LIPUTAN KHUSUS:
Strategi Jangka Benah sebagai Solusi Sawit dalam Kawasan Hutan
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Kebun sawit yang dicampur dengan tanaman lain justru memberi pemasukan ekonomi berkali lipat daripada kebun sawit monokultur.
Sawit
Kamis, 30 Juni 2022
Editor : Sandy Indra Pratama
BETAHITA.ID - Sejumlah peneliti dari Fakultas Kehutanan Universitas Gajah Mada (UGM) menawarkan Stategi Jangka Benah (SJB) sebagai alternatif solusi persoalan keberadaan perkebunan sawit yang ditanam di dalam Kawasan Hutan, terutama bagi sawit rakyat. Konon kebun sawit yang dicampur dengan tanaman lain justru memberi pemasukan ekonomi berkali lipat dibandingkan dengan kebun sawit monokultur.
Dalam paparannya di Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Panitia Kerja (Panja) Penyelesaian Penggunaan dan Pelepasan Kawasan Hutan Komisi IV DPR RI bersama organisasi masyarakat sipil dan akademisi, 21 Juni 2022 kemarin, Ketua Tim Strategi Jangka Benah Fakultas UGM, Hero Marhaento mengakui, SJB ini bukan hal baru dalam dunia Kehutanan. Namun dalam hal ini pihaknya menawarkan SJB sebagai solusi penyelesaian sawit dalam Kawasan Hutan.
Sejak beberapa tahun terakhir pihaknya telah mulai memperkenalkan SJB sebagai solusi sawit dalam Kawasan Hutan melalui berbagai forum diskusi baik nasional maupun internasional. Selain itu pihaknya juga melakukan kerja sama dengan sejumlah pemerintah provinsi.
Puncaknya pada di 2021, SJB ini kemudian muncul atau direkognisi sebagai kebijakan nasional melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2021 dan PP Nomor 24 Tahun 2021 sebagai salah satu alat alternatif penyelesain sawit di Kawasan Hutan.
"Yang saat ini juga sudah muncul Peraturan Menteri LHK Nomor 7, 8 dan 9. Jadi secara kebijakan sudah selesailah kurang lebih begitu, jadi ini tinggal dilaksanakan saja," kata Hero.
Hero menjelaskan, definisi Jangka Benah sendiri adalah periode yang dibutuhkan untuk memperbaiki struktur dan fungsi hutan yang rusak akibat adanya ekspansi perkebunan kelapa sawit di dalam Kawasan Hutan.
Tahapan Jangka Benah dibagi menjadi dua. Yang pertama terhadap kebun sawit monokultur yang berada di dalam Kawasan Hutan, dilakukan pengayaan jenis tanaman selain sawit, demi membentuk agroforestri sawit. Sedangkan tahapan kedua adalah pembentukan agroforestri kompleks.
Agroforestri sawit atau sawit yang dicampur dengan tanaman kehutanan, lanjut Hero, bukanlah hal yang aneh. Dalam skala kecil, masyarakat di sejumlah daerah, dengan kearifan lokalnya sudah mempraktikkan sawit campur.
"Dan polanya macam-macam. Ada yang polanya sisipan, di antara sawit ditanam. Ada yang polanya blok, atau dijadikan pagar dan seterusnya. Itu kearifan lokal masyarakat."
Kemudian, dengan komoditas tanaman yang bervariasi, atau bukan berupa sawit monokultur, sumber pendapatan masyarakat petani menjadi lebih tangguh. Yang mana di saat harga sawit mengalami fluktuasi atau bahkan jatuh di harga terendah, seperti yang terjadi baru-baru ini, dengan sawit campur sumber pendapatan petani menjadi bisa terselamatkan.
Penerapan sawit campur juga bisa membuka peluang bagi petani yang selama ini mendapat kendala legalitas dalam pengelolaan Kawasan Hutan. Petani bisa mengajukan Perhutanan Sosial, dengan syarat harus menerapkan SJB atau mengubah kebun sawit monokulturnya menjadi agroforestri sawit.
"Kalau sawitnya (dalam Kawasan Hutan) dibongkar langsung seketika, justru jangka benahnya pendek periodenya. Tetapi sekali lagi, biaya itu sangat besar, potensi konflik juga sangat tinggi. Sehingga kita bikin periode, dengan cara bertahap, tidak seketika," kata Hero.
Sawit campur juga terbukti memberikan dampak positif bagi ekologi. Hero menerangkan, Tim SJB UGM telah membuat demplot pengukuran, membandingkan antara sawit campur dengan sawit monokultur. Hasilnya pada sawit campur, biodiversitas, serapan karbon dan infiltrasi mengalami peningkatan--mengurangi risiko banjir dan kekeringan.
Ada beberapa opsi atau pilihan tanam sawit campur dalam SJB, yakni pola jalur dan alley croping, pola sisipan, seleksi pohon, trees along border dan blok atau cuvio. Di beberapa daerah, petani sawit sudah mencampur sawit monokulturnya dengan menggunakan berbagai jenis tanaman lain. Di Kalimantan Tengah, petani sawit menanam karet, sengon, jelutung, petai dan nanas di kebun sawitnya. Sedangkan di Jambi, petani mencampur kebun sawitnya dengan meranti dan jengkol.
"Jelutung, dengan petai, jengkol sangat bagus sekali produktivitasnya dengan sawit. Meranti kami punya contoh di Desa Penghidupan, Kampar di Riau."
Sebelumnya, lanjut Hero, saat mencoba mengimplementasikan konsep Jangka Benah selalu muncul pertanyaan tentang payung hukum petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis SJB. Namun kendala tersebut telah terjawab dengan terbitnya PP Nomor 23 dan PP Nomor 24 Tahun 2021.
"Sehingga dukungan kebijakan sekarang sudah ada. Pemerintah mendukung Jangka Benah. Hanya persoalannya adalah bagaimana mengimplementasikan secara luas."
Yang menjadi pekerjaan rumah saat ini adalah menunjukkan bukti kuat bahwa sawit campur lebih menguntungkan secara ekonomis bagi masyarakat. Hero menganggap penting untuk membuat demplot-demplot percontohan sawit campur yang produktif, yang memberikan keuntungan secara ekonomis.
Hal berikutnya yang tak kalah penting bagi petani adalah adanya insentif atau bentuk apresiasi dari pemerintah kepada petani yang menerapkan pola sawit campur. Insentif dimaksud bisa dalam bentuk bantuan bibit jenis tanaman untuk sawit campur, pendampingan dalam memilih jenis tanaman, dan arahan dalam memasarkan produk yang dihasilkan.
Menurut perhitungan proyeksi keuntungan bersih praktik sawit konvensional (monokultur) dengan sawit campur, imbuh Hero, menunjukkan sawit campur memberikan keuntungan bersih lebih tinggi dibanding sawit monokultur. Keuntungan bersih tertinggi adalah dengan pola mencampur kebun sawit dengan tanaman jengkol.
"Jengkol ternyata tumbuh baik di kebun sawit. Jadi kalau petani-petani sawit yang ada dalam Kawasan Hutan, dibina oleh Negara, diberi bantuan untuk bisa menerapkan sawit campur. Niscaya Kawasan Hutan yang terlanjur (ditanami sawit) itu berangsur pulih."
Tim SJB UGM telah memiliki data jenis tanaman yang cocok untuk ditanam, dari hasil pengamatan sawit campur. Tanaman yang cocok ditanam dalam kebun sawit campur di antaranya, jengkol, meranti, sengon, durian, balsa, petai, cempedak, cengkeh dan kemiri.
Dari data tersebut Tim SJB berharap petani atau masyarakat tidak perlu lagi mencoba-coba jenis tanaman tertentu untuk diterapkan dalam kebun sawit campur. Karena risiko kegagalannya yang besar.
Kendala lain yang dihadapi petani adalah sulitnya mendapatkan legalitas. Hero mencontohkan, para petani yang tergabung dalam Kelompok Tani Hutan Maju di Desa Karang Sari, Kecamatan Parenggean, Kabupaten Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah, telah sejak 2019 telah mulai menerapkan SJB atau mencampur kebun sawit monokulturnya dengan tanaman lain, seluas 1.150 hektare, namun sampai sekarang masih belum juga mendapatkan legalitas Perhutanan Sosial melalui skema Hutan Kemasyarakatan (HKm) yang sudah diusulkan.
Tim SJB menganggap sejauh ini SJB merupakan opsi terbaik untuk menyelesaikan permasalahan 3,4 juta hektare sawit yang terbangun di dalam Kawasan Hutan, termasuk bagi kebun sawit monokultur perusahaan. Kemudian, SJB harus dianggap sebagai investasi yang dapat memberikan peluang kesejahteraan.