LIPUTAN KHUSUS:
Terhimpit Kemiskinan di Negara Kaya Sawit
Penulis : Hilman Afif Juru Kampanye Yayasan Auriga Nusantara
Beberapa penelitian menyebut, peningkatan produksi minyak kelapa sawit berdampak pada pengurangan kemiskinan. Namun fakta yang ada justru memperlihatkan hal berbeda.
OPINI
Jumat, 29 April 2022
Editor :
BETAHITA.ID - Bicara komoditas perkebunan unggulan tidaklah lepas dari kelapa sawit. Sudah bukan menjadi rahasia bahwa Indonesia termasuk produsen kelapa sawit terbesar di Dunia. Data Index Mundi mencatat bahwa pada 2021 Indonesia memiliki produksi kelapa sawit hingga mencapai 44.500 ribu Metrik Ton (MT), tertinggi dibandingkan Malaysia, Thailand, dan Kolombia.
Sebagai komoditas penghasil CPO yang sangat dibutuhkan Dunia, diskurus mengenai kelapa sawit terus berkembang tak hanya di kalangan pengusaha ataupun pemerintah, juga di civil society organization (CSO), non-government organization (NGO) bahkan di lembaga-lembaga riset dan penelitian. Diprediksi bahwa kebutuhan minyak sawit akan mengalami peningkatan 56 juta ton pada 2050 dari 2015 yang telah mencapai angka 174 juta ton.
Sebagai penghasil minyak kelapa sawit terbesar di Dunia, sudah pasti industri ini sangat berdampak pada pembangunan negeri terutama dalam konteks perekonomian. Minyak kelapa sawit menjadi komoditas penting yang berdampak langsung pada pendapatan Negara.
Data BPS menunjukkan angka ekspor minyak kelapa sawit di 2019 sebesar 29,5 juta ton, lebih besar 0,2 juta ton dari tahun sebelumnya. Dengan total produksi minyak kelapa sawit di 2019 mencapai 48,4 juta ton, naik sekitar 12 persen dari 2018.
Angka tersebut berasal dari beberapa status pengusahaan lahan, antara lain perkebunan besar negara sebesar 2,1 juta ton (4 persen), perkebunan besar swasta 30,1 juta ton (62 persen), dan perkebunan rakyat (smallholders) 16,2 juta ton (34 persen).
Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) mencatat, 70 persen dari produksi sawit 2018 dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan ekspor, dan 30 persen sisanya untuk konsumsi dalam negeri. Nilai sumbangan devisa minyak kelapa sawit Indonesia sepanjang 2018 mencapai USD20,54 miliar atau setara Rp289 triliun.
Sedangkan pada 2019 nilai ekspor minyak kelapa sawit dengan HS code 15111000 (CPO) dan 15119000 (Other Palm Oil) mencapai kisaran USD15,9 miliar atau hampir setara dengan Rp211 triliun. Meskipun mengalami penurunan, minyak kelapa sawit tetap memberikan kontribusi yang besar terhadap perekonomian di Indonesia.
Tutupan Perkebunan Sawit di Indonesia Mencapai 16,5 Juta Hektare
Perkebunan kelapa sawit di Indonesia terus mengalami penambahan luas kawasan dalam kurun waktu 20 tahun ke belakang. Meskipun data tentang luasan lahan perkebunan di Indonesia cenderung variatif--bergantung pada lembaga yang merilis.
Namun pada intinya ekspansi perkebunan kelapa sawit di Indonesia terus terjadi. Beberapa lembaga, baik dari pemerintah seperti BPS dan Kementerian Pertanian, perhimpunan seperti GAPKI, dan NGO seperti Auriga Nusantara memiliki data luas kawasan yang berbeda.
Auriga Nusantara menganalisa data tutupan sawit nasional pada 2019. Pemetaan tutupan lahan perkebunan kelapa sawit menggunakan interpretasi visual citra satelit SPOT 6/7 2018 dan Citra Satelit 8 2020. Dari data yang dihasilkan, diketahui tutupan lahan perkebunan sawit di Indonesia pada 2019 mencapai 16,5 juta hektare.
Data yang disajikan pada Grafis 1. memperlihatkan luas perkebunan kelapa sawit tertinggi dimiliki oleh Provinsi Riau, diikuti oleh Sumatera Utara, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Sumatera Selatan, Jambi, Kalimantan Selatan, Sumatera Barat dan Aceh. Provinsi Riau menguasai 19 persen dari total luasan tutupan perkebunan di Indonesia.
Mapbiomass Indonesia merilis data tutupan lahan berupa data time series dalam rentang waktu 2000-2019. Data itu dapat diakses secara terbuka oleh publik. Data yang disajikan menunjukkan, luas perkebunan kelapa sawit terus mengalami kenaikan.
Dari 2000 hingga 2019 luas perkebunan sawit mengalami kenaikan dengan luas total yaitu 8,7 juta hektare. Angka tersebut sama besarnya dengan luasan daerah Provinsi Riau. Jika ekspansi kawasan perkebunan sawit terus terjadi maka besar kemungkinan kawasan yang memiliki potensi untuk dikonversi seperti hutan akan terus mengalami penurunan luas kawasan.
Pertumbuhan luas kawasan perkebunan kelapa sawit seperti yang terlihat pada grafis di atas, tentunya linier dengan deforestasi yang terjadi di Indonesia. Meskipun beberapa pernyataan mengungkapkan bahwa lahan sawit bukan penyebab langsung dari deforestasi.
Faktanya beberapa perkebunan kelapa sawit berada di atas lahan dengan fungsi hutan. Auriga Nusantara, manganalisa keberadaan lahan perkebunan kelapa sawit yang berada di dalam kawasan hutan. Dari analisa diketahui bahwa total luasan tutupan sawit yang berada di dalam kawasan hutan mencapai 3,3 juta hektare.
Dari grafis yang ditampilkan, jika dilihat berdasarkan region, Sumatera dan Kalimantan memiliki angka luas lahan sawit di dalam kawasan hutan terluas dibandingkan region lainnya. Sawit dalam kawasan hutan di Region Sumatera sebesar 2,2 juta hektare. Kalimantan berada menyusul dengan total luasan kurang lebih 1 juta hektare.
Masih berdasarkan data yang dirilis oleh Auriga Nusantara. Menurut klasifikasi region, pada 2019 provinsi dengan perkebunan sawit terluas di Indonesia diduduki oleh Sumatera, dengan total luas lahan mencapai 9.606.130,60 hektare.
Peringkat kedua diduduki oleh Kalimantan dengan luasan 6.142.175,90 hektare. Disusul oleh Sulawesi dengan luas total 439.910,03 hektare, Papua seluas 275.724,64 hektare, Jabalnusa (Jawa, Bali, Nusa Tenggara) 37.410,25 hektare dan yang terakhir Maluku dengan luas lahan 22.298,26 hektare.
Merujuk pada Grafis 3 dan 4, dapat diartikan bahwa lebih dari 22 persen lahan perkebunan di Sumatera dan 17,7 persen lahan perkebunan di Kalimantan berada di dalam kawasan dengan fungsi hutan. Jika terus dibiarkan dan tidak ada tindakan lebih lanjut yang dilakukan untuk mengatasi “keterlanjuran” yang ada, maka kemungkinan Merujuk pada Grafis 3 dan 4, artinya lebih dari 22 persen lahan perkebunan di Sumatera dan 17,7 persen lahan perkebunan di Kalimantan berada di dalam kawasan dengan fungsi hutan.
Jika terus dibiarkan dan tidak ada tindakan lebih lanjut yang dilakukan untuk mengatasi “keterlanjuran” yang ada, maka potensi terjadinya ekspansi lahan perkebunan di dalam kawasan hutan masih sangat terbuka lebar.
Dari data-data yang telah dijelaskan sebelumnya, sekiranya cukup bagi penulis untuk menjawab bahwa kehadiran korporasi, terutama dalam hal ini industri perkebunan kelapa sawit sangat berpotensi memberi dampak pada deforestasi yang terjadi di Indonesia.
Kemiskinan Merajalela di Provinsi Kaya Sawit
Dari total 16,5 juta hektare tutupan kelapa sawit nasional, sebanyak 58 persennya berada di pulau Sumatera. Sisanya, 37,17 persen berada di Kalimantan, 2,66 persen di Sulawesi, 1,67 persen Papua, 0,23 persen Jawa-Bali-Nusa dan 0,13 persen berada di Maluku.
Sebanyak 6 dari 10 provinsi kaya sawit berada di Pulau Sumatera. Sudah seharusnya kemiskinan di Pulau Andalas--terutama 6 provinsi kaya sawit di Sumatera--dapat diatasi, mengingat total pajak yang didapatkan dari perkebunan sawit selalu mengalami kenaikan tiap tahunnya.
Dari beberapa penelitian juga menyebutkan bahwa peningkatan produksi minyak kelapa sawit berdampak dalam pengurangan kemiskinan. Seperti yang dikatakan oleh PASPI (2014), penurunan penduduk miskin akan lebih cepat di sentra kelapa sawit dibandingkan daerah non sentra.
Namun fakta yang ada justru memperlihatkan hal berbeda. Mengacu pada data yang dirilis oleh BPS mengenai profil kemiskinan, 2 dari 6 provinsi kaya sawit di Pulau Sumatera masih memiliki persentase penduduk miskin di atas rata-rata Nasional.
Mengutip data BPS Sumatera Selatan (Sumsel) tentang Indikator Kesejahteraan Rakyat yang dirilis pada 2020, terdapat beberapa daerah yang memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi yang rendah dan kemiskinan yang tinggi pada 2019.
Daerah tersebut antara lain Musi Banyuasin, Ogan Ilir, OKI, dan Musirawas Utara (Muratara). Dari analisa yang dilakukan oleh Auriga Nusantara, tutupan perkebunan kelapa sawit di Sumsel tertinggi diduduki oleh Kabupaten Musi Banyuasin.
Dari data terlampir, sekitar 30 persen perkebunan kelapa sawit di Sumsel berada di Kabupaten Musi Banyuasin dengan luasan 418.175,43 hektare. Sebagai kabupaten yang memiliki areal perkebunan kelapa sawit terluas di Provinsi Sumatera Selatan, seharusnya kehadiran perusahaan perkebunan dapat memberikan kontribusi penyumbang kesejahteraan bagi masyarakat paling tidak dalam penyediaan lapangan pekerjaan.
Jika dilihat dari segi pertumbuhan ekonomi dan tingkat pengangguran terbuka (TPT), Musi Banyuasin termasuk salah satu wilayah yang memiliki tingkat pengangguran terbuka tertinggi dibandingkan dengan kota/kabupaten lain yang berada di Provinsi Sumsel.
Padahal di daerah tersebut terdapat lebih dari 10 perusahaan perkebunan kelapa sawit yang terdaftar di dokumen Direktori Perusahaan Perkebunan Kelapa Sawit pada 2020. Daftar perusahaan dapat dilihat dalam Tabel 2.
Jika tidak mampu memberikan lapangan pekerjaan secara langsung di dalam perusahaan, paling tidak ada dampak yang dihadirkan perusahaan dalam memberi manfaat bagi masyarakat sekitar baik dalam kerjasama usaha penyediaan barang atau jasa.
Meskipun mengalami pertumbuhan unit UKM yang bersinggungan dengan kehadiran perusahaan perkebunan kelapa sawit di skala nasional, namun faktanya hal tersebut tidak juga dapat mengentaskan kemiskinan, terutama dalam konteks tulisan ini di kabupaten Musi Banyuasin sebagai daerah kaya sawit.
Dari segi pendapatan bagi daerah, sebagai komoditas ‘kesayangan’, sawit jelas memberi kontribusi yang besar terutama dari segi pendapatan pajak untuk Negara, kurang lebih seperti yang sudah penulis paparkan pada paragraf pertama. Penarikan pajak yang dilakukan oleh negara tidak hanya masuk ke pemerintah pusat, namun turut menjadi pendapatan bagi daerah.
Muncul pertanyaan besar di kepala penulis, lantas apa faktor yang membuat kemiskinan di daerah kaya sawit masih terjadi? Apakah tidak optimalnya realisasi pajak dari industri oleh Negara? Atau apakah kehadiran industri kelapa sawit di Indonesia sebenarnya tidak memiliki korelasi apapun dalam meningkatkan kesejahteraan paling tidak di sekitar areal konsesi?
Penerimaan Pendapatan Daerah dari Pajak Industri Sawit
Melalui Desentralisasi Fiskal, pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk mengelola sumber pendanaan dan pengelolaan belanjanya. Pendanaan Desentralisasi Fiskal ditransfer ke daerah melalui Dana Bagi Hasil.
Dana Bagi Hasil adalah pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah berdasarkan angka persentase untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Dalam konteks industri perkebunan, objek pajaknya adalah pajak bumi dan bangunan (PBB).
Mengacu pada Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, Dana Bagi Hasil dari penerimaan PBB sebesar 90 persen disalurkan untuk daerah dengan rincian 16,2 persen untuk provinsi, 64,8 persen untuk kabupaten/kota, 9 persen untuk BP-PBB (Biaya Pemungutan Pajak Bumi Bangunan). Sisanya, sebesar 10 persen masuk ke dalam Rekening Kas Pemerintah Pusat.
Pajak sebagai salah satu instrumen perekonomian memiliki beberapa fungsi seperti budgeter dan regulerend. Sebagai budgeter keberadaan pajak dijadikan sebagai sumber dana pemerintahan untuk membiayai pengeluaran Negara.
Pajak dalam konteks fungsi budgeter merupakan alat untuk memasukkan uang sebanyak-banyaknya ke dalam kas Negara yang pada waktu tertentu digunakan untuk membiayai pengeluaran rutin.
Sedangkan fungsi pajak sebagai regulerend yaitu pajak dijadikan sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan pemerintah terutama dalam bidang sosial dan ekonomi. Melalui fungsi regulerend pajak digunakan sebagai tombak utama dalam menghadirkan kesejahteraan untuk rakyat.
Dari data realisasi pajak yang dimiliki Auriga, diketahui bahwa pungutan pajak dari industri perkebunan kelapa sawit dan industri minyak makan kelapa sawit Provinsi Sumsel yang masuk ke dalam kas Negara selalu mengalami peningkatan meskipun pungutan pajak yang diperoleh dari PPN mengalami penurunan. Data pendapatan pajak dapat dilihat pada grafis berikut.
Data ini didapatkan dari penghitungan PBB, PPh Pasal 22, PPh Pasal 25 dan 29, dan PPN yang diterima oleh Negara. Pada 2019 total pendapatan pajak di Provinsi Sumsel dari perkebunan kelapa sawit mencapai Rp300,9 miliar.
Rinciannya, dari PBB sebesar Rp101,6 miliar, PPh Pasal 22 Rp9,9 miliar, PPh Pasal 25 dan 29 sebesar Rp16,1 miliar dan PPN (Pajak Pertambahan Nilai) sebesar Rp173,1 miliar.
Penulis mencoba untuk mengungkap berapa kemungkinan besaran pajak yang diperoleh oleh Kabupaten Musi Banyuasin dari perkebunan kelapa sawit.
Jika mengacu pada persentase pembagian DBH dari objek PBB yang termuat dalam Undang-Undang Perimbangan Keuangan, DBH yang ditransfer dengan asumsi persentase luasan perkebunan kelapa sawit yang dimiliki oleh Kabupaten Musi Banyuasin sebesar 30 persen, maka angka DBH Pajak yang diperoleh dari PBB pada tahun 2019 hanya sekitar Rp16,3 miliar.
Itu pun jika realisasi pemungutan objek pajak berjalan secara optimal. Angka tersebut cukup kecil jika dibandingkan dengan total pendapatan yang diperoleh dari Dana Perimbangan, hanya berkisar 0,82 persen yang bersumber dari DBH Pajak PBB Perkebunan Kelapa Sawit.
Perbaikan Regulasi Dana Bagi Hasil Sawit
Melihat begitu kecilnya pendapatan yang diperoleh dari industri perkebunan kelapa sawit oleh salah satu kabupaten “sentra sawit”, penulis beranggapan, pemerintah harus segera melakukan perbaikan terhadap mekanisme DBH untuk industri sawit.
Beberapa hal yang sangat mungkin untuk dilakukan oleh pemerintah pusat. Pertama, perlu sinkronisasi dan updating data mengenai luas tutupan perkebunan kelapa sawit agar PBB dapat diadministrasikan dengan baik. Selama ini, PBB dari industri sawit dipungut berdasarkan luasan perkebunan yang tertera pada HGU, padahal di lapangan masih banyak perusahaan memiliki areal tanam yang tidak sesuai dengan luasan yang tertera pada HGU.
Kedua, perlu adanya perbaikan alokasi penggunaan pendapatan yang diperoleh dari DBH Pajak industri perkebunan kelapa sawit. Selain untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar perkebunan, DBH seharusnya digunakan untuk pengembangan pengelolaan lahan terutama untuk petani sawit mandiri.
Kehadiran industri sawit memacu lahirnya petani-petani mandiri di sekitar areal perusahaan. Sebagai salah satu entitas penyokong pendapatan bagi Negara, pengelolaan perkebunan sawit mandiri sangat timpang jika dibandingkan dengan pengelolaan yang dilakukan oleh korporasi. Hal ini terjadi karena keterbatasan modal yang dimiliki oleh petani sawit mandiri.
Ketiga, perbaikan kerangka regulasi DBH secara menyeluruh. DBH perkebunan kelapa sawit selama ini didapat dari PBB dan PPh Pasal 25 dan 29. Berbeda dengan industri kehutanan dan pertambangan yang masuk kedalam DBH-SDA.
Sebagai komoditas penyumbang pendapatan terbesar, seharusnya ada mekanisme tersendiri untuk Dana Bagi Hasil dari industri kelapa sawit. Hal ini selaras dengan kajian yang dilakukan oleh Auriga Nusantara, hadirnya rancangan undang-undang tentang hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dapat menjadi pintu masuk untuk menyusun kerangka regulasi terkait DBH khusus industri perkebunan kelapa sawit.
Ekspansi lahan perkebunan kelapa sawit yang begitu masif nyatanya tidak berimbang dengan pemasukan yang didapat oleh daerah. Melihat harga TBS sawit yang selalu mengalami kenaikan pun menjadi ironi jika dikaitkan dengan pendapatan yang diperoleh oleh daerah dari industri kelapa sawit. Jika hal ini terus terjadi maka janji-janji kesejahteraan hanya akan menjadi jargon semata.