LIPUTAN KHUSUS:

Walhi Ragukan Komitmen KLHK Dalam MoU Iklim Dengan Norwegia


Penulis : Aryo Bhawono

Catatan Walhi menunjukkan pemerintah Indonesia justru tak melakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan.

Perubahan Iklim

Jumat, 23 September 2022

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Walhi meragukan komitmen Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan atas Mou penguatan perlindungan dan pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan dengan Pemerintah Norwegia. Catatan mereka, pemerintah Indonesia justru tak melakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan.

Menteri LHK, Siti Nurbaya dan Menteri Iklim dan Lingkungan Norwegia, Espen Barth Eide, menandatangani Memorandum of Understanding (MoU) tentang Partnership in Support of Indonesia’s Efforts to Reduce Greenhouse Gas Emissions from Forestry and Other Land Use di Jakarta pada Senin lalu (12/9/2022). Mou ini akan memperkuat upaya Indonesia dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan. 

Ruang lingkup kerjasama ini meliputi pertama, pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan dengan melindungi dan mengelola hutan dengan partisipasi masyarakat, termasuk masyarakat adat. Kedua, peningkatan kapasitas untuk memperkuat penyerapan karbon hutan alam melalui pengelolaan hutan lestari, rehabilitasi hutan dan perhutanan sosial, termasuk mangrove. 

Ketiga, konservasi keanekaragaman hayati. Keempat, pengurangan emisi gas rumah kaca dari kebakaran dan kerusakan lahan gambut. Kelima, penguatan penegakan hukum. 

Bentang hutan di wilayah konsesi perusahaan di Kampung Zanegi, Kabupaten Merauke, Papua. Foto: Istimewa

Keenam, komunikasi, konsultasi dan pertukaran pengetahuan pada lingkup internasional tentang kebijakan dan agenda iklim, kehutanan dan tata guna lahan. Dan ketujuh, pertukaran informasi dan pengetahuan pada tingkat teknis. 

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) meragukan komitmen pemerintah indonesia dalam kerjasama ini. Menurut mereka pemerintah memiliki jejak buruk dalam perlindungan hutan dan kosnervasi. Misalnya saja, selama delapan tahun berkuasa, Presidens Joko Widodo telah memberikan penguasaaan lahan konsesi seluas 11,7 juta hektare, terbanyak untuk sektor tambang. 

“Bahkan dari semua presidensi izin tambang (ke konsesi) Jokowi-lah pemberi izin tambang terluas,” ucap Manajer Kampanye Walhi, Wahyu A Perdana. 

Presidensi Jokowi telah memberikan penguasaaan lahan konsesi seluas 11,7 juta hektare, terbanyak unt

Catatan Walhi dan Yayasan Auriga Nusantara berjudul ‘Indonesia Tanah Air Siapa?’ menyebutkan selama rezim Presiden Jokowi, seluas 1,2 juta hektar atau sebesar 94 persen dari luas total pelepasan hutan untuk perkebunan. Sementara, pelepasan kawasan hutan untuk kepentingan umum, seperti fasilitas umum dan fasilitas khusus, hanya seluas 14 ribu atau hanya 1 persen, pemukiman hanya 181 hektar atau 0,01 persen dan untuk tanaman pangan hanya 2.727 hektar atau sekitar 0,2 persen dari total hutan yang dilepaskan.

“Fakta lainnya sektor tambang penyumbang emisi yang signifikan. WALHI mencatat secara total perubahan penggunaan lahan akibat operasi pertambangan diperkirakan akan melepas emisi lebih dari 776 juta ton CO2-e,” jelasnya. 

Catatan Walhi soal total perubahan penggunaan lahan akibat operasi pertambangan diperkirakan akan me

Selain itu pemerintah juga memberikan Izin Pinjam Pakai kawasan Hutan (IPPKH) seluas 343 ribu hektar untuk pertambangan sedangkan untuk non pertambangan hanya 36 ribu hektar. IPPKH pertambangan ini juga berbanding jauh dengan data konsesi IUP dalam Kawasan hutan yang mencapai 4,5 juta hektar. Patut dicurigai, perusahaan tambang ini beroperasi tanpa IPPKH

Artinya pemerintah mengklaim no deforestasi tetapi memberikan ‘pemutihan’ pada konsesi yang secara tidak sah beroperasi dalam Kawasan hutan. Hal ini termuat dalam Pasal 51 PP No 104 Tahun 2015 Tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan. Dan diperkuat dengan pasal 110 A dan 110 B UU No 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja.

Lalu ada PP No 24 Tahun 2021 Tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif dan Tata Cara Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berasal dari Denda Administratif di Bidang Kehutanan dan PP No 23 Tahun 2021 Tentang Penyelenggaraan Kehutanan Peraturan yang memberikan ‘pengampunan’ kepada korporasi yang telah beraktivitas dalam kawasan hutan secara ilegal dan pelanggaran. Mereka juga dapat mengajukan mekanisme keterlanjuran dan usulan pelepasan kawasan hutan sebagai ‘pengampunan’ atas pelanggaran dan kejahatan lingkungan.

Saat ini, sebanyak 364 entitas yang mengajukan keterlanjuran dalam Kawasan hutan. Entitas tersebut didominasi oleh korporasi dan 222 diantaranya adalah perusahaan perkebunan sawit dengan luasan 723 ribu hektar. Entitas perusahaan pertambang sebanyak 53 korporasi dengan luasan 2858 hektar (angka ini bisa lebih luas karena tidak semua perusahaan menunjukan data luasan yang diajukan). Sisanya adalah entitas perusahaan yang bergerak di usaha pariwisata, energi, dan atas nama perseorangan.

Selain itu klaim UU Cipta Kerja memberikan dukungan terhadap masyarakat adat tetapi faktanya memberikan kemudahan bagi korporasi.