LIPUTAN KHUSUS:
Analisis: Indonesia Butuh $37 Miliar Tuk Pensiunkan PLTU Batubara
Penulis : Kennial Laia
Pendanaan tersebut dapat mempensiunkan PLTu lebih dini pada 2040, dan menghemat emisi karbon.
Energi
Rabu, 19 Oktober 2022
Editor : Sandy Indra Pratama
BETAHITA.ID - Indonesia diperkirakan akan membutuhkan dana transisi sebesar $37 miliar atau sekitar Rp 572,6 triliun untuk menghentikan 118 pembangkit listrik batu baranya lebih awal, menurut analisis terbaru. Pensiun dini pembangkit listrik batu bara itu dibutuhkan agar sejalan dengan target nol bersihnya dalam menghadapi krisis iklim.
Temuan terbaru dari TransitionZero menyatakan, jika menghentikan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara, Indonesia dapat menghemat emisi sekitar 1,7 GtCO2 pada 2040, setara dengan hampir tiga tahun emisi tahunannya.
Jacqueline Tao, analis di TransitionZero mengatakan, sektor ketenagalistrikan Indonesia sangat kompleks. Selain itu industri energi terbarukan masih relatif baru di tanah air. Karena itu diperlukan dana yang benar-benar besar untuk mendorong percepatan transisi energi dari fosil ke energi bersih.
“Untuk mempercepat penyebaran energi terbarukan, analisis kami menunjukkan bahwa Indonesia membutuhkan dana transisi sebesar $37 miliar untuk mendukung penghapusan PLTU batu bara, khususnya, untuk mengganti nilai pembangkit batu bara yang kini beroperasi hingga 10 tahun ke depan,” kata Tao.
PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) memiliki target nol bersih pada 2060, dan pemerintah juga memiliki sejumlah tujuan iklim yang berfokus pada dekarbonisasi sektor listrik. Namun struktur pasar listrik, khususnya perjanjian pembelian tenaga listrik (Power Purchase Agreement/PPA) yang dikombinasikan dengan subsidi bahan bakar fosil, telah lama menjadi kendala dalam penerapan energi terbarukan, menurut laporan tersebut.
Sektor ketenagalistrikan Indonesia bergantung pada batu bara dengan sekitar 70% listrik domestik dihasilkan dari batu bara pada tahun 2021. Indonesia juga merupakan pengekspor batu bara termal terbesar secara global.
Selain itu, sektor ini mempekerjakan sekitar 250.000 orang, yang sebagian besar adalah pekerja berketerampilan rendah. Laporan itu juga menyebut, subsidi batu bara Indonesia telah merugikan negara lebih dari $10 miliar pada tahun lalu saja. Sementara proyek penangkapan, pemanfaatan, penyimpanan karbon (CCUS) pertama di Indonesia yakni Vorwata CCUS BP, yang ditaksir mampu menangkap dan menangkap 25 juta ton karbon dioksida, diperkirakan menelan biaya $3 miliar.
Analisis tersebut menemukan bahwa mengganti PLTU batu bara Indonesia dengan tenaga surya akan menciptakan lima pekerjaan baru untuk setiap hilangnya satu pekerjaan langsung di pembangkit listrik, dengan catatan bahwa peningkatan keterampilan dan pelatihan ulang akan menjadi bagian penting dari rencana transisi.
Angka $37 miliar didasarkan pada nilai PPA saat ini (tidak termasuk biaya bahan bakar) dan jadwal pensiun dini yang membatasi pembelian PPA hingga 10 tahun untuk pembangkit batu bara masa depan berdasarkan faktor kapasitas saat ini. Biaya tersebut akan mencakup CAPEX, OPEX, dan margin keuntungan pembangkit listrik, dengan dasar bahwa batu bara yang tidak terpakai akan dijual di pasar internasional, sehingga bahan bakar tidak dibeli. Rata-rata unit tingkat pembelian adalah US $1,2 juta/MW yang termasuk dalam kisaran yang digunakan oleh IEEFA ($1 juta - $1,8 juta).
Analisis tersebut juga mengidentifikasi sejumlah pembangkit batu bara yang sesuai untuk program pensiun dini, berdasarkan faktor-faktor seperti biaya pensiun, dampak pada sistem jaringan yang ada, emisi gas rumah kaca, tekanan air, dan polusi udara. Di antaranya PLTU Asam-Asam di Kalimantan Selatan, PLTU Paiton di Jawa Timur, dan PLTU Banten Suralaya di Banten.
Tao mengatakan solusi penutupan pembangkit batu bara rumit dan pendekatannya harus disesuaikan dengan kondisi sosial ekonomi dan ketenagalistrikan suatu negara. Terutama bagi negara-negara seperti Indonesia, yang bergantung pada ekstraksi bahan bakar fosil sebagai pusat pembangunan ekonomi.
“Rencana penghentian batu bara harus terukur, layak, terjangkau, dan adil bagi semua pemangku kepentingan dan masyarakat yang terlibat. Selain itu, rencana peningkatan keterampilan ulang dan pelatihan pekerja sangat penting untuk memastikan transisi yang mulus dan adil bagi pekerja,” jelas Tao.
Seperti banyak negara berkembang lainnya, Indonesia telah menyatakan pentingnya pendanaan dari negara-negara maju untuk mendukung transisi energi bersih. Secara historis, paket pendanaan tersebut merupakan gabungan antara uang publik dari negara-negara donor, bank internasional dan dana moneter, serta keuangan swasta.
Skema pendanaan internasional bernama Just Energy Transition Partnership (JETPs) untuk Indonesia diharapkan dapat diumumkan pada G20 mendatang, berdasarkan skema pendanaan transisi energi yang bagi Afrika Selatan yang telah diumumkan pada KTT Perubahan Iklim COP26 di Glasgow pada 2021.