hilang satu kampung beserta sumber kehidupan masyarakat.
"Sayangnya, Perpres 122/2022 masih menoleransi penggunaan PLTU batu bara karena PLTU yang termasuk dalam RUPTL 2021-2030 dan mendukung proyek strategis nasional masih akan dilanjutkan,” jelas Ali.
Pertambangan batu bara juga banyak menimbulkan korban meninggal. Dalam diskusi tersebut Mareta Sari, Dinamisator Jatam Kaltim, menyebut, tingginya jumlah korban akibat lubang tambang di Kalimantan Timur. Mirisnya lagi, masyarakat sekitar pertambangan batu bara masih kesulitan mendapatkan akses listrik, padahal batu bara menjadi sumber energi listrik terbesar di Indonesia.
“Kalau bicara soal energi apakah Kaltim terang benderang? Desa di sekitar pertambangan justru tidak dialiri listrik. PLN baru masuk ke Bengalon, Kutai Timur sekitar 2012-2015. Tambang hanya membawa bencana, seperti banjir berkepanjangan. Belum lagi sudah ada 41 anak meninggal di lubang tambang, konflik lahan yang menyebabkan kriminalisasi warga, sampai pencemaran lingkungan yang membuat akses air bersih sulit dan mahal,” ungkap Mareta.
Gerakan #BersihkanIndonesia juga mengingatkan pemerintah dan lembaga pemberi dana untuk tidak terjebak dalam solusi-solusi palsu transisi energi.
“Di Indonesia ada upaya yang untuk membajak ide transisi energi dengan teknologi yang memperpanjang penggunaan bahan bakar fosil, tidak menurunkan secara signifikan gas rumah kaca, dan belum terbukti aman dan reliable.” Ujar Rere Christianto, Manajer Kampanye Tambang dan Energi, Walhi Nasional.
Bentuk pertama solusi palsu berupa klasifikasi sumber energi yang jelas-jelas tidak terbarukan dan berisiko tinggi sebagai energi baru dalam perundang-undangan Indonesia. Contohnya adalah pencairan batu bara, gasifikasi batu bara, nuklir, sampai hidrogen yang berbahan dasar fosil.
Bentuk kedua adalah energi-energi terbarukan yang pengelolaannya tidak ramah lingkungan, melanggar HAM, berisiko tinggi, dan secara daur hidup tidak memberikan perbaikan yang signifikan terhadap penurunan karbon. Misalnya, penggunaan bahan bakar biomassa yang justru mendorong deforestasi dan pertanian monokultur, atau pertambangan nikel untuk baterai yang merampas ruang hidup rakyat dan mencemari lingkungan.
“Saat ini 900.000 hektare lahan sudah diberikan konsesinya untuk pertambangan nikel, dari 900.000 hektare sekitar 600.000 hektare di antaranya merupakan kawasan hutan. Dampaknya sudah terlihat mulai dari sedimentasi danau di Sulawesi Selatan, sampai tidak dapat lagi memanfaatkan air di Pulau Obi,” imbuh Rere, mengenai dampak lingkungan dari transisi energi yang tidak berkelanjutan.
Gerakan #BersihkanIndonesia juga menekankan pentingnya akuntabilitas, transparansi, partisipasi publik, dan menjunjung tinggi hak asasi manusia dalam pengembangan infrastruktur ketenagalistrikan. Program 35.000 megawatt oleh pemerintah meninggalkan permasalahan dan konflik dalam pelaksanaannya.
Koalisi berharap tidak hanya sumber energinya yang berubah, tetapi juga pola-pola pembangunannya. Partisipasi publik harus dibuka sejak proses perencanaan sampai implementasi untuk memberikan meaningful participation. Selain itu, pola perizinan dan pengadaan tanah yang dilakukan untuk proyek-proyek strategis nasional harus dievaluasi.
“Pertama, kita jangan terjebak pada formalitas legal sebab peraturan yang mendukung transisi energi saja tidak cukup, tetapi juga menjamin nilai-nilai yang penting dimuat. Kedua, partisipasi dan pendekatan yang demokratis publik juga penting untuk menjamin agar dana yang besar ini tidak digunakan untuk solusi-solusi pals," ujar Grita Anindarini, Deputi Direktur Indonesian Center for Environmental Law (ICEL).
"Terakhir, perlu ada jaminan bahwa penanggung jawab PLTU tetap memenuhi kewajiban-kewajibannya, maupun restorasi lingkungan pasca
pertambangan,” lanjutnya.
Gerakan #BersihkanIndonesia kemudian menyampaikan deklarasi "Nilai dan Prinsip Transaksi Energi yang Adil dan Berkelanjutan di Indonesia". Secara ringkas deklarasi tersebut berisikan bahwa transisi energi harus menjadi proses yang menggantikan pola penyediaan energi yang ekstraktif dan sentralistik menjadi regeneratif dan demokratis, sehingga bermanfaat bagi masyarakat dan lingkungan hidup.
#BersihkanIndonesia juga berpendapat bahwa transisi energi di Indonesia harus merupakan transisi menuju energi yang adil dan berkelanjutan, yakni energi yang berasal dari sumber energi terbarukan, seperti energi matahari, angin, dan lainnya yang dikelola dengan berlandaskan nilai-nilai dan prinsip yang berkeadilan, berkedaulatan, transparan, akuntabel, berintegritas/anti-korupsi, mengutamakan kelestarian fungsi lingkungan hidup bagi manusia maupun non-manusia, menghormati keluhuran adat/tradisi budaya lokal dan meningkatkan ketahanan penghidupan masyarakat serta mendukung upaya penanggulangan krisis iklim.
Koalisi tersebut juga menekankan bahwa pelaksanaan transisi energi harus dilaksanakan dengan nilai-nilai, akuntabel, transparan dan partisipatif, penghormatan, pemenuhan dan perlindungan HAM, keadilan ekologis, keadilan ekonomi dan terakhir transformatif.
"Prinsip dan nilai akan kita desak kepada pemerintah dan pihak-pihak yang akan bekerja sama dengan pemerintah dakam pengembangan energi di Indonesia untuk menjadi koridor transisi energi di Indonesia," kata Ahmad Ashov Birry, Koordinator Bersihkan Indonesia.
"Kita juga perlu berubah secara pola, kita tahu energi kotor digunakan, kita tidak ingin cara-cara lama digunakan dalam pengembangan energi bersih dan terbarukan. Karena yang kita hindari jelas, over eksploitasi, over produksi, dan over konsumsi agar tidak terjadi ketimpangan. Mari kita dorong bersama agar transisi energi adil dan berkelanjutan!” tutup Ashov.