LIPUTAN KHUSUS:
Sikap Jokowi Sudah Final Soal IKN
Penulis : Tim Betahita
Presiden Joko Widodo menyampaikan pemindahan ibu kota negara sudah menjadi kesepakatan bersama. Ini responnya terhadap penolakan.
Agraria
Rabu, 23 Februari 2022
Editor : Sandy Indra Pratama
BETAHITA.ID - Presiden Joko Widodo menyampaikan pemindahan ibu kota negara sudah menjadi kesepakatan bersama. Hal itu ia sampaikan merespons sejumlah penolakan terkait pemindahan ibu kota negara ke IKN Nusantara.
Jokowi mengatakan sebagian besar anggota DPR telah menyetujui usulan pemerintah itu. Dia berkata seharusnya tidak ada lagi penolakan di masyarakat.
"Sebuah perubahan besar, gagasan besar, pasti ada pro dan kontra. Ada yang setuju, ada yang tidak setuju, tetapi dalam sistem politik kita jelas bahwa UU-nya sudah disetujui oleh DPR dan disetujui 8 fraksi dari 9 fraksi," kata Jokowi dalam peresmian Nasdem Tower di Jakarta, Selasa (22/2) seperti ditulis CNNIndonesia.com.
Mestinya tidak dipertentangkan lagi, mestinya," ucap Jokowi.
Jokowi menjelaskan pemindahan ibu kota negara dilakukan untuk pemerataan pembangunan. Dia berkata selama ini pembangunan terlalu berfokus di Jawa, terutama di Jakarta.
Mantan Gubernur DKI Jakarta itu menerangkan 156 juta penduduk atau sekitar 56 persen populasi ada di Pulau Jawa. Padahal, Indonesia memiliki lebih dari 17 ribu pulau.
Hal itu berdampak kepada pemerataan ekonomi. Dia menyebut 58 persen produk domestik bruto (PDB) Indonesia bertumpu di Pulau Jawa.
"Yg terjadi adalah ketimpangan antarwilayah, ketimpangan infrastruktur antara Jawa dan luar Jawa. Inilah kenapa juga kepindahan ibu kota ini sudah digagas sejak lama," ujar Jokowi.
Sebelumnya, sebagian masyarakat menolak pemindahan ibu kota negara ke IKN Nusantara. Mantan penasihat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Abdullah Hehamahua menggugat Undang-Undang Ibu Kota Negara ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Mantan Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Din Syamsuddin juga hendak menempuh langkah serupa. Dia mengaku sedang menyiapkan permohonan uji materiel dan uji formil UU IKN.
BRIN Sendiri Ungkap Soal Potensi Konflik Tenurial
Tumpang tindih kepemilikan tanah marak terjadi di kawasan Ibu Kota Negara (IKN). Lagi-lagi komunitas adat menjadi pihak yang paling terpinggirkan. Konflik pun membayang di kota yang hendak menjadi etalase Indonesia itu.
Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Dedi Supriadi Adhuri, mengungkapkan tumpang tindih kepemilikan lahan di IKN cukup rumit, yakni antara perusahaan, transmigran, dan komunitas adat. Lahan konsesi masuk hingga ke desa-desa yang dihuni oleh transmigran.
Sedangkan hak masyarakat adat sendiri sudah lama hilang sejak pemerintah, masa orde baru, memberikan konsesi kepada perusahaan.
“Persoalan tanah di sana memang njelimet, antara faktual dan status di atas kertas,” ucap Dedi dalam Diskusi ‘Ngobrol Asik (Ngaso): Nasib Wilayah Penguasaan Masyarakat Pasca IKN’ yang digelar oleh Forest Watch Indonesia (FWI) secara daring.
Masyarakat adat sama sekali tidak punya bukti penguasaan tanah, karena pada masa lalu kebijakan dan pelayanan masih terbatas. Ketika pemerintah kembali memastikan secara sepihak bahwa lahan itu milik negara melalui hukum dan peraturan lain, masyarakat adat tidak berdaya. Batas-batas alam yang menjadi tanda wilayah penguasaan telah hilang dengan adanya operasi perusahaan.
“Realitasnya karena sudah ada logging dan perkebunan, sehingga batas alam sudah tidak ada, sudah berubah, dan sulit memetakan wilayah adat karena itu,” jelas dia.
Kondisi ini diperburuk dengan kehadiran broker tanah yang sudah berkeliaran sejak dua tahun sebelum RUU IKN disahkan oleh DPR. Menurut penuturan warga yang didengar Dedi, mereka datang dengan berkoper-koper uang dan menetap selama sebulan lebih untuk mengincar tanah.
Tanpa dukungan status lahan kuat dari pemerintah pun kemudian komunitas adat semakin lemah. Kini mereka justru merasa terancam dengan proyek IKN dan mulai ‘berkacak pinggang’ serta siap terlibat konflik.
“Itu yang kami khawatirkan. Padahal selama ini konflik diantara mereka tidak banyak terjadi, relasi dengan transmigran lebih harmonis. Ini membuka tensi baru,” ungkapnya.
Peneliti Perkumpulan Lingkar Pembaruan Desa dan Agraria (Karsa), Yando Zakaria, mengungkapkan pastinya IKN akan membawa dampak revolusi demografis di Kabupaten Penajam Paser Utara.
Perubahan ini terjadi karena migrasi besar-besaran. Ia mengingatkan hal yang perlu diantisipasi adalah dampak negatif terhadap komunitas lokal.
“Minimal meniadakan proses ‘betawiisasi’, yakni tuan rumah yang tersingkir dari karena pembangunan yang masif,” kata dia.
Menurutnya masyarakat adat di lokasi kawasan IKN menghadapi ketidakpastian hukum. Kerangka hukum yang ada saat ini tidak bisa digunakan untuk mengatasi masalah kepastian tenurial masyarakat adat setempat.
Pemerintah pun perlu melakukan kajian dan pengembangan ‘desain rekayasa sosial’ yang dapat menempatkan masyarakat lokal sebagai pemain utama.
RUU IKN Dinilai Cacat Prosedural
Sebelum diundangkan, RUU IKN ini sendiri sudah menuai banyak kritik, dari berbagai pihak. RUU IKN ini dinilai cacat prosedural dan dianggap sebagai bentuk ancaman terhadap keselamatan ruang hidup masyarakat maupun satwa langka yang berada di Kaltim. Terutama yang terdampak dengan adanya proyek IKN, yaitu Kabupaten Penajam, Kabupaten Kutai Kartanegara dan Kota Balikpapan.
"Megaproyek IKN sendiri berpotensi akan menggusur lahan-lahan masyarakat adat, terutama masyarakat adat Suku Balik dan Suku Paser serta warga transmigran yang sudah lama menghuni di dalam kawasan 256 ribu hektare," kata juru bicara Koalisi Masyarakat Kaltim Menolak IKN, Buyung Marajo, dari Pokja 30 Kaltim.
Salah satu alasan pemerintah memindahkan Ibu Kota Negara adalah karena semakin meningkat dan kompleksnya permasalahan di DKI Jakarta. Pemerintah menilai DKI Jakarta tidak layak dari aspek daya dukung dan daya tampung. Koalisi menganggap, pemindahan Ibu Kota dari Jakarta ke Kaltim ini justru merupakan gambaran tidak becusnya pemerintah dalam menangani dan menyelesaikan segala permasalahan yang terjadi di Jakarta.
Sejauh pantauan Koalisi, pembahasan RUU IKN ini minim partisipasi publik. Padahal Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 menyebut, setiap undang-undang wajib ada partisipasi dari publik. Penetapan pemindahan IKN ke Kaltim, menurut Koalisi, keputusan politik tanpa dasar yang jelas, tidak partisipatif, dan tidak transparan.
"Cacat prosedural dalam penyusunan KLHK (Kajian Lingkungan Hidup Strategis) kembali terjadi dalam pembuatan RUU IKN. Dimana sebelumnya dilakukan secara tertutup, terbatas, dan tidak melibatkan masyarakat yang terdampak langsung dari pemindahan Ibu Kota," imbuh juru bicara lainnya Yohana Tiko, dari Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kaltim.
Masyarakat di wilayah lain juga akan terdampak dalam megaproyek ini, seperti ribuan aparutur sipil negara (ASN) Pemerintah Pusat di Jakarta dan sekitarnya, serta warga di Sulawesi Tengah. Belum lagi 2 kampung masyarakat adat yang hidup di sepanjang Sungai Kayan juga akan ditenggelamkan beserta 5 Kampung yang juga digusur paksa untuk pembangunan dam kecil pendukung Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Kalimantan Utara (Kaltara). Hal tersebut demi memasok listrik bagi situs perkantoran di IKN baru.
Adapun lahan IKN baru yang akan dibangun tidak lain merupakan lahan-lahan perusahaan sawit, HTI (Hutan Tanaman Industri), serta tambang yang merupakan milik dari para oligarki-oligarki yang dengan sengaja merusak hutan dan lahan. Di samping itu, Koalisi melihat pemindahan IKN ini juga terkesan sebagai agenda terselubung pemerintah guna menghapuskan dosa-dosa yang telah dilakukan oleh beberapa korporasi yang wilayah konsesinya masuk dalam wilayah IKN baru.
"Menurut catatan Jatam Kaltim, terdapat 94 lubang tambang yang berada di kawasan IKN, yang mana tanggung jawab untuk melakukan reklamasi dan pascatambang seharusnya dilakukan oleh korporasi, diambil alih dan menjadi tanggung jawab Negara," ungkap Pradarma Rupang Dinamisator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim.
RUU IKN disosialisasikan secara tertutup, termasuk pada saat kegiatan konsultasi publik RUU IKN yang diadakan di salah satu kampus terbesar di Kaltim, Universitas Mulawarman (Unmul), di Samarinda pada 11 Januari 2022 lalu, yang mendapat pertentangan dan penolakan dari Koalisi Kaum Muda Kaltim Anti Oligarki.
Koalisi pemuda itu menyerukan aksi boikot dan menolak pembahasan RUU IKN yang diadakan di Unmul. Koalisi pemuda menilai, konsultasi publik yang dilakukan oleh DPR RI dan Bappenas itu sangat tertutup, cenderung dipaksakan, serta tidak melibatkan masyarakat, terutama warga di kawasan rencana megaproyek IKN baru.
Koalisi Masyarakat Kaltim Menolak IKN menilai, sikap pemerintah yang memaksakan pemindahan IKN juga mencerminkan tidak sensitifnya rezim Jokowi-Ma’ruf Amin terhadap kondisi masyarakat yang tengah sulit, setelah hampir 2 tahun dilanda pandemi covid-19, yang mana banyak warga yang mengalami penurunan ekonomi. Dana yang digunakan untuk mewujudkan pemindahan IKN, akan sangat lebih berguna apabila digunakan untuk memenuhi kebutuhan dasar warga Negara, seperti kesehatan, pendidikan, dan lain sebagainya, yang sedang mengalami kesulitan.