LIPUTAN KHUSUS:
Lebih dari Separuh Perusahaan Sawit di Papua Tak Berizin
Penulis : Aryo Bhawono
Sebanyak 35 dari 54 perusahaan perkebunan kelapa sawit di Papua tak berizin. Pemerintah Provinsi Papua telah merekomendasikan kepala daerah untuk mencabut izinnya.
Sawit
Rabu, 13 April 2022
Editor : Sandy Indra Pratama
BETAHITA.ID - Sebanyak 35 dari 54 perusahaan perkebunan kelapa sawit di Papua tak memiliki izin. Pemerintah Provinsi Papua telah merekomendasikan kepala daerah di bawahnya untuk mencabut izin.
Kajian Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Papua mengidentifikasi setidaknya 35 perusahaan kelapa sawit di provinsi itu tidak memiliki izin. Status izin seluruh perusahaan tersebut tidak aktif.
Kepala Bidang Perkebunan di Dinas Pertanian dan Pangan Papua, Karel Yarangga, menyebutkan 35 perusahaan ini merupakan bagian dari 54 perusahaan perkebunan kelapa sawit di Papua.
“Sudah di review dan ada tiga kategori, pertama sangat berat untuk dilanjutkan, kedua masih proses klarifikasi oleh lembaga yang memiliki wewenang, dan ketiga hampir tidak ada kendala atau aman,” ucapnya dalam Seminar ‘Mendorong Pemerintah Daerah untuk Melakukan Review Izin Perkebunan Kelapa Sawit di Papua’ di Jayapura pada Jumat lalu (8/4/2022).
Sebanyak 35 perusahaan tersebut masuk dalam kategori pertama, yakni memiliki izin yang tidak aktif. Sedangkan 19 perusahaan masuk dalam kategori dua dan tiga.
Perusahaan dengan izin tidak aktif tersebar di delapan kabupaten, yakni Boven Digoel (14 perusahaan), Jayapura (6), Keerom (5), Mappi (2), Merauke (2), Mimika (1), Nabire (2), dan Sarmi (3).
“Kami telah menyerahkan rekomendasi kepada kepala daerah di kabupaten untuk melakukan tindak lanjut pencabutan,” imbuhnya.
Bupati Jayapura, Mathius Awoitauw, yang turut hadir dalam seminar tersebut menyebutkan dirinya tengah meminta akademisi dari Universitas Cenderawasih untuk melakukan analisis hukum atas izin perusahaan tersebut. Analisis ini akan menjadi dasar untuk menindaklanjuti rekomendasi dengan pencabutan.
Ia mengaku analisis ini diperlukan agar meminimalisir dan mempersiapkan gugatan yang mungkin akan dilakukan perusahaan jika izinnya dicabut.
“Kami meminta kajian hukum dari akademisi di Universitas Cenderawasih. Paling tidak ini merupakan upaya antisipasi dan pembelajaran jika ada upaya hukum seperti yang dilakukan perusahaan perkebunan kelapa sawit di Sorong,” ujarnya.
Sekretaris Eksekutif Jaringan Kerja Rakyat (Jerat) Papua, Septer Manufandu, mengungkap selama ini koordinasi dan supervisi KPK telah memberikan tenggat waktu untuk melaksanakan rekomendasi pencabut izin kepala daerah terhadap perkebunan sawit yang tak berizin hingga Juli mendatang. Pemerintah daerah mesti bergegas untuk melaksanakan rekomendasi ini.
Paling tidak terdapat tiga kabupaten yang menjadi prioritas penanganan, yakni Keerom, Nabire, dan Sarmi. Sebanyak 11 perusahaan sawit tidak berizin berada di tiga kabupaten ini.
Ia menekankan perkebunan sawit tak memiliki dampak baik bagi masyarakat Papua. Malah hutan alam milik masyarakat adat terancam kian menyempit karena keberadaan perusahaan ini.
Sedangkan Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Papua, Maikel Primus Peuki, menyebutkan rata-rata deforestasi di Papua sepanjang 2000-2019 mencapai 34.918 hektar per tahun. Salah satu penyebab deforestasi ini adalah pembukaan lahan untuk perkebunan sawit.
“Maraknya perkebunan pun justru membuat orang Papua menjadi buruh di tanahnya sendiri, belum lagi dampak buruk perkebunan ini bagi lingkungan, termasuk soal pencemaran pestisida,” ucap dia.