LIPUTAN KHUSUS:

Hutan Hujan Primer di Dunia Hilang 11,1 Juta Hektare pada 2021


Penulis : Kennial Laia

Data terbaru mengungkap, dunia kehilangan hutan hujan tropis primer seluas 11,1 juta hektare pada 2021. Termasuk area yang krusial untuk membatasi pemanasan global.

Hutan

Sabtu, 30 April 2022

Editor :

BETAHITA.ID -  Analisis terbaru mengungkap, hutan hujan alami di seluruh dunia kembali dihancurkan pada tingkat yang mengkhawatirkan pada 2021. Hal tersebut memicu kekhawatiran bahwa pemerintah tidak dapat memenuhi kesepakatan COP26 untuk menghentikan dan membalikkan deforestasi pada akhir dekade ini.

Tahun lalu, daerah tropis kehilangan 11,1 juta hektare tutupan pohon. Mulai dari Amazon Brasil hingga lembah Kongo. Angka tersebut termasuk 3,75 juta hektare hutan primer yang penting untuk membatasi pemanasan global dan hilangnya keanekaragaman hayati.

Hutan boreal, terutama di Rusia, mengalami rekor kerugian pada tahun 2021. Menurut data terbaru dari University of Maryland yang dirilis melalui Global Forest Watch, hal itu didorong oleh musim kebakaran terburuk di Siberia sejak pencatatan dimulai.

Para ahli menyebut hilangnya hutan yang berkelanjutan sebagai bencana untuk tindakan pemanasan global dan mengatakan 143 pemerintah yang berjanji untuk menghentikan dan membalikkan hilangnya hutan pada 2030 di COP26 yang diadakan di Glasgow, harus segera memenuhi komitmen mereka.

Deforestasi di hutan hujan Ituri, berada di timur laut Republik Demokratik Kongo. Negara ini termasuk dalam lima besar yang mengalami deforestasi terluas pada 2021. Foto: Hugh Kinsella Cunningham/EPA

Hutan hujan primer yang hilang pada 2021 melepaskan emisi setara dengan emisi bahan bakar fosil tahunan Indonesia. Brasil kehilangan paling besar, sebanyak 40% dari luas total. Diikuti oleh Republik Demokratik Kongo, Bolivia, Indonesia, dan Peru dalam peringkat lima besar.

Di sisi lain, para ahli menggarisbawahi masih ada harapan. Indonesia disebut mengurangi kehilangan hutan primer selama lima tahun berturut-turut menyusul tindakan pemerintah terhadap minyak kelapa sawit, pengelolaan kebakaran, dan rencana iklim nasional yang diperbarui yang berkomitmen untuk menjadi penyerap karbon pada 2030.

Malaysia juga telah mengurangi hilangnya hutan primer dalam beberapa tahun terakhir, dan para ahli menunjukkan contoh dari Gabon dan Guyana, yang memiliki tingkat kehilangan hutan yang sangat rendah selama dua dekade terakhir.

Rod Taylor, direktur global program hutan di World Resources Institute (WRI), yang menyusun laporan tersebut, mengatakan meskipun tingkat kehilangan hutan global tampaknya datar, mereka perlu menurun secara dramatis agar dunia dapat memenuhi target iklim.

“Ketika melihat statistik tahun-ke-tahun yang tidak berubah, dapat disimpulkan bahwa mereka tidak benar-benar menawarkan berita utama yang layak diberitakan. Namun ketika sampai pada hilangnya hutan tropis primer, (data) secara terus-menerus meningkat, terkait dengan iklim, krisis kepunahan, dan nasib banyak orang. Tingkat kerugian yang tinggi terus berlanjut meskipun ada janji dari negara dan perusahaan,”kata Taylor.

Menurut angka-angka tersebut, ada lonjakan deforestasi yang sangat mengkhawatirkan di Amazon Brasil bagian barat, terkait dengan pembukaan skala besar untuk padang rumput ternak di sepanjang jalan.

Perluasan pertanian skala kecil dan pemanenan pohon untuk memenuhi kebutuhan energi mendorong hilangnya hutan di Republik Demokratik Kongo tahun lalu. Sementara itu Bolivia mengalami rekor hilangnya hutan primer karena pertanian dan kebakaran, termasuk di kawasan lindung.

Frances Seymour, seorang rekan senior di WRI, mengatakan angka 2021 harus diambil sebagai dasar untuk menilai janji COP26. Namun dia menggarisbawahi bahwa tindakan dramatis diperlukan, memperingatkan bahwa negara-negara yang mengambil tindakan tidak menerima cukup dukungan keuangan.

“Kami memiliki data selama 20 tahun yang menunjukkan hilangnya jutaan hektare hutan tropis primer saja setiap tahun. Tetapi kami tidak kehabisan jari menghitung jumlah tahun yang tersisa untuk menurunkan angka itu menjadi nol. Kita sudah tahu bahwa kerugian seperti itu adalah bencana bagi iklim. Mereka adalah bencana bagi keanekaragaman hayati. Mereka adalah bencana bagi masyarakat adat dan komunitas lokal,” kata Seymour.

“Kita harus secara dramatis mengurangi emisi dari semua sumber. Tidak ada yang harus berpikir lagi tentang menanam pohon daripada mengurangi emisi dari bahan bakar fosil. Keduanya harus dilakukan dan itu harus terjadi sekarang sebelum terlambat.

The Guardian