LIPUTAN KHUSUS:

Istana Persilakan Pemilik Tanah di Wilayah IKN Ajukan Klaim


Penulis : Tim Betahita

Pemerintah mencoba mengatur, mengendalikan, dan mengantisipasi permasalahan pertanahan yang ada.

Agraria

Senin, 21 Maret 2022

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Kantor Staf Presiden menyatakan semua pihak yang merasa memiliki tanah di wilayah Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara dapat mengajukan klaim.

Deputi II Kepala Staf Kepresidenan RI Abetnego Tarigan mengatakan, klaim bisa disampaikan kepada tim yang dibentuk Gubernur Kalimantan Timur, yakni Kanwil Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kaltim dan Kantor Pertanahan Balikpapan.

“Pihak yang memiliki info dan data, baik mengenai indikasi kepemilikan masyarakat adat ataupun indikasi konflik lainnya, dapat menyampaikan kepada tim yang dibentuk gubernur, untuk menjadi bagian yang ditelaah dalam proses kerja yang sudah berjalan,” kata Abetnego dalam siaran pers di Jakarta, Senin, 21 Maret 2022, seperti diberitakan Tempo dari Antara.

Dia mengatakan mekanisme ini diatur dalam Pergub Kalimantan Timur No 6/2020 tentang pengendalian peralihan penggunaan tanah dan perizinan pada kawasan calon Ibu Kota Negara dan kawasan penyangga.

Tampak dari ketinggian areal PT ICTI Hutani Manunggal milik Sukanto Tanoto yang masuk dalam kawasan IKN baru./Foto: Jatam Kaltim

Sebagai informasi, terdapat beberapa kategori lokasi yang akan digunakan untuk pembangunan IKN. Kategori lokasi tersebut terdiri dari zona inti dan zona-zona pengembangan yakni, Kawasan Inti Pusat Pemerintahan seluas 6.671 hektare, Kawasan IKN 56.180 hektare, dan Wilayah Darat IKN 256.142 hektare.

Abetnego memastikan, tidak ada penguasaan tanah pada zona Kawasan Inti Pusat Pemerintahan, karena merupakan lahan segar kawasan hutan.

Sedangkan terhadap zona pengembangan, ujar dia, terdapat indikasi penguasaan-penguasaan existing, baik oleh masyarakat, perusahaan, institusi, ataupun pihak lain terkait.

“Areal itu yang saat ini dilakukan inventarisasi dan verifikasi oleh Kanwil BPN Kaltim dan Kantor Pertanahan Balikpapan,” terangnya.

Ia menambahkan, saat ini tim juga menangani beberapa klaim, baik yang datang dari masyarakat adat, seperti ahli waris Kesultanan Kutai, maupun klaim dari 14 kelompok tani di lokasi IKN.

Dia juga mengutarakan, pemerintah saat ini sedang menyusun peraturan pelaksana UU IKN. Salah satunya, sebut dia, Rancangan Perpres tentang perolehan, penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah, serta pembatasan pengalihan hak atas tanah di Ibu Kota Nusantara.

“Aturan tersebut akan mengatur, mengendalikan, dan mengantisipasi permasalahan pertanahan yang ada,” jelas Abetnego.

Memupuk Konflik Tenurial di Area IKN

Tumpang tindih kepemilikan tanah marak terjadi di kawasan Ibu Kota Negara (IKN). Lagi-lagi komunitas adat menjadi pihak yang paling terpinggirkan. Konflik pun membayang di kota yang hendak menjadi etalase Indonesia itu. 

Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional  (BRIN), Dedi Supriadi Adhuri, mengungkapkan tumpang tindih kepemilikan lahan di IKN cukup rumit, yakni antara perusahaan, transmigran, dan komunitas adat. Lahan konsesi masuk hingga ke desa-desa yang dihuni oleh transmigran. 

Sedangkan hak masyarakat adat sendiri sudah lama hilang sejak pemerintah, masa orde baru, memberikan konsesi kepada perusahaan. 

“Persoalan tanah di sana memang njelimet, antara faktual dan status di atas kertas,” ucap Dedi dalam Diskusi ‘Ngobrol Asik (Ngaso):  Nasib Wilayah Penguasaan Masyarakat Pasca IKN’ yang digelar oleh Forest Watch Indonesia (FWI) secara daring.

Masyarakat adat sama sekali tidak punya bukti penguasaan tanah, karena pada masa lalu kebijakan dan pelayanan masih terbatas. Ketika pemerintah kembali memastikan secara sepihak bahwa lahan itu milik negara melalui hukum dan peraturan lain, masyarakat adat tidak berdaya. Batas-batas alam yang menjadi tanda wilayah penguasaan telah hilang dengan adanya operasi perusahaan.

“Realitasnya karena sudah ada logging dan perkebunan, sehingga batas alam sudah tidak ada, sudah berubah, dan sulit memetakan wilayah adat karena itu,” jelas dia.

Kondisi ini diperburuk dengan kehadiran broker tanah yang sudah berkeliaran sejak dua tahun sebelum RUU IKN disahkan oleh DPR. Menurut penuturan warga yang didengar Dedi, mereka datang dengan berkoper-koper uang dan menetap selama sebulan lebih untuk mengincar tanah. 

Tanpa dukungan status lahan kuat dari pemerintah pun kemudian komunitas adat semakin lemah. Kini mereka justru merasa terancam dengan proyek IKN dan mulai ‘berkacak pinggang’ serta siap terlibat konflik.

“Itu yang kami khawatirkan. Padahal selama ini konflik diantara mereka tidak banyak terjadi, relasi dengan transmigran lebih harmonis. Ini membuka tensi baru,” ungkapnya.

Peneliti Perkumpulan Lingkar Pembaruan Desa dan Agraria (Karsa), Yando Zakaria, mengungkapkan pastinya IKN akan membawa dampak revolusi demografis di Kabupaten Penajam Paser Utara. 

Perubahan ini terjadi karena migrasi besar-besaran. Ia mengingatkan hal yang perlu diantisipasi adalah dampak negatif terhadap komunitas lokal. 

“Minimal meniadakan proses ‘betawiisasi’, yakni tuan rumah yang tersingkir dari karena pembangunan yang masif,” kata dia.

Menurutnya masyarakat adat di lokasi kawasan IKN menghadapi ketidakpastian hukum. Kerangka hukum yang ada saat ini tidak bisa digunakan untuk mengatasi masalah kepastian tenurial masyarakat adat setempat. 

Pemerintah pun perlu melakukan kajian dan pengembangan ‘desain rekayasa sosial’ yang dapat menempatkan masyarakat lokal sebagai pemain utama.