LIPUTAN KHUSUS:
Beleid IKN Diteken Jokowi, Proyek Ibu Kota Baru Dimulai
Penulis : Tim Betahita
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara (UU IKN) resmi diundangkan.
Agraria
Jumat, 18 Februari 2022
Editor : Sandy Indra Pratama
BETAHITA.ID - Undang-Undang Ibu Kota Negara (UU IKN) sudah diundangkan di Kemenkumham usai ditandatangani Presiden Joko Widodo. Ini berarti proyek pembangunan ibu kota baru ke Kalimantan Timur segera dimulai.
Mengutip Antara, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara (UU IKN) resmi diundangkan pada Selasa lalu (15/2).
Menteri PPN/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa mengatakan pembangunan IKN akan menjadi awal peradaban baru bagi Indonesia.
"Dengan nama Nusantara, Ibu Kota Negara Republik Indonesia merepresentasikan konsep kesatuan yang mengakomodasi kekayaan kemajemukan Indonesia," kata Suharso seperti dilansir CNN Indonesia dari kantor berita Antara.
Presiden diketahui memiliki waktu 30 hari sejak RUU disetujui DPR untuk membubuhkan tanda tangan. Namun demikian, meski tak mendapat tanda tangan, RUU itu tetap sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan. Undang-undang mulai berlaku sejak tanggal diundangkan.
Pemerintah dan DPR sebelumnya menyetujui RUU IKN pada Sidang Paripurna DPR yang digelar pada 18 Januari 2022. Undang-undang itu akan menjadi landasan hukum perpindahan ibu kota negara dari DKI Jakarta ke Nusantara.
Ketua DPR RI, Puan Maharani pun telah menyambangi kawasan titik nol IKN Nusantara di Penajam Paser Utara (PPU), Kalimantan Timur. Politikus PDIP itu mengaku mau meninjau persiapan pembangunan IKN baru tersebut. Sementara Presiden Jokowi dikabarkan akan berkemah di lokasi calon ibu kota negara baru itu.
Di sisi lain, pemindahan IKN juga mendapat respon penolakan dari publik. Narasi Institute menginisiasi petisi daring berjudul "Pak Presiden, 2022-2024 Bukan Waktunya Memindahkan Ibukota Negara". Petisi diunggah di situs web change.org.
Petisi telah ditandatangani puluhan ribu orang. Narasi Institute juga mencantumkan beberapa nama tokoh yang mendukung petisi ini, seperti Din Syamsuddin dan Azyumardi Azra.
Walhi: IKN Banyak Merugikan Lingkungan Hidup
Manajer Kajian Kebijakan WALHI Satrio mengatakan, hasil studi Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) ibu kota negara baru menyebutkan tiga isu utama jika dipaksakan, yakni gangguan tata air dan risiko perubahan iklim, kerentanan flora dan fauna, serta pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup.
“Penetapan lokasi ibu kota negeri baru telah dilakukan terlebih dahulu secara politik tanpa adanya landasan hukum yang jelas dan tidak mempertimbangkan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup,” kata Satrio keterangan yang diterima Betahita.
WALHI mencatat, saat ini sistem hidrologi (air tanah) di lokasi IKN baru tidak memadai. Wilayah tangkap air yang terganggu berisiko pencemaran air dan kekeringan. Ada juga masalah sumber air bersih yang tidak memadai sepanjang tahun. “Tingginya konsesi tambang di lokasi IKN juga berpengaruh terhadap sistem hidrologi. Secara ekonomi pun berdampak pada meningkatnya biaya ekonomi terhadap pemanfaatan air.”
Dari sisi ancaman ekosistem, akan terjadi tekanan terhadap satwa liar yang berujung pada meningkatnya konflik antara satwa dan manusia. Ancaman serupa juga dikhawatirkan terjadi pada berbagai jenis flora dan fauna yang memiliki fungsi jasa ekosistem penting.
Pembangunan ibu kota negara juga akan mengancam keberadaan ekosistem mangrove di Teluk Balikpapan seluas 2.603,41 hektare. Hal ini karena pemerintah berencana menyulapnya menjadi kawasan industri dan satu-satunya pintu masuk jalur laut ke IKN. Teluk ini juga akan dijadikan satu-satunya jalur logistik untuk menyuplai kebutuhan pembangunan ibu kota baru.
Akibatnya, lebih 10 ribu nelayan yang setiap hari mengakses dan menangkap ikan di Teluk Balikpapan akan terdampak serius. Jumlah tersebut terdiri dari 6.426 nelayan dari Kabupaten Kutai Kartanegara, 2.984 nelayan di lima Kelurahan Maridan, Mentawir, Pantai Lango, Jenebora, Gresik dari Kabupaten Penajam Paser Utara, dan 1.253 nelayan dari Balikpapan.
Selain itu ada juga masalah pencemaran minyak. Pada kasus sebelumnya, lokasi tersebut adalah yang terdampak dari pencemaran minyak tumpahan Pertamina.
UU IKN Cacat Prosedural
Pembahasan RUU IKN ini minim partisipasi publik. Padahal Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 menyebut, setiap undang-undang wajib ada partisipasi dari publik. Penetapan pemindahan IKN ke Kaltim, menurut Koalisi, keputusan politik tanpa dasar yang jelas, tidak partisipatif, dan tidak transparan.
"Cacat prosedural dalam penyusunan KLHK (Kajian Lingkungan Hidup Strategis) kembali terjadi dalam pembuatan RUU IKN. Dimana sebelumnya dilakukan secara tertutup, terbatas, dan tidak melibatkan masyarakat yang terdampak langsung dari pemindahan Ibu Kota," imbuh juru bicara lainnya Yohana Tiko, dari Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kaltim.
Masyarakat di wilayah lain juga akan terdampak dalam megaproyek ini, seperti ribuan aparutur sipil negara (ASN) Pemerintah Pusat di Jakarta dan sekitarnya, serta warga di Sulawesi Tengah. Belum lagi 2 kampung masyarakat adat yang hidup di sepanjang Sungai Kayan juga akan ditenggelamkan beserta 5 Kampung yang juga digusur paksa untuk pembangunan dam kecil pendukung Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Kalimantan Utara (Kaltara). Hal tersebut demi memasok listrik bagi situs perkantoran di IKN baru.
Adapun lahan IKN baru yang akan dibangun tidak lain merupakan lahan-lahan perusahaan sawit, HTI (Hutan Tanaman Industri), serta tambang yang merupakan milik dari para oligarki-oligarki yang dengan sengaja merusak hutan dan lahan. Di samping itu, Koalisi melihat pemindahan IKN ini juga terkesan sebagai agenda terselubung pemerintah guna menghapuskan dosa-dosa yang telah dilakukan oleh beberapa korporasi yang wilayah konsesinya masuk dalam wilayah IKN baru.
"Menurut catatan Jatam Kaltim, terdapat 94 lubang tambang yang berada di kawasan IKN, yang mana tanggung jawab untuk melakukan reklamasi dan pascatambang seharusnya dilakukan oleh korporasi, diambil alih dan menjadi tanggung jawab Negara," ungkap Pradarma Rupang Dinamisator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim.