LIPUTAN KHUSUS:

COP26 Gagal Sepakati Dana Kerusakan Akibat Perubahan Iklim


Penulis : Tim Betahita

Dalam konferensi, komitmen pemerintah negara kaya untuk membantu negara rentan terhadap perubahan iklim masih jauh dari kebutuhan.

Perubahan Iklim

Senin, 15 November 2021

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Konferensi Tingkat Tinggi untuk Perubahan Iklim atau COP26 di Glasgow, Inggris, gagal membentuk fasilitas pendanaan baru. Dana ini seharusnya ditujukan untuk negara-negara miskin dan berkembang yang rentan dengan pemanasan global.

Namun, Amerika Serikat, Uni Eropa, dan sejumlah negara kaya menolaknya. Pada pentupan konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tersebut sabtu lalu, para peserta hanya sepakat untuk mendorong isu kerugian dan kerusakan akibat perubahan iklim ke dalam Pakta Iklim Glasgow.

Di dalam pakta itu menyebutkan, “Perubahan Iklim telah dan akan semakin menyebabkan kerugian dan kerusakan, dan bawa, ketika suhu meningkatkan akan menimbulkan ancaman sosial, ekonomi, dan lingkungan semakin besar”.

Guinea, yang mewakili kelompok negara berkembang, mengungkapkan "kekecewaan yang sangat dalam" pada keputusan itu.

Aktivis lingkungan dan iklim dari berbagai dunia turut berkumpul di Glasgow selama COP26 untuk menyuarakan perubahan sistem kapitalistik yang diyakini mendorong terjadinya perubahan iklim. Foto: Istimewa

Negara-negara kepulauan, seperti Kepulauan Marshall, Fiji, Antigua dan Barbuda, yang khawatir wilayah mereka tergerus oleh kenaikan permukaan air laut juga menyampaikan ketidakpuasan mereka.

Mereka ingin fasilitas pendanaan untuk kerugian dan kerusakan lingkungan harus dibentuk segera. Idealnya adalah saat konferensi iklim di Mesir pada 2022.

Penasihat senior Climate Action Network International Harjeet Singh mengatakan, kegagalan menyediakan dana untuk membantu negara-negara miskin membayar biaya kerusakan alam berarti "kita berjalan dalam inci ketika harusnya bergerak dalam mil”.

Presiden World Resources Institute, lembaga pemikir yang berbasis di AS, Ani Dasgupta menyebut, COP26 akhirnya menempatkan isu sangat penting tentang kerugian dan kerusakan ke atas panggung utama. “Namun, dialog di Glasgow seharusnya bukan sekadar pembicaraan tapi menghasilkan rekomendasi tentang skala pendanaan yang diperlukan,” katanya.

AS dan Australia, khususnya, menghambat kemajuan untuk membentuk pendanaan baru bagi kerugian dan kerusakan akibat perubahan iklim. Kedua negara telah lama menolak wacana negara-negara industri dengan riwayat emisi karbon yang tinggi harus membayar kompensasi kepada negara-negara lain atas kerusakan yang mereka timbulkan.

Utusan iklim AS John Kerry mengatakan pihaknya memahami semakin banyak sumber daya yang diperlukan untuk membantu masyarakat di wilayah rentan. Tapi langkah awal perlu diambil untuk mencari tahu bagaimana dana itu diberikan dengan baik.

Sejumlah gagasan telah diusulkan tentang cara mendanai biaya kerugian dan kerusakan. Termasuk pula mengenakan pajak baru pada penjualan bahan bakar fosil atau penerbangan.

Negara-negara berkembang dalam sesi penutupan COP26 menyambut baik kemajuan dalam meningkatkan upaya untuk beradaptasi dengan perubahan iklim. Adaptasi itu mencakup pembangunan tanggul laut yang lebih tinggi untuk mencegah banjir, penampungan air hujan untuk irigasi, dan beralih ke tanaman pertanian yang tahan kekeringan.

Negara-negara peserta COP26 sepakat untuk meluncurkan program dua tahun untuk menetapkan "sebuah tujuan global tentang adaptasi”. Program ini sebenarnya sudah disepakati dalam Perjanjian Paris 2015 tapi belum jelas implementasinya hingga kini.

Ada juga kemajuan dalam penetapan target yang lebih ketat untuk membiayai adaptasi yang saat ini hanya seperempat dana iklim global terealisasi bagi negara-negara berkembang. Pada 2019 dana ini hanya terkumpul US$ 20 miliar (Rp283,8 triliun).

Pakta Glasgow mendesak negara-negara maju untuk "segera dan secara signifikan menambah" dana adaptasi dan minimal menggandakannya dari level 2019 hingga 2025. Hal ini pun sejalan dengan Perjanjian Paris 2015 untuk membiayai pemangkasan emisi dan adaptasi secara adil

Dalam konferensi, sejumlah pemerintah negara kaya menyampaikan komitmen baru senilai US$ 960 juta atau sekitar Rp13,6 triliun untuk membantu negara rentan terhadap perubahan iklim. Namun, jumlah dana yang dijanjikan itu masih jauh di bawah kebutuhan yang diperkirakan mencapai US$ 70 miliar per tahun.

PBB mengatakan angka itu akan menjadi US$ 300 miliar per tahun pada 2030. Direktur pelaksana Greenpeace International Jennifer Morgan mengatakan, negara-negara maju di COP26 akhirnya mulai merespons seruan negara-negara berkembang tentang pendanaan dan sumber daya untuk mengatasi kenaikan suhu.

Gabriela Bucher, kepala Oxfam International, menyebut komitmen untuk menggandakan dana adaptasi di COP26 masih kurang dari yang dibutuhkan. “Tapi apabila terealisasi akan menambah miliaran dolar untuk mendukung negara-negara berkembang,” katanya.

KATADATA|ANTARA