LIPUTAN KHUSUS:

Tren Keberlanjutan Pasar Global dan Dampak ke Petani Sawit Kecil


Penulis : Kennial Laia

Tren produk keberlanjutan yang digaungkan oleh pasar global berdampak pada petani sawit swadaya, yang masih kesulitan oleh berbagai aspek.

Sawit

Minggu, 10 Oktober 2021

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Petani sawit swadaya di Indonesia diharapkan dapat bersaing di pasar global. Untuk memenuhi hal tersebut, petani harus memenuhi kriteria keberlanjutan yang kini menjadi tolak ukur keberterimaan produk sawit.

Salah satu pasar tujuan Indonesia adalah Uni Eropa. Menurut Duta Besar Uni Eropa untuk Indonesia Vincent Piket, saat ini skema kerja sama perdagangan dan ekonomi antara keduanya bernama Indonesia-European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (I-EU CEPA sedang dalam tahap negosiasi.

Piket mengatakan, pasar Uni Eropa kini terbuka untuk produk sawit, termasuk Indonesia. Mayoritas produk dari Indonesia pun memiliki tarif masuk nol persen ataupun dengan pajak sangat rendah. Menurutnya, saat ini ekspor dari Indonesia pun stabil.

Namun, perundingan mengenai agenda hijau (green agenda) dan kebijakan iklim Uni Eropa akan berdampak pada Indonesia. Saat ini dalam pembahasannya, Uni Eropa ingin memangkas emisi karbon sebesar 55% pada 2030, dibandingkan dengan emisi 1990. Proposal ini akan dibawa ke negosiasi COP26 di Glasgow, November mendatang.

Seorang petani sawit swadaya di sebuah desa di Kabupaten Sekadau, Kalimantan Barat, mengumpulkan tandan buah segar dari kebunnya. Foto: SIAR Nusantara

“Ada kemungkinan proposal ini akan berdampak dengan hubungan Uni Eropa dengan Indonesia,” kata Piket dalam diskusi publik, Selasa, 5 Oktober 2021.

Pasalnya, Uni Eropa akan lebih ketat dalam menerima produk yang dihasilkan melalui proses keberlanjutan. Salah satu syaratnya adalah produk tidak menyumbang deforestasi di mana pun.  

“Langkah ini akan menstimulasi permintaan terhadap produk keberlanjutan, dus, ikut mendorong pemasok di Indonesia maupun Malaysia untuk memastikan produk kelapa sawitnya memenuhi kriteria keberlanjutan,” jelas Piket.

Piket mengatakan, Uni Eropa berharap petani sawit swadaya akan turut aktif dalam rantai pasok produk di Indonesia.

“Kami sangat mendukung semua upaya peningkatan kapasitas keberlanjutan petani sawit swadaya, baik melalui mekanisme sertifikasi maupun pelatihan. Kami juga mendorong agar perusahaan perkebunan sawit skala besar dan pabriknya ikut mendorong hal ini, ” jelas Piket.

Tantangan bagi petani sawit swadaya

Menanggapi hal tersebut, Sekretaris Jenderal Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) Mansuestus Darto mengatakan, saat ini petani sawit swadaya di Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan dalam penerapan praktik keberlanjutan. Dalam hal ini, petani yang dimaksud adalah dengan luas kebun 1 – 6 hektare dan tinggal di desa sekitar perkebunan.

Salah satu tantangan yang dihadapi adalah terkait legalitas lahan. Saat ini sebagian besar petani tidak memiliki sertifikat hak milik atau dokumen kepemilikan lahan lainnya. Namun, menurut Darto, hal itu tidak berarti lahan kelola petani merupakan area ilegal.

“Permasalahannya adalah, petani sulit mengakses dokumen seperti ini karena harus mengeluarkan biaya yang cukup besar,” tutur Darto.

Sebagai contoh, di Kalimantan, petani harus merogoh kocek sebesar Rp 3- 5 juta untuk mengurus sertifikat tanah. Jumlah itu tergolong besar bagi petani kecil. Banyak petani berpikir uang itu lebih baik digunakan untuk kebutuhan lain seperti membeli pupuk.

Secara keseluruhan, petani skala kecil mengelola lahan yang tidak terlalu besar. Rata-rata luas kebun adalah 0,26 hektare hingga 6 hektare. “Jika melihat luas wilayah kelola dan pola budidaya petani yang juga melakukan konservasi hutan, sangat cocok dengan kebijakan pasar global saat ini,” kata Darto.   

Darto mengatakan, syarat keberlanjutan pasar global membebani petani kecil. Pasalnya kondisi di lapangan memaksa petani menjual hasil panen ke tengkulak. Sementara itu jika ingin menembus pasar premium, mereka diwajibkan memiliki sertifikasi seperti Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) atau Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO). 

Selain itu, kata Darto, dalam rantai pasok, petani kecil kerap tersingkir oleh pekebun individual yang “dipelihara” oleh sektor bisnis. Individual grower memiliki akses langsung ke pabrik berkapasitas besar. Akibatnya, petani tidak dapat menjual tandan buah segara secara langsung ke pabrik. 

“Ini situasi nyata di lapangan. Karena itu harus ada pertimbangan agar petani sawit swadaya diprioritaskan. Dalam konteks pasar global, apakah petani sawit swadaya harus mengikuti syarat-syarat itu?” 

“Jika mempertimbangkan cara lain, petani sawit swadaya juga melakukan konservasi hutan. Ini bisa menjadi pertimbangan bagi pasar untuk menerima pasokan dari petani,” kata Darto.