LIPUTAN KHUSUS:
Pusaka Desak Perlindungan Perempuan Adat Pembela Hutan Papua
Penulis : Tim Betahita
Perlindungan terhadap perempuan pembela hak asasi manusia dan lingkungan di Tanah Papua masih minim.
Hutan
Selasa, 30 November 2021
Editor : Sandy Indra Pratama
BETAHITA.ID - Yayasan Pusaka Bentala Rakyat menilai komitmen pemerintah Indonesia terhadap perlindungan masyarakat adat, khususnya perempuan asli Papua, masih minim. Sementara itu ekspansi perkebunan skala besar dan alih fungsi lahan terus mengancam keberlanjutan hidup Orang Asli Papua (OAP).
Padahal, perempuan adat Papua rentan mengalami diskriminasi maupun kekerasan akibat kecamuk kontestasi sumber daya alam di bumi cenderawasih, menurut lembaga tersebut. Dalam studi berjudul Mama ke Hutan, Pusaka memaparkan bagaimana perempuan tersingkir dari ruang hidup dan sumber penghidupan karena alih fungsi hutan menjadi perkebunan kelapa sawit.
“Hak milik tanah yang umumnya diwariskan kepada garis keturunan laki-laki, menyebabkan perempuan adat kerap disingkirkan dari arena pengambilan keputusan terkait sumber daya alam, dan pada kondisi tertentu, mereka harus berhadapan dengan bahaya berupa stigmatisasi, labelisasi, tekanan dan kekerasan saat memperjuangkan dan menyuarakan haknya,” terang Pusaka dalam keterangan tertulis yang diterima Betahita.
“Situasi ini juga dilandasi oleh meluasnya komodifikasi tanah bagi proyek-proyek swasta dan negeri skala besar, seperti perkebunan kelapa sawit, hutan tanaman industri, pertambangan, kawasan ekonomi khusus, hingga megaproyek food estate dari periode ke periode.”
Data Yayasan Auriga Nusantara, Tanah Papua kehilangan hutan alam seluas 663.443 hektare atau 34.918 hektare per tahun selama periode 2001-2019. Per 2019, sisa hutan mencapai 34,29 juta hektare dan terus berkurang setiap tahun.
Program lumbung pangan (food estate) milik pemerintah juga diyakini akan mengubah lanskap hutan di provinsi tersebut. Lokasi proyek tersebut direncanakan di atas lahan seluas 2.684.680 hektare di Papua Selatan, mulai dari Merauke, Boven Digoel, Mappi, hingga Yahukimo.
Menurut Pusaka, perubahan tutupan hutan sangat berpengaruh terhadap perempuan adat di Papua. Jika kehilangan ruang hidup, perempuan akan kehilangan akses terhadap hutan dan penghidupan. Aktivitas sehari-hari seperti berburu, meramu, menokok sagu, berkebun, mencari di laut dan kebun akan terhenti.
Ketika akses ke hutan hilang, perempuan adat Papua terpaksa menjadi buruh kelapa sawit. “Namun, dalam prosesnya mendapatkan kekerasan fisik dan seksual,” terang Pusaka.
Besarnya tantangan kultural dan sosial tidak menghalangi perempuan adat Papua memperjuangkan hak ulayatnya. Penelitian Pusaka sekaligus membeberkan bahwa motif terbesar terletak pada kesadaran bahwa hutan, tanah, sungai, dan udara merupakan bagian penting dan tak terpisahkan dari kehidupan.
Namun, hingga kini Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (CEDAW) tak kunjung diadopsi pemerintah. Perlindungan konstitusi atas hak non-diskriminasi perempuan asli Papua juga masih jauh dari kata maksimal, menurut Pusaka.
Dalam dokumen Joint-Submission kepada Komite Penghapusan Diskriminasi Terhadap Perempuan Sidang ke-80, yang dilakukan bersama Lembaga Advokasi Peduli Perempuan(eL- AdPPer) Merauke, Pemerintah Indonesia dinilai telah gagal mengadopsi kerangka kerja lintas sektoral untuk mengatasi diskriminasi dan hambatan yang dihadapi Perempuan Adat untuk kemajuan mereka. Sebaliknya, kebijakan pemerintah secara bersamaan melemahkan hak-hak masyarakat adat dan gagal melindungi hak-hak perempuan.
Matelda Baho, perempuan adat dari Suku Maybrat, menjelaskan proyek investasi di atas tanah adat sukunya mengubah lingkungan dan menciptakan konflik sosial. Menurut Matelda, identitas budaya marga Baho terancam punah akibat investasi perkebunan kelapa sawit.
“Kalau ada orang Baho yang lewat di hutan, mereka pakai pohon gnemon untuk kasih tanda. Kami orang Baho saja yang mengerti tanda itu. Perusahaan kelapa sawit datang, membongkar dan menggusur hutan. Pohon yang saya kasih tanda untuk keluarga lewat, perusahaan sudah kasih rusak,”ungkapnya.
Pohon Ganemo (gnetum gnemon linn) yang tumbuh di hutan dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai pangan dan bahan baku noken, sekaligus merupakan pohon sakral bagi Marga Baho.
Matelda mendesak kehadiran negara untuk mengakui, menghormati dan melindungi perempuan adat serta meminta seluruh pemangku kepentingan untuk menjaga lingkungan dan hutan, menghentikan berbagai bentuk kekerasan dalam bentuk apapun dan melibatkan perempuan adat dalam setiap pengambilan keputusan.
Yayasan Pusaka mengambil momentum 16 Hari Anti-Kekerasan Terhadap Perempuan (16HAKTP 20201) untuk menagih komitmen negara melindungi perempuan adat.
Staf Divisi Kampanye Yayasan Pusaka Amelia Puhili mengatakan, pemerintah harus mempercepat pengesahan rancangan undang-undang tentang pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat untuk memberikan kepastian ha katas tanah adat dan hak atas persetujuan atas dasar informasi awal tanpa paksaan (FPIC) dalam undang-undang nasional.
“Hentikan juga perluasan konsesi kelapa sawit, penebangan, dan pertambangan di atas tanah masyarakat adat yang dilakukan dengan mengabaikan prinsip persetujuan atas dasar informasi awal tanpa paksaan (FPIC), karena hal in iberpotensi mencemari ruang hidup dan merusak kemampuan mereka untuk memenuhi kebutuhan dasar,” kata Amelia.
Pemerintah juga didorong untuk bekerja sama dan proaktif terlibat dengan komunitas masyarakat adat, khususnya perempuan adat, untuk memastikan pemberdayaan perempuan dalam proses pengambilan keputusan saat merumuskan kebijakan yang berdampak pada masyarakat.
Pemerintah juga harus menghormati dan melindungi hak-hak perempuan adat dan menawarkan pengembangan kapasitas, pelatihan, layanan sosial, dan sumber daya, dengan cara yang sesuai dengan budaya melalui lembaga perwakilan masyarakat adat Papua.